Kampus, Painting Room
"Sekarang aku tahu bagaimana wajah orang idiot yang sesungguhnya." Seharusnya Rangga marah oleh kalimat yang Satya katakan, tapi kali ini, ia tidak marah sama sekali. "Sudah kuduga, kamu benar-benar terlihat seperti seorang idiot."
"Apa masalahmu sebenarnya?" Rangga mengangkat wajah dan menatap sepupunya.
"Tidak ada. Hanya menikmati melihat senyum bodohmu itu." Satya duduk di atas meja. "Jadi bagaimana? Kejadian itu sudah berlalu. Semuanya baik-baik saja?"
"Ya." Rangga kembali tersenyum. "Semuanya berjalan lancar."
"Gwen, dia sudah membaik?"
"Iya."
"Kamu tidak ingin membawanya ke pertemuan keluarga kita minggu depan?"
Rangga diam beberapa saat, lalu mendesah. "Entahlah, aku tidak tahu. Dia memang tidak terlalu menjaga jarak lagi denganku, tapi aku tidak bisa berada terlalu dekat dengannya, jika ia merasa tertekan, ia akan mundur begitu saja."
Rangga menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. "Kupikir, dia bisa beradaptasi dengan keluarga inti kita, tapi aku yang belum berani memperkenalkannya di hadapan kerabat lainnya. Ada kalanya aku masih melihat ketakutan dimatanya."
"Tapi Om Rama dan Tante Anita sudah semakin cemas karena sejak kalian menikah, kalian sekalipun tidak pernah terlihat bersama-sama dalam pertemuan keluarga."
"Aku tidak bisa mengambil resiko, Satya. Kamu tahu bagaimana usahaku selama ini mendekatinya? Aku yakin dia bahkan belum bisa memaafkan aku, memaksanya hanya akan membuat semua usaha yang sudah kulakukan menjadi sia-sia."
"Aku mengerti." Satya bergumam pelan. "Butuh tiga tahun untuk memaafkan Tina atas semua yang dia lakukan padaku, bahkan sampai detik ini, sering kali aku bermimpi tentangnya." Satya tersenyum sedih. "Aku tidak tahu berapa lama waktu yang Gwen butuhkan untuk memaafkanmu, tapi tetaplah berjuang, aku ingin kalian bahagia." Satya turun dari meja, merangkul bahu Rangga dan memeluk lehernya.
"Terima kasih." Rangga membalas pelukan itu tidak kalah eratnya. "Terus doakan aku."
"Tentu saja, idiot!" Satya memukul kepala Rangga lalu tertawa sambil berlari saat Rangga hendak membalasnya.
***
Kampus, Swimming Pool
Lukas bingung. Ia sudah memastikan bahwa setiap hari Ruby menerima langsung kiriman bunga darinya sesuai saran kakaknya. Ia juga sudah berusaha terlihat sememsona mungkin di hadapan Ruby selama beberapa hari ini. Namun, Ruby tampak tahan dari godaannya.
Ketika ia memastikan sudut yang pas agar Ruby dapat melihatnya dengan jelas, ia melompat dan berenang dengan gaya yang sudah ia lihat. Ruby yang kala itu istirahat hanya menatapnya selama beberapa saat sambil menggenggam tumbler berisi jus segar. Kemudian ia kembali melanjutkan sesi istirahatnya tanpa menoleh lagi pada Lukas.
Kali ini Lukas benar-benar kehabisan ide untuk membuat Ruby menatapnya dengan mata berbinar kagum. Atau paling tidak menatapnya sedikit lebih lama. Ingatan akan kejadian malam itu, malah membuat perasaannya makin risau. Lukas menggeleng-geleng lalu mengacak-acak rambutnya putus asa
"Apa yang kamu pikirkan? Kamu kelihatan gusar sekali." Seorang wanita muda yang tadi pagi berkenalan dengannya bergerak menghampiri.
Lukas melirik sekilas. Dagunya terangkat sombong. Ia sudah menduga wanita itu terpesona padanya. Lukas memutuskan untuk duduk di pinggir kolam agar lebih santai menikmati gelembung-gelembung air yang terlihat di permukaan. Ia membiarkan wanita berbikini maroon kitu menyentuh paha kanannya.
"Apa kamu tahu bagaimana cara menghadapi wanita yang sama sekali tidak menyukai rayuan?" tanya Lukas.
