Ruby POV
"Ruby! Ayo berangkat! Sudah hampir jam dua, nanti kita terlambat ke workshop!" suara Mbak Gwen terdengar dari balik pintu kamarku. Dia mengetuk beberapa kali karena aku tidak juga menjawab.
Workshop? Oh tuhan! Aku harus kesana!
Aku melompat dari tempat tidurku saking paniknya, hampir saja tergelincir di lantai. "Sebentar, Mbak aku baru bangun tidur. Beri aku waktu sepuluh menit!" teriakku pada Mbak Gwen yang masih diluar kamarku. Saat itu aku sama sekali tidak berpikir untuk membukakan pintu untuknya sebelum masuk ke kamar mandi. Dan ketika sadar, aku sudah mulai mandi. Aku harus bergerak cepat jika tidak ingin terlambat.
***
"Fiuh..untung kita belum terlambat." aku mengembuskan napas panjang setelah duduk di salah satu kursi panjang, memutar bola mata, lalu menata kembali posisi rambutku yang masih setengah basah.
"Ruby, coba kamu lihat ke pojok paling kiri deretan kursi di depan kita." Aku mendekatkan telingaku ke bibir Mbak Nia yang bersuara sangat pelan. "Cuma aku atau kamu juga merasa familier sama wajahnya?" dia menyenggol siku tangan kiriku, lalu sedikit menoleh ke kiri untuk memberiku kode agar melihat ke kiri.
Dengan susah payah, aku memfokuskan mata untuk menangkap dengan jelas bayangan wajah laki-laki yang dimaksud Mbak Nia.
Mataku menyipit. "Itu bukannya…. Lukas?!" nada suaraku meninggi, tapi masih tetap berbisik. Laki-laki yang kuperhatikan tiba-tiba menoleh dan melihat tepat ke wajahku. Aku kaget, lalu dengan cepat berpura-pura tidak ada apa-apa, membenarkan posisi dudukku, dan kembali menghadap lurus ke depan.
"Benar itu Lukas. Tapi sama siapa ya? Pacarnya?" Mbak Nia berbisik lagi. Sudut matanya masih memperhatikan Lukas di ujung sana.
Aku mengangkat bahu. "Seharusnya iya, kalau bukan pacar, perempuan itu tidak mungkin bermanja-manja begitu. lagipula, apa perempuan itu tidak merasa salah kostum? Masa ke tempat seformal ini dia pakai baju mini begitu? atau mungkin dia itu sengaja karena pacarnya itu senang melihatnya seperti itu?" aku membolak-balik brosur yang sudah mulai kucel di tanganku.
"Mungkin juga." Mbak Nia mengangguk-angguk.
***
"Habis ini mau kemana?"
"Hmm.. makan dulu, setelah itu kita nonton. Ada film bagus di bioskop. Tapi kita ambil yang midnight show aja. Sepi, lebih gampang dapat tiketnya. Gimana?" kata Mbak Nia.
"Oke."Samar-samar saat akan keluar dari gerbang pintu keluar, aku melihat Jungkook berjalan sendirian ke sebuah mobil sambil membuka ponselnya. Dia tampak serius membaca tulisan di layar ponsel. Aku bertanya-tanya dimana wanita yang tadi bersamanya. Karena setelah itu, Lukas langsung masuk mobil dan pergi.
Aku dan Mbak pergi ke rumah makan padang. Aku merasa butuh asupan gizi besar setelah kejadian di aula tadi. mungkin itu bukan karena Lukas, tapi karena aku kelaparan. Ya, itu masuk akal. Aku berulang kali mencoba menyakinkan diri.
"Ruby, aku salah liat kan?" Mbak Nia mengucek-ngucek mata.
"Kenapa? Apa yang salah?" aku menyeruput jus jeruk yang berulang kali membuatku menelan air liur ketika menunggu kehadirannya.
"Itu di belakangmu… Lukas lagi?!" Mbak Nia benar-benar melotot kali ini. Dia seperti oang yang tersedak tanpa sebab. Telunjuknya mengarah ke belakangku.
"Apa?!" aku tidak kalah terkejutnya. Spontan aku berbalik dengan cepat hingga mengibaskan rambutku yang sedikit basah terkena hujan ketika turun dari bus tadi. aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Mbak Nia.
Benar! Itu Lukas! Dia duduk sekitar tiga meja dibelakangku bersama seorang wanita. Itu bukan wanita yang kami lihat di aula sebelumnya. Dia berganti pasangan dalam tempo kurang dari setengah jam? Berarti waktu dia menatap serius ponselnya di parkiran aula, dia sedang mengatur jadwal bersama wanita lain? Dasar playboy!
