Kampus
Satya melirik jam tangan. Lima menit lagi dosen masuk ke kelas,
tapi Anika belum juga menampakkan diri. Gwen yang sibuk
dengan kegiatannya baru saja memasuki kelas.
Satya berlari menghampiri Gwen. "Kamu tidak sama Anika?"
Gwen menggeleng bingung. "Tidak. Aku baru datang juga dari rumah,"
jawabnya datar.
Satya menghela napas. Perasaannya tidak enak. Dia tak suka
merasakan ini: perasaan tiba-tiba takut kehilangan Anika.
Devan menghampiri Satya. "Coba cek di tempatku liat dia tadi."
Tanpa menjawab Satya segera berlari meninggalkan kelas. Dia
melirik para dosen yang bersiap memasuki kelas.
Baiklah. Siapa yang tidak sadar bahwa Satya Arya Wardana jatuh cinta
pada Anika Maheswari?
Satya menuruni tangga. Matanya memperluas jangkauan. Tak
ada. Gadis itu tak ada di situ. Satya berlari, tetap mencari. Tepat di
posisi dia melihat Anika tadi, gadis itu berdiri kaku. Tangannya
terjatuh di sampingnya. Satya menyipit, ada sesuatu yang keluar
dari tangan kiri Anika. Ya ampun! Darah. Darah yang mengalir
deras.
***
Anika membuka mata pelan, menatap ke langit-langit. Ruangan
serbaputih itu dikenali Anika. Anika ingin memperbaiki posisi tidur.
Saat badannya menyenggol tangan kiri, nadinya berdenyut dan ia rasakan dulu? Sakitnya luar biasa. Bahkan Anika tak mampu menggerakkan tangan kirinya.
Anika melirik tangannya. Aneh. Bagaimana bisa bekas jahitan
yang sudah berbulan-bulan terbuka kembali? Seperti sakit hati
saja. Luka lama yang kembali melebar, nyeri yang dihasilkannya
pun luar biasa. Elisa harus mendapatkan balasan yang setimpal.
Satya mengerjap. Astaga. Dia tertidur. Matanya menelusuri ruangan. Dia mendapati Anika yang kesusahan untuk duduk. Wajahnya menegang. Satya bangkit, berlari, kemudian membantu gadis itu duduk dengan menegakkan kepala ranjang rumah sakit.
Menyadari Satya kesusahan mengatur napas, Anika pelan-pelan
tersenyum.
Napas Satya masih memburu. Bangun tidur dalam kondisi cemas
tak keruan, kemudian berlari walaupun tak lebih dari dua meter,
membuat jantungnya bekerja ekstra. Jantungnya tetap berdetak abnormal saat Satya merasakan jemari tangan Anika menyentil puncak hidungnya. Gadis itu tersenyum.
Hah? Bahagiakah dia karena gagal mengakhiri hidup?
"Kenapa sih jahitannya basah? Bukannya udah berbulan-bulan
ya?" ucap Anika mengangkat tangan kirinya yang diperban.
Satya mengacak rambut Anika pelan. Tentu saja jahitan itu bisa
terbuka. Tak sadarkah gadis itu dulu menyilet tangannya terlalu
dalam? Hingga membuat nadinya hampir putus? Dan tadi, bukannya tangannya terluka kembali?
"Kenapa? Kenapa tadi tersenyum? Kamu bahagia karena tidak
jadi mati? Oh, aku lupa memberitahumu bahwa luka kali ini tidak
sampai nadi. Yah, palingan tidak lama lagi tangan kirimu bisa
kembali sensitif."
Anika mengangguk-angguk, tak berniat menanggapi ucapan
Satya. Yang harus dia lakukan adalah menyembunyikan detak
rasa sakit menyengat. Jadi seperti itukah sakit yang seharusnya jantungnya yang berlompatan. Jika Anika tetap menatap mata elang Satya, tubuhnya bisa-bisa terbakar.
Diam-diam Satya juga merasakan hal serupa. Kecanggungan Anika
menular padanya. Bukan. Bukan karena Anika terlalu dingin. Tapi
entah kenapa, ada yang berbeda.
Satya menghela napas panjang. "Kamu tahu, aku sampai
ingin mati saat melihatmu tidak sadar tadi," ucapnya tiba-tiba.
Anika membelalak. Kaget. Hei, bukankah ini terlalu cepat? Terlalu
cepat bagi Satya untuk menumpahkan isi hatinya. Ucapan Satya membuat Anika salah tingkah hingga ia memilih menunduk.
"Maaf…"
Apa?
Satya tersenyum lebar mendengar kata paling krusial itu keluar
dari mulut Anika. Kok bisa ya Anika minta maaf? Sepanjang dirinya
berada di samping Anika, tak sekali pun dia mendengar Anika
meminta maaf. Oh ya, Anika memang jarang mengatakan "maaf",
lebih sering mengatakan "sorry" dengan aksen Inggris-nya.
