Kampus
Lukas POV
Aku memastikan pita berwarna merah yang melingkari baket ayam terikat sempurna di sekeliling kertas pembungkus MCD. Bibirku tersungging puas. Rasa bangga atas diriku memuncak pagi itu.
Aku sibuk memikirkan bagaimana caranya menjelaskan kejadian di kolam itu pada Ruby sejak sarapanku bersama Devan beberapa saat lalu. Aku juga sibuk menengok ke sana kemari untuk mencari sosok Ruby di kantin, namun aku tidak berhasil menemukannya. Mungkin Ruby yang memiliki jadwal diet ketat, tidak mau sarapan di kampus karena sudah beberapa hari aku hampir tidak pernah melihat Ruby di kantin kampus.
Satu ide yang muncul untuk membuat Ruby tersenyum lagi. Setelah menghabiskan sarapan, aku beranjak kembali ke kamar.
Aku memesan sepuluh paket ayam goreng. Aku mengumpulkan potongan drumstick dari setiap paket lalu mengikatnya menjadi satu. Aku membungkus buket paha ayam itu wrapping paper dari dalam kotak ayam. Pita berwarna merah yang tadi aku curi dari hiasan buket bunga di ruangan pensi, membuatku sangat bangga dengan hasilnya.
Dengan bersemangat aku menjilati bekas minyak di jari-jarinya. Lalu bergegas mengumpulkan kembali semua kemasan saus dan tisu yang tergeletak di sekitar meja. Dan memasukkan sisanya ke kantong plastik.
Setelah mencuci tangan, aku langsung menekan beberapa tombol di ponsel. Hanya perlu menunggu dua nada sambung untuk mendengar suara Ruby.
"Siapa ini?" jawab Ruby tidak antusias.
"Kamu di mana?" tanyaku antusias. Tangan kiri memegang buket ayam kreasiku, memandanginya lalu tersenyum lebar.
"Lukas?" suara Ruby terdengar kaget. "Dari mana kamu mendapatkan nomor baruku?"
"Kakak ipar," jawab Lukas cepat. Aku merasa tidak sabar. "Sekarang kamu di mana? Aku perlu memberimu sesuatu."
"Apa? Kamu tidak perlu repot-repot, terlebih untuk menjelaskan kejadian kemarin."
Aku mulai kesal teringat hal itu. "Cepat datang ke taman labirin. Sendirian! Aku tidak ingin bertemu teman-temanmu. Atau aku akan bertemu kakak ipar dan dia akan tahu kamu sudah menghabiskan semangkuk bakso jatah makan siangku."
Tanpa menunggu jawaban, Aku memutuskan sambungan telepon. Aku cukup yakin Ruby akan muncul mendengar ancamanku. Untung saja otakku bekerja cukup cepat. Jika tidak, ia kebingungan mencari alasan.
Aku langsung menarik kantong plastik yang berisi sisa ayam, lalu membuka pintu kantin sambil bersiul riang.
***
Anika panik saat menyadari dia tak membawa ponsel ke kampus. Padahal biasanya dia tak bisa melupakan benda yang merupakan kebutuhannya itu. Ia menghela napas, mencoba bersikap wajar.
Baiklah, tersisa lima jam lagi sebelum jam kuliah berakhir.
Semoga saja tak ada informasi yang berarti.
Anika memijit kepalanya. Pusing. Beberapa hari itu dia sibuk menyiapkan laporan untuk dipresentasikan agar Wardana Corp bisa mengalahkan perusahaan Maheswari. Sungguh, Anika sudah tak sabar lagi berhadapan dengan mantan keluarganya itu.
"Anika."
Anika menoleh, mendapati Gwen yang memandangnya cemas. Anika mengerutkan dahi, meminta jawaban kenapa Gwen memanggilnya. Dia lelah, bahkan untuk bicara pendek sekalipun.
"Wajahmu pucat. Lo istirahat aja ya di UKS," ujar Gwen, terdengar
meminta.
Anika menggeleng. Dia tidak apa-apa, badannya hanya lelah dan tak lebih daripada itu. Otaknya masih berfungsi untuk menerima pelajaran. Lagi pula, dia sedang malas bolos.
***
"Gwen benar, kamu seharusnya istirahat, Anika."
Satya dan kawan-kawan ada di depannya. Entah berapa lama Anika termenung. Saat dia tersadar, posisi duduk Gwen yang tadi persis di depannya sudah digantikan Satya. Gwen mengambil bangku lain di samping Anika.
"Aku tidak apa-apa," jawab Anika pelan. Benci karena semua orang tengah menatap prihatin ke arahnya.
"Kamu belum sarapan, tadi malam juga tidak makan. Aku tidak mau tahu, sekarang kamu harus istirahat."
Sesaat Anika ingin membantah Satya, tapi kemudian mengurungkannya. Dia lelah dan malas berdebat. "Aku tidak apa-apa. kamu jangan kayak nenek-nenek deh."
Satya berdecak. "Aku kayak nenek-nenek juga demi kamu kali!"
Anika memutar bola mata. "Mana handphonemu?" Ia menadahkan tangan kanan, menyorongnya ke Satya.
Satya dan Devan spontan saling pandang, begitu juga Lukas dan Rangga.
Tanpa pikir panjang Satya mengeluarkan ponsel, memberikan pada Anika. "Buat apa?"
Anika mencubit pipi Satya, menampilkan ekspresi senang. "Aku pinjam ya, sehari aja. Handphoneku ketinggalan di rumah."
Satya tertawa sembari mengacak rambut Anika gemas. "Aku kira kamu mau ngaduin aku ke Om Sultan karena aku ngomelin kamu."
Rangga mengernyit. "Kalian berdua pacaran?"
Anika melempar pandangan tak mengerti ke arah Rangga, setelah itu melirik Satya. Dia memasukkan ponsel Satya ke tas. Tanpa tahu Rangga, Gwen, Devan, dan Lukas tengah menunggu jawaban mereka berdua.
"Udah ya, bubar, aku tidak apa-apa," Anika mengusir seenaknya. Baru saja dia menyelesaikan ucapannya, terasa ponsel Satya bergetar.
Anika memandang punggung Satya yang berjalan menuju tempat duduknya sendiri. Gwen juga kembali berada di tempatnya. Anika memberanikan diri mengeluarkan ponsel tersebut. Membuka pesan singkat yang baru saja masuk.
Sender: Tina
Aku udh pulang. Skrg lagi di kelas. Nnti ketemu di lapangan
basket indoor. Miss You :*
Anika merasakan dadanya memanas seketika, kembali memandang Satya yang kini memandang bingung ke arahnya. Anika tersenyum kikuk. Entah keberanian dari mana, dia mulai menggerakkan jari, menghapus pesan tersebut. Anika tak ingin ada yang mengganggu mereka lagi
To Be Continued