Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 12 - Malam Terindah bagi Lukas

Chapter 12 - Malam Terindah bagi Lukas

Ruby's Store

Lukas POV

"Kenapa kamu ikut ke sini?" bentak wanita berambut tebal lurus itu. Ia membalikkan tubuh dan memandangku dengan kemarahan yang nyata, lalu kembali berderap semakin jatuh ke dalam taman sempit ini.

Aku berusaha keras agar botol yang kujepit di masing-masing ketikak tidak terjatuh. Kedua kakak sepupuku, Satya dan Rangga, juga sahabat kami, Devan pasti sudah menungguku untuk merayakan malam terakhir Rangga sebagai bujangan. Tangan kiriku menggenggam erat dua botol minuman yang lain sedang tangan kanan menggenggam sepatu milik wanita gila yang sekarang tiba-tiba melampiaskan kemarahan padaku.

"Kamu meninggalkan sepatumu. Kakimu bisa lecet. Kamu bisa menginjak benda tajam di sini," aku menjawab dengan nada santai dan berusaha tidak terdengar kesal. "Hei! Aku membawa sepatumu!" aku sedikit menaikkan suara ketika wanita itu tidak mengacuhkan ucapanku dan tetap berjalan cepat-cepat di depanku.

"Coba kamu ingat lagi, ke arah mana kamu melemparkannya dan cepat bantu aku menemukan sepatu itu!" oceh wanita itu sambil menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga.

"Tadi aku melemparkannya sekuat tenaga. Mungkin terjatuh agak jauh ke dalam sana. Sebaiknya relakan saja sepatu itu. Kamu bisa membeli yang baru untuk menggantikannya. Atau... mungkin lebih baik aku belikan saja sepatu yang jauh lebih bagus daripada yang tadi." Aku cepat-cepat meralat usulnya. Ia memasang senyum super manis saat wanita itu mendelik marah dan mata bulatnya semakin membesar, seakan aku sudah mengatakan suatu penghinaan besar.

"Kamu yang menghilangkannya dan aku yang harus menggantinya?" pekikan wanita itu terdengar sangat marah. "Dan kamu yakin bisa menemukan yang lebih bagus daripada sepatu itu?" kedua tangannya terangkat dan jemarinya mulai mencengkeram rambut dengan frustasi.

"Dengar! kita harus menemukan sepatu itu atau aku akan membunuhmu!" geram wanita itu sambil menunjukku.

Peduli setan dengan wanita itu dan semua orang yang sedang menanti kedatanganku di rumah. Sekarang aku haus dan hanya ada minuman langka ini bersamaku. Seteguk minuman ini akan sedikit menyegarkan kerongkongan dan juga menghalau rasa penatku.

Aku hampir menempelkan ujung botol ke bibir saat wanita itu berteriak heboh. "Aku menemukannya! Aku menemukannya!" Tawa wanita itu mau tak mau membuatku tersenyum lebar. Sepatu berwarna putih itu teracung-acung di salah satu tangan wanita itu. Matanya yang berbinar bahagia menatapku seakan ia tengah menemukan harta karun.

"Great! kamu menemukan yang satunya juga?" Aku bertanya sambil melanjutkan gerakan tangan mendekatkan ujung botol minuman ke bibir.

"Belum," jawab wanita itu sedikit terengah-engah.

Secara tiba-tiba wanita itu malah melangkah lebar-lebar ke arahku dan langsung menyambar botol yang kupegang lalu menenggak minuman beralkohol itu dengan sangat rakus. Tawaku berganti keterkejutan saat wanita itu menjulurkan lidah begitu menyadari apa yang baru saja ia minum.

"Hoek... minuman apa ini?" desis wanita itu marah.

"Itu yang kamu dapat jika merebut barang milih orang lain." Aku melipat lengan di dada dan kembali tertawa lebar

"Ini alkohol?" wanita itu berseru seakan aku tidak tahu apa isi botol itu.

"Lalu?"

"Aku tidak minum alkohol," gerutu wanita itu dengan ekspresi jijik.

"Minum seteguk tidak akan membuatmu mabuk." Aku beranjak merebut kembali botol minuman itu sambil menatap wanita itu santai.

"Bagaimana kalau kamu mulai mencari lagi pasangan yang satunya sebelum pemiliknya tahu sepatunya hilang?" aku menunjuk sepatuh putih yang masih kehilangan pasangannya.

"Untung tidak ada manik yang hilang. Kotoran ini juga bisa hilang jika dibersihkan dengan sedikit lotion," gumamnya sambil mengamati sepatu itu.

"Sebaiknya kamu ikut bantu mencari pasangannya. Kamu ikut andil karena sudah menghilangkannya. Semua karena kamu yang main lempar sembarangan!" gerutu wanita itu sambil mengenakan sepatunya.

Aku berdiri sambil berdecak geli. "Bisa kamu jelaskan kenapa sekarang kamu berubah pikiran dan berusaha setengah mati menemukan sepatu itu? Bukannya kamu membenci si pemilik sepatu itu?"

"Kalau kamu pikir aku benci pada wanita pemilik sepatu ini, kamu salah besar!" wanita itu berkacak pinggang dan menggoyangkan telunjuk di depan wajahku.

Aku menatap geli saat memperhatikan tubuh wanita itu mulai limbung. "Lalu?"