Makanya begitu mendengar Anika mengatakan "maaf" dengan
tulus seperti itu, Satya melambung. Betul kan firasatnya tadi, ada yang berbeda dari Anika.
"Anika, kamu bilang apa?" ucap Satya untuk meyakinkan diri sendiri.
Anika mengangkat wajah, menampilkan ekspresi tak suka. Satya
diberi hati malah minta jantung, putusnya. Ia melempar pandangan
sinis kepada Satya, yang saat itu tersenyum penuh arti.
"Aku kaget aja. Ah sudahlah, kamu mau apel?" tawar Satya menunjuk
keranjang buah yang terletak di meja kecil di samping ranjang Anika.
Anika hanya mengangguk.
Satya langsung mengambilkan apel, lalu berjalan ke wastafel untuk
mencucinya.
"Satya?" panggil Anika dengan suara yang bisa membuat Satya
melayang ke langit. "Aku suka, kamu perhatian," ucap Anika dengan
segenap keberanian yang datangnya entah dari mana. Pipinya
jangan tanya warnanya. Bersemu merah!
Satya terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Ia melayang dan…
bahagia. Dia tak pernah sebahagia itu sebelumnya.
Kedua tangan kokoh Satya lantas menarik tubuh Anika, memeluk
erat. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.
Rasakan detak jantungku, Anika, pinta Satya dalam hati.
Anika mengusap punggung Satya sambil tersenyum. Ada yang
membuncah dalam hatinya hingga pipinya merona, menahan
kebahagiannya. Ah, apa lagi yang mesti mereka sembunyikan?
"Kalau gitu, aku akan selalu memberimu perhatian setiap hari supaya kamu terus-terusan suka sama aku."
Anika tersenyum mendengar niat Satya. Dia ingin menikmati
kebersamaannya berdua pemuda itu. Dia ingin menuruti bimbingan
hatinya.
Lalu setelah semua itu, masih bisakah keduanya membohongi
diri? Sanggupkah keduanya menutupi perasaan yang sudah terlalu
tampak? Cinta datang tidak mengenal waktu. Cinta datang tiba-tiba dan saat kau merasakan kedatangannya, berjuanglah. Berjuang mempertahankan orang yang kamu cintai.
"Satya kamu sud—"
Satya melepas pelukannya, menatap ke sumber suara.
Anika juga menengok. Keduanya merasakan pipinya memanas
saat mendapati Om Sultan berdiri membawa kantong plastik
hitam.
"Apa saya mengganggu kalian?" ucap Om Sultan, yang jelas-jelas
merusak suasana.
Satya segera turun dari posisi duduknya di ranjang Anika, mendekati Om Sultan, kemudian mengambil kantong plastik hitam tersebut.
Pemuda itu menggeleng. "Ganggu apa, Om?" balasnya tergagap campur salah tingkah.
Om Sultan hanya tertawa, kemudian menyuruh Satya keluar dengan
gerakan kepalanya.
Dengan gerakan cepat Satya langsung berada di mulut pintu dan
bergegas keluar.
Om Sultan mendekati Anika yang jelas salah tingkah. Matanya
menyelidik tajam. "Jatuh cinta, hmm?"
Anika mendelik ke arah Om Sultan, menggeleng. "Kami tidak
seperti yang Om pikirkan."
Om Sultan mengusap kepala Anika. "Siapa pun tahu, akhir-akhir
ini kamu begitu dekat dengan Satya. Kamu masih mau menyangkal?"
Anika memutar bola mata. "Om!" ucapnya tertahan.
"Well... Om tidak akan bahas itu lagi, tapi kagum sama dia
karena bisa menawan hatimu."
Anika diam dan menampilkan ekspresi tidak suka, ekspresi yang
merupakan topeng salah tingkahnya. Kenapa dia terus-terusan
mengenakan topeng? Padahal wujud aslinya hampir ketahuan.
Om Sultan melirik tangan Anika yang diperban. "Kenapa itu bisa
terjadi?"
Wajah Anika mengeras. "Dia... yang melakukannya," ucapnya
kembali ingat bagaimana Elisa mendorong tubuhnya tadi.
Lelaki itu menatap Anika, tak percaya. Bukankah gadis itu baru
pindah ke Jakarta kurang dari empat hari lalu? Secepat itukah?
Om Sultan menggeleng-geleng, ekspresinya tak dapat ditebak.
"Kurang ajar!"
Anika hanya diam dan menatap Om Sultan.
"Lalu sekarang kamu akan berbuat apa?"
Anika mengangkat wajah. "Dia harus dapat balasan atas semua
perbuatannya!"
Ya, hukum karma berlaku sampai akhir hayat. Hukum balas membalas, hukum alam yang tak dapat diganggu gugat. Dan Anika ikut bermain untuk mempercepat terjadinya hukum karma.
"Balasan yang setimpal!" ucap Anika tajam. Bagaimanapun Anika
harus menetralisir hatinya. Dia tak mau semua rencana menjadi
berantakan gara-gara luapan hati yang tak terkontrol.
To Be Continued