Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 78 - Melted

Chapter 78 - Melted

Sejak hari itu, mengantar Gwen ke kantor menjadi rutinitas yang Rangga lakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Salah satu rutinitas yang ia sukai selain menemani Gwen makan pada tengah malam. Gwen duduk di sampingnya, sering kali ikut bernyanyi mengikuti lagu yang diputar Rangga di audio mobilnya, suara Gwen benar-benar indah. Ia bisa mengikuti berbagai jenis lagu dengan baik.

"Kenapa kamu memutuskan untuk tidak melanjutkan mimpimu menjadi penyanyi?" Rangga bertanya saat mereka berhenti di lampu merah.

"Karena suaraku tidak sebagus yang aku harapkan."

"Suaramu indah."

"Tidak cukup indah untuk menjadi penyanyi."

"Siapa bilang?"

"Memang seperti itulah kenyataannya."

"Dengarkan suamimu ini, saat kubilang suaramu indah, maka itu benar-benar indah. Aku tidak berbohong."

"Hanya Mas yang mengatakan suaraku indah."

"Berarti mereka berbohong padamu."

"Atau malah Mas yang berbohong."

"Aku tidak pernah berbohong padamu." Tekan Rangga. "Menutut pendengaranku, suaramu memang indah."

"Itu artinya pendengaran Mas yang berbohong."

Rangga tertawa. Berbulan-bulan berdebat dengan Gwen sudah membuatnya belajar bahwa wanita itu selalu tidak ingin kalah.

"Baiklah, aku kalah."

"Apa itu artinya suaraku benar-benar buruk?"

"Tidak, aku tidak bilang begitu. Suaramu indah."

"Tapi Mas bilang suaraku buruk?"

"Kapan aku mengatakannya?" Rangga menoleh dengan wajah geli. "Kamu selalu menyimpulkan hal yang salah dari perkataanku."

"Tadi Mas bilang kalau Mas kalah. Artinya Mas mengakui bahwa suaraku memang buruk, kan?"

"Astaga, aku tidak menyangka pikiran istriku akan begini." Rangga pura-pura mendesah. "Jadi apa yang harus kukatakan agar kamu percaya?"

"Tidak ada. Suaraku memang buruk. Mas saja mengakuinya."

Rangga tertawa geli. Ia memberanikan diri menyentuh punggung tangan Gwen. "Jangan sedih, kalau orang lain bilang suaramu buruk, maka percayalah kalau aku orang pertama yang akan membantah kata-kata mereka."

Gwen tidak menyadari sentuhan lembut di tangannya karena memang ketakutan itu tidak datang menghampirinya saat ini, ia malah balas mengenggam tangan Rangga. "Sungguh? Mas akan membelaku mati-matian kalau ada yang mengatai suaraku buruk?"

"Tentu saja." Rangga tersenyum lebar. "Suamimu ini penggemar setiamu. Aku orang terdepan yang akan membelamu habis-habisan. Kalau perlu akan kuhajar mereka yang mengatakan suaramu buruk."

Gwen tertawa keras. Meremas tangan Rangga semakin erat. "Janji?"

"Janji." Ujar Rangga tersenyum lembut.

Gwen tersenyum, Rangga bisa melihat binar-binar jernih di mata Gwen begitu memabukkan dan membuatnya terhanyut dan tenggelam. Sudah beberapa bulan binar itu tidak pernah lagi terlihat, dan untuk pertama kali, binar itu kembali hadir di kedua mata jernih Gwen.

Baik Rangga dan Gwen tersadar saat suara klakson mobil yang tidak sabar di belakang mereka. Keduanya tersentak, lalu berpandangan sambil tertawa pelan, Gwen melepaskan genggamannya di tangan Rangga agar pria itu bisa fokus menyetir di sampingnya.

Meski ia berussaha keras menahan senyum yang terus saja hadir di bibirnya.

"Jangan terlambat menjemputku seperti kemarin." Ujar Gwen sambil melepaskan sabuk pengamannya.

"Maaf, Sayang. Kemarin aku ada sparing basket dengan Satya dan lainnya."

"Dimaafkan." Ujar Gwen meraih tasnya. Lalu ia menoleh pada Rangga yang menatapnya. Gwen ragu sejenak, tapi ia memberanikan dirinya. Ia memajukan wajahnya mendekati Rangga dan memberikan sebuah kecupan kilat di bibir pria itu.

"Selamat kuliah." Ujar Gwen sambil buru-buru keluar dari mobil karena malu. Lagipula wajahnya sudah memerah dan takut Rangga akan melihatnya.

Rangga melongo di tempatnya. Nyaris tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.

Gwen mengecupnya?

Gwen mengecup bibirnya?!

Rangga menampar wajahnya sendiri lalu kemudian mengumpat karena merasa sakit.

Lalu sebuah senyuman bodoh tercetak di bibirnya. Senyuman seorang idiot yang tengah dimabuk cinta kepada istrinya sendiri.

Sedangkan Gwen berusaha keras menggigit bibirnya karena perasaan yang berkecamuk. Tapi Gwen yakin kali ini, bukan perasaan takut yang kini menguasainya.

Tapi sebuah perasaan yang lebih lembut, mengettarkan sekaligus menggoda. Dan Gwen menikmatinya.

To Be Continued