Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 50 - Perhatian Satya

Chapter 50 - Perhatian Satya

Kampus

Satya melirik jam tangan. Lima menit lagi dosen masuk ke kelas,

tapi Anika belum juga menampakkan diri. Gwen yang sibuk

dengan kegiatannya baru saja memasuki kelas.

Satya berlari menghampiri Gwen. "Kamu tidak sama Anika?"

Gwen menggeleng bingung. "Tidak. Aku baru datang juga dari rumah,"

jawabnya datar.

Satya menghela napas. Perasaannya tidak enak. Dia tak suka

merasakan ini: perasaan tiba-tiba takut kehilangan Anika.

Devan menghampiri Satya. "Coba cek di tempatku liat dia tadi."

Tanpa menjawab Satya segera berlari meninggalkan kelas. Dia

melirik para dosen yang bersiap memasuki kelas.

Baiklah. Siapa yang tidak sadar bahwa Satya Arya Wardana jatuh cinta

pada Anika Maheswari?

Satya menuruni tangga. Matanya memperluas jangkauan. Tak

ada. Gadis itu tak ada di situ. Satya berlari, tetap mencari. Tepat di

posisi dia melihat Anika tadi, gadis itu berdiri kaku. Tangannya

terjatuh di sampingnya. Satya menyipit, ada sesuatu yang keluar

dari tangan kiri Anika. Ya ampun! Darah. Darah yang mengalir

deras.

***

Anika membuka mata pelan, menatap ke langit-langit. Ruangan

serbaputih itu dikenali Anika. Anika ingin memperbaiki posisi tidur.

Saat badannya menyenggol tangan kiri, nadinya berdenyut dan ia rasakan dulu? Sakitnya luar biasa. Bahkan Anika tak mampu menggerakkan tangan kirinya.

Anika melirik tangannya. Aneh. Bagaimana bisa bekas jahitan

yang sudah berbulan-bulan terbuka kembali? Seperti sakit hati

saja. Luka lama yang kembali melebar, nyeri yang dihasilkannya

pun luar biasa. Elisa harus mendapatkan balasan yang setimpal.

Satya mengerjap. Astaga. Dia tertidur. Matanya menelusuri ruangan. Dia mendapati Anika yang kesusahan untuk duduk. Wajahnya menegang. Satya bangkit, berlari, kemudian membantu gadis itu duduk dengan menegakkan kepala ranjang rumah sakit.

Menyadari Satya kesusahan mengatur napas, Anika pelan-pelan

tersenyum.

Napas Satya masih memburu. Bangun tidur dalam kondisi cemas

tak keruan, kemudian berlari walaupun tak lebih dari dua meter,

membuat jantungnya bekerja ekstra. Jantungnya tetap berdetak abnormal saat Satya merasakan jemari tangan Anika menyentil puncak hidungnya. Gadis itu tersenyum.

Hah? Bahagiakah dia karena gagal mengakhiri hidup?

"Kenapa sih jahitannya basah? Bukannya udah berbulan-bulan

ya?" ucap Anika mengangkat tangan kirinya yang diperban.

Satya mengacak rambut Anika pelan. Tentu saja jahitan itu bisa

terbuka. Tak sadarkah gadis itu dulu menyilet tangannya terlalu

dalam? Hingga membuat nadinya hampir putus? Dan tadi, bukannya tangannya terluka kembali?

"Kenapa? Kenapa tadi tersenyum? Kamu bahagia karena tidak

jadi mati? Oh, aku lupa memberitahumu bahwa luka kali ini tidak

sampai nadi. Yah, palingan tidak lama lagi tangan kirimu bisa

kembali sensitif."

Anika mengangguk-angguk, tak berniat menanggapi ucapan

Satya. Yang harus dia lakukan adalah menyembunyikan detak

rasa sakit menyengat. Jadi seperti itukah sakit yang seharusnya jantungnya yang berlompatan. Jika Anika tetap menatap mata elang Satya, tubuhnya bisa-bisa terbakar.

Diam-diam Satya juga merasakan hal serupa. Kecanggungan Anika

menular padanya. Bukan. Bukan karena Anika terlalu dingin. Tapi

entah kenapa, ada yang berbeda.

Satya menghela napas panjang. "Kamu tahu, aku sampai

ingin mati saat melihatmu tidak sadar tadi," ucapnya tiba-tiba.

Anika membelalak. Kaget. Hei, bukankah ini terlalu cepat? Terlalu

cepat bagi Satya untuk menumpahkan isi hatinya. Ucapan Satya membuat Anika salah tingkah hingga ia memilih menunduk.

"Maaf…"

Apa?

Satya tersenyum lebar mendengar kata paling krusial itu keluar

dari mulut Anika. Kok bisa ya Anika minta maaf? Sepanjang dirinya

berada di samping Anika, tak sekali pun dia mendengar Anika

meminta maaf. Oh ya, Anika memang jarang mengatakan "maaf",

lebih sering mengatakan "sorry" dengan aksen Inggris-nya.