Lama-lama aku lelah melihatnya. Lukas tidak akan menyadari kehadiranku meskipun aku memandangnya berjam-jam. Dia terlalu terpesona pada wanita itu. aku kembali berbalik menghadap kemejaku, melanjutkan meminum jus jerukku lagi.
"Iya, itu Lukas lagi dan bersama wanita yang berbeda. Hebat sekali, ingin sekali aku menancapkan pisau ini ke jidatnya."
Aku sengaja memasang eskpresi datar di depan Mbak Nia. Tapi didalam hatiku seperti ada pukulan besar yang menyakitkan. Aku benci pria yang suka mempermainkan wanita. Dan Lukas salah satu pria itu, berarti dia juga masuk dalam daftar lelaki yang harus kubenci.
"Wah, hebat! Dalam dua jam dia sudah berganti dua perempuan." Mbak Nia menggeleng-geleng kepala. "Tapi, adik iparku itu memang luar biasa tampan,Ruby. Lihat, matanya tajam dan indah, hidungnya mancung sempurna, bibirnya merah dan wajahnya tegas, berwibawa dan senyumannya itu membuat dunia serasa berhenti berputar.." Mbak Nia memandang lurus ke arah Lukas dengan senyum yang terlihat seperti orang dimabuk cinta.
"Hei!" aku mengetuk kepala Mbak Nia dengan sendok
"Aduh! Ruby! Sakit!" Mbak Nia mengusap-usap kepalanya. "Tapi kamu juga harus mengakui kalau dia memang tampan luar biasa, dan kalau misalnya suatu hari ada keajaiban dan dia serius sama kamu, kamu akan milih dia atau Devan?" Mbak Nia menopangkan dagu ke telapak tangan kanannya, memandangku dengan berbinar. Senyumannya seperti meledekku. Jantungku sempat berhenti berdetak beberapa detik ketika Mbak Nia menyebut nama Devan dan membandingkannya dengan Lukas. Apakah hal itu mungkin terjadi? Dan kalau memang terjadi, siapa yang akan kupilih? Tapi, untuk apa mengira-ngira sesuatu yang tidak mungkin terjadi?
"Jangan bicarakan hal yang tidak mungkin terjadi. Itu sama saja mengandaikan garpu ini hidup dan menari-nari." Aku mengibaskan tangan di depan wajah Mbak Nia.
"Permisi, ini pesanannya.." pelayan datang membawa pesanan kami. Membuat cacing-cacing diperutku melonjak kegirangan.
"Udah, ayo makan."
***
"Ternyata, midnight show banyak di pakai pasangan untuk pacaran, ya." Aku mengeluarkan popcorn dan soft drink yang tadi kubeli. Aku menoleh sedikit ke depan untuk memastikan tidak ada orang yang duduk di kursi depanku, lalu meluruskan kaki ke punggung kursi itu.
"Memang kamu belum pernah nonton seperti ini?" Mbak Nia tampak tenang-tenang saja. Dia sudah memakan roti gandum yang tadi dibelinya sebelum masuk studio.
"Iya, aku pikir sepi. Ternyata lebih gawat dari perkiraanku." Aku meneguk minuman kalengku, mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menemukan banyak pasangan yang dilanda asmara.
"Ssst.." seseorang di samping kiriku memperingatkanku untuk diam. Dia tampak terganggu dengan obrolanku dengan Mbak Nia. Padahal kami hanya berbisik-bisik, bagaimana ini bisa menganggunya? Filmnya bahkan belum dimulai. Tapi kuputuskan mengambil jalan damai. "Maaf" aku menyengir padanya sambil mengangkat sedikit tangan kiriku.
"Iya, memang begitu, resiko nonton pada jam ini, sudah, cuekin aja. Filmnya sudah mulai." Mbak Nia meneguk air mineralnya lalu mengikuti posisi dudukku.
"Aww!" seseorang menendang kepalaku dari belakang. Bukan hanya menyenggol, dia benar-benar menendang.
Shit! Dia cari masalah! Dia bahkan tidak mengucapkan maaf atas perbuatannya!
Aku berdiri dan langsung melotot ke belakang. Aku berkacak pinggang dengan aura semenyeramkan mungkin
"Hei! Apa kakimu perlu sekolah khusus kepribadian supaya tidak sembarang menendang kepala orang?! Tidak minta maaf pula!" aku membentak orang itu sekeras-kerasnya agar seisi studio tahu orang ini tidak punya etika.
"Udah, biarin aja." Mbak Nia menarik tanganku dan membujukku untuk duduk.