Wanita yang tidak ia ingat namanya itu hanya tersenyum malu-malu. Pipinya memerah, sedikit menunduk. Ah... tentu saja wanita satu ini berpikir aku sedang membicarakannya dirinya. Lukas mengalihkan tangan wanita itu dari pahanya.
"Dari mana kamu tahu aku tidak menyukai rayuan? Aku lebih suka laki-laki dewasa sepertimu." Wanita itu mulai mendekatkan wajah ke dagu Lukas.
"EHEM!"
Baik Lukas maupun wanita berbikini maroon itu terkejut mendengar suara deham yang terdengar di belakang mereka. Mereka segera menoleh dan mendapati Ruby sudah memandang sebal. Memandangnya rendah.
Selama beberapa detik kemudian baru Lukas menyadari, pastilah Ruby sudah salah sangka.
"Tunggu dulu! Aku hanya menikmati air panas yang katanya bisa menyembuhkan penyakit kulit ini." Lukas menjauhkan wajah wanita berbikini maroon itu lalu bergegas berdiri, mendekati Ruby.
"Aku tidak perlu tahu apa yang kamu lakukan. Bukan urusanku. Aku hanya kebetulan lewat mengambil baju renangku yang tertinggaal, karena mau pulang." Satu tangan Ruby terangkat. "Silahkan dilanjutkan."
"Hei! Hei! Dengar dulu penjelasanku!" pinta Lukas.
"Kamu sudah salah paham," gumam Lukas putus asa sambil menatap punggung Ruby yang terus menjauh. "Aku tidak mengenal wanita itu dan dia yang berusaha menggodaku."
"Aku tidak menggodamu."
Lukas menoleh dan mendapati wanita yang tadi memegang pahanya itu berdiri. Wanita itu tampak tersinggung.
"Rupanya kamu berusaha mendekati anak beasiswa itu?" Wanita itu melipat tangan di depan dada dan berdecak marah pada Lukas.
"Ya. Aku berusaha mendekatinya." Ucap Lukas sambil berkacak pinggang. "Maka dari itu aku tidak tertarik padamu. Kamu yang seharusnya malu karena merayuku duluan. Bahkan mendatangiku ke sini."
Mata wanita tersebut membelalak, dia mendengus lalu pergi.
***
Wardana's Corp
Satya POV
Aku menatap wajah Anika yang ketiduran di ruangan Om Sultan. Seperti biasa aku menjemput gadis itu di kantor setelah lewat jam sembilan malam. Tadi Om Sultan mengatakan untuk langsung saja ke ruangannya karena Anika ketiduran, sedangkan dia sendiri masih ada urusan lain di ruang kerja anak buahnya.
Wajah Anika yang tertidur menyiratkan rasa lelah. Aku sadar Anika memang banyak pikiran. Jadwalnya menemui Om Sultan di perusahaan diperketat sehingga Anika baru keluar dari kantor tersebut setelah jam sepuluh malam. Tentu saja, aku selalu menemani Anika.
Kedekatanku dengan Anika membuatku penasaran dengan apa yang sebenarnya direncanakan Om Sultan bersama Anika itu. Bukankah mempelajari perusahaan bisa pelan-pelan dan nanti?
Tapi kedua orang itu terlihat terburu-buru.
Aku duduk di sebelah sofa tempat tidur Anika. Wajahnya yang seperti anak kecil tanpa dosa membuatku terharu. Aku membelai lembut rambut Anika, kemudian menyusuri lekuk wajah yang diciptakan Yang Maha sempurna dengan indah.
Wajah Anika memang tak ada kebarat-baratannya, hidungnya tak terlalu mancung, matanya tak besar tapi bukan sipit, bibir Anika yang mungil selalu tampil pink alamiah. Pipinya pun pink tanpa polesan apa pun. Segar. Dan menawan. Dorongan sayang yang begitu besar membuatku mendekatkan
wajah ke wajahnya, mencium lembut pipi gadis kecintaanku itu.
Darahku mengalir sangat cepat.
Hanya beberapa detik.
Aku menjauhkan wajah dari pipinya. Tersenyum bahagia. Pelan aku mengguncang bahunya, tak ingin gadis itu bangun dengan terkejut.
Pelan-pelan mata gadis itu terbuka. Juga senyumnya merekah
begitu saja. Mmm... malam yang manis.