Makanya begitu mendengar Anika mengatakan "maaf" dengan

tulus seperti itu, Satya melambung. Betul kan firasatnya tadi, ada yang berbeda dari Anika.

"Anika, kamu bilang apa?" ucap Satya untuk meyakinkan diri sendiri.

Anika mengangkat wajah, menampilkan ekspresi tak suka. Satya

diberi hati malah minta jantung, putusnya. Ia melempar pandangan

sinis kepada Satya, yang saat itu tersenyum penuh arti.

"Aku kaget aja. Ah sudahlah, kamu mau apel?" tawar Satya menunjuk

keranjang buah yang terletak di meja kecil di samping ranjang Anika.

Anika hanya mengangguk.

Satya langsung mengambilkan apel, lalu berjalan ke wastafel untuk

mencucinya.

"Satya?" panggil Anika dengan suara yang bisa membuat Satya

melayang ke langit. "Aku suka, kamu perhatian," ucap Anika dengan

segenap keberanian yang datangnya entah dari mana. Pipinya

jangan tanya warnanya. Bersemu merah!

Satya terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Ia melayang dan…

bahagia. Dia tak pernah sebahagia itu sebelumnya.

Kedua tangan kokoh Satya lantas menarik tubuh Anika, memeluk

erat. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.

Rasakan detak jantungku, Anika, pinta Satya dalam hati.

Anika mengusap punggung Satya sambil tersenyum. Ada yang

membuncah dalam hatinya hingga pipinya merona, menahan

kebahagiannya. Ah, apa lagi yang mesti mereka sembunyikan?

"Kalau gitu, aku akan selalu memberimu perhatian setiap hari supaya kamu terus-terusan suka sama aku."

Anika tersenyum mendengar niat Satya. Dia ingin menikmati

kebersamaannya berdua pemuda itu. Dia ingin menuruti bimbingan

hatinya.

Lalu setelah semua itu, masih bisakah keduanya membohongi

diri? Sanggupkah keduanya menutupi perasaan yang sudah terlalu

tampak? Cinta datang tidak mengenal waktu. Cinta datang tiba-tiba dan saat kau merasakan kedatangannya, berjuanglah. Berjuang mempertahankan orang yang kamu cintai.

"Satya kamu sud—"

Satya melepas pelukannya, menatap ke sumber suara.

Anika juga menengok. Keduanya merasakan pipinya memanas

saat mendapati Om Sultan berdiri membawa kantong plastik

hitam.

"Apa saya mengganggu kalian?" ucap Om Sultan, yang jelas-jelas

merusak suasana.

Satya segera turun dari posisi duduknya di ranjang Anika, mendekati Om Sultan, kemudian mengambil kantong plastik hitam tersebut.

Pemuda itu menggeleng. "Ganggu apa, Om?" balasnya tergagap campur salah tingkah.

Om Sultan hanya tertawa, kemudian menyuruh Satya keluar dengan

gerakan kepalanya.

Dengan gerakan cepat Satya langsung berada di mulut pintu dan

bergegas keluar.

Om Sultan mendekati Anika yang jelas salah tingkah. Matanya

menyelidik tajam. "Jatuh cinta, hmm?"

Anika mendelik ke arah Om Sultan, menggeleng. "Kami tidak

seperti yang Om pikirkan."

Om Sultan mengusap kepala Anika. "Siapa pun tahu, akhir-akhir

ini kamu begitu dekat dengan Satya. Kamu masih mau menyangkal?"

Anika memutar bola mata. "Om!" ucapnya tertahan.

"Well... Om tidak akan bahas itu lagi, tapi kagum sama dia

karena bisa menawan hatimu."

Anika diam dan menampilkan ekspresi tidak suka, ekspresi yang

merupakan topeng salah tingkahnya. Kenapa dia terus-terusan

mengenakan topeng? Padahal wujud aslinya hampir ketahuan.

Om Sultan melirik tangan Anika yang diperban. "Kenapa itu bisa

terjadi?"

Wajah Anika mengeras. "Dia... yang melakukannya," ucapnya

kembali ingat bagaimana Elisa mendorong tubuhnya tadi.

Lelaki itu menatap Anika, tak percaya. Bukankah gadis itu baru

pindah ke Jakarta kurang dari empat hari lalu? Secepat itukah?

Om Sultan menggeleng-geleng, ekspresinya tak dapat ditebak.

"Kurang ajar!"

Anika hanya diam dan menatap Om Sultan.

"Lalu sekarang kamu akan berbuat apa?"

Anika mengangkat wajah. "Dia harus dapat balasan atas semua

perbuatannya!"

Ya, hukum karma berlaku sampai akhir hayat. Hukum balas membalas, hukum alam yang tak dapat diganggu gugat. Dan Anika ikut bermain untuk mempercepat terjadinya hukum karma.

"Balasan yang setimpal!" ucap Anika tajam. Bagaimanapun Anika

harus menetralisir hatinya. Dia tak mau semua rencana menjadi

berantakan gara-gara luapan hati yang tak terkontrol.

To Be Continued