Setelah menghela napas panjang, wanita itu melirikku dengan wajah sedikit lebih relaks. "Aku justru sangat menyayanginya."

"Kamu mencuri ya?" tebakku

"Aku? Aku mencuri sepatu? Aku yang membuat sepatu ini! Aku sudah mengerjakannya hampir dua bulan. Aku yang... oh! Sudahlah! Lelaki sepertimu tidak akan mengerti apa yang aku rasakan. Kembali saja ke rumahmu!"

"Mendengar ocehanmu, hm... biar kutebak... kamu shoes designer ya?" Aku duduk di rumput dan melipat kaki santai. Mataku tidak kubiarkan lepar dari siluet wanita 'gila' yang telah menghiburku malam ini.

"Mungkin kamu butuh pendengar dalam hal ini. Aku bisa menjadi pendengar yang baik," lanjutku riang. "Memendam kekesalan untuk waktu yang sangat lama tidak baik untuk kesahatan otakmu."

Wanita itu kembali menjawab, yang di telingaku terdengar sebagai gerutuan tidak. "Keraskan sedikit suaramu! Bagaimana aku bisa menjadi pendengar yang baik kalau kamu hanya menggerutu,"

Ucapan wanita itu baru terdengar agak jelas saat ia memundurkan tubuhnya ke sisi yang lain. "... keluarga itu, ah salah... salah satu Nyonya besar di rumah itu, dia hanya melemparkan selembar kertas dan memintaku menyelesaikannya dalam waktu dua bulan. dua bulan! Coba bayangkan! dengan semua tuntutannya itu, dia memberiku deadline seakan aku tidak melakukan pekerjaan lain di kantor keluarga mereka dan aku harus kuliah!."

Aku meraih botol minuman yang terbukan dan menenggaknya

"... dengan gaya ratu-nya yang memuakkan itu! Dasar penyihir sialan... kenapa juga kakakku harus menjadi anggota keluarga itu, sangat tidak beruntung..." suara wanita itu lenyap ditelan rimbun tanaman.

Aku berdiri dan perlahan menghampirinya lalu menendang pelan ujung kaki wanita yang menggumamkan ocehan dari mulutnya.

"Hei! Hei!" Aku menendang kaki wanita itu agak keras saat dia malah menepis kakiku agar berhenti menendangnya.

"Apa yang kamu lakukan? Sepertinya aku hampir menemukannya." Wanita itu menarik tubuhnya lalu duduk dan mendongak di hadapanku yang menyodorkan botol minuman ke depan wajahnya. Setelah melihat dari dekat, aku menyadari wajah wanita itu bersemu merah karena efek alkohol yang tadi diminumnya.

"Minum seteguk lagi tidak akan membuatmu mabuk," ujarku tanpa meninggalkan senyum andalannya. "Anggap saja ini pelampiasan kekesalanmu. Aku tidak berniat jahat," lanjutku saat melihat keraguan di mata wanita itu.

"Yah... seteguk tidak akan membuatku mabuk. Lagi pula aku haus setengah mati karena berteriak terus." Wanita itu tersenyum kecil lalu meneguk isi botol minuman itu.

"Hei! Aku menemukannya!" Wanita itu mengambil pasangan sepatu dari balik semak-semak tidak jauh dari tempat sepatu pertama ditemukan. Karena terlalu girang dan mabuk, sepatu itu terlepas dari genggamannya dan terlempar ke depan wajahku yang spontan langsung kutangkap dengan kedua tanganku.

Wanita itu terjungkal karena terlalu banyak bergerak lalu tertawa terbahak-bahak dalam posisi duduk. Aku melirik botol minumanku dan melontarkan makian keras saat menyadari isi botolnya sudah habis oleh wanita yang sekarang sedang menertawakan entah apa.

"Bagus! Sepertinya aku sudah membuatmu benar-benar mabuk," Aku mendesah kesal. "Ambil sepatu ini lalu katakan dimana rumahmu!" Aku melemparkan sepatu itu.

"Rumah siapa? Siapa yang membutuhkan itu?" wanita itu menatapku angkuh. Tangannya mendekat erat-erat sepatu yang tadi aku lempar di depan dadanya. "Dengar, laki-laki pemabuk! Aku.... Aku adalah pemilik rumah itu. Aku akan menjadi pemilik tempat itu dan aku tidak membutuhkan rumah lain. Aku hanya membutuhkan... membutuhkan..."

"Saat ini kamu membutuh toilet, wanita cantik dan... bukan aku yang pemabuk, tapi kamu. Yah.. meski sebenarnya ini salahku karena sudah membiarkanmu semabuk ini. Tapi kamu juga bersalah karena membuatku tidak dapat berpikir jernih."

"Sebaiknya katakan di mana rumahmu. Aku bersedia menggendongmu asal kamu tidak muntah di punggungku," ucapku di sela-sela tawa.

Wanita itu kembali mengerutkan bibir, matanya semakin terlihat sayu. "Sudah kubilang aku tidak punya rumah. Aku tidak butuh... aku membenci rumah itu. Aku ingin..." wanita itu mendekap sepatunya semakin erat ke dadanya dan kedua matanya semakin memicing perlahan.

"Hei! Hei!" Aku bergegas menahan tubuhnya sebelum menyentuh tanah. "