"Tidak bisa! Dia bahkan tidak menurunkan kakinya dari kursiku sampai sekarang! Mana mungkin aku diam aja?!" aku menampar kaki orang itu yang masih bertengger di punggung kursiku, membuat orang itu goyah di tempat duduknya dan hampir jatuh.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata karena tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas di tengah remangnya studio. Kemudian, ketika menyadari bahwa aku sudah melihat wajah itu berkali-kali hari ini, darahku naik hingga ubun-ubun hingga wajahku terasa panas. Tanganku mengepal dan napasku memburu.
"Kamu lagi?!" aku berteriak lebih keras dibanding sebelumnya. Aku sudah sangat ingin melompat dari kursiku dan langsung meninju mukanya.
Bagaimana bisa aku bertemu dengannya tiga kali dalam sehari?! Dan sesuai dugaan, dia duduk dengan wanita yang berbeda lagi! Aku benar-benar muak melihat wajahnya!
"Kenapa kamu bisa ada di sini?!" Lukas ikut berdiri karena tidak terima dengan tamparanku pada kakinya dan balas meneriakiku.
"Itu tidak penting! Yang paling penting adalah kamu menendang kepalaku dan tidak minta maaf!" aku menundingnya dengan kepala sedikit terangkat karena posisi duduknya di deret atasku.
Mataku berkilat-kilat manatapnya, wajahku memerah karena menahan emosi.
"Hei! Diam!! Kalian berdua berisik! Mengganggu konsentrasi saja! Kalau.." pasangan yang tadi duduk di samping kiriku berteriak lagi padaku.
"Maaf, sudah mengganggu. Tapi bagaimana kalau ada orang yang menendang kepalamu dan tidak minta maaf?" aku memotong perkatannya lalu menatap tajam orang itu. dia pun diam.
Emosiku sudah memuncak. Mungkin kalau pelakunya bukan Lukas, emosiku tidak akan separah itu. tapi dia Lukas! Orang yang seharian ini sudah sangat mengganggu pikiranku!
"Maaf, ada keributan apa di sini?" seorang petugas wanita menghampiri tempat dudukku. Dia tersenyum sopan padaku.
Aku menarik napas panjang, mencoba sedikit meredam amarah. "Orang ini menendang kepala saya dan menolak meminta maaf." Aku menunjuk wajah Lukas.
"Bukan seperti itu, saya tidak sengaja." Lukas tergagap, mencoba mencari alasan. Dia terlihat sekali berpura-pura menyesal, sama sekali tidak ada ketulusan meminta maaf.
"Kalau begitu, anda minta maaf saja agar masalahnya tidak berlarut-larut." Petugas itu bertutur bijak. Dia masih memasang senyum ramah. Aku tahu Lukas masih ingin membantah dan membela diri. Bibirnya masih bergerak-gerak, mencoba mencari alasan. Tapi wanita di sampingnya berdiri lalu membisikkan sesuatu. Lukas mengangguk lalu tersenyum sambil menyentuh pinggang wanita itu, mendekapnya lebih dekat ke tubuhnya. Napasku berhenti sejenak ketika melihatnya. Wajahku memanas lagi. Kali ini berbeda, bukan karena emosi akibat tendangan di kepalaku tadi, tapi karena adegan barusan. Aku tidak tahan melihatnya, ingin sekali aku mencakar wajah Lukas.
"Maaf," ujar Jungkook, masih bertahan pada sikap dinginya. Dia kembali duduk di kursinya.
"Harap setelah ini menjaga ketenangan demi kenyamanan bersama. Terima kasih." Petugas itu mengangguk singkat lalu pergi dari tempatku.
Aku masih berdiri, menatap tajam wajah yang dipuja-puja wanita-wanita di kampusku. Amarahku sudah tidak bisa dibendung lagi. Terlebih sekarang dia dengan asyiknya bergandengan tangan dengan wanita itu, berlagak ingin menunjukkan bahwa dia menyayanginya.
Aku kasihan pada wanita itu. nasibnya tidak lebih dari sekedar mainan yang sebentar lagi dibuang setelah pemiliknya bosan. Bodoh sekali wanita itu bisa tidak mencari tahu latar belakang pacarnya, hanya terbujuk pada harta dan tampang.
"Sudah, duduk lagi. Filmnya bagus. tidak perlu mencampuri urusan mereka lagi." Mbak Nia menarik tanganku duduk.
Aku masih menggeram, tapi terpaksa menyetujui omongan Mbak Nia. Tidak ada untuknya ikut campur urusan mereka. Yang paling penting bagiku: Lukas Arya Wardana, masuk dalam daftar hitam orang yang harus kubenci!.
To Be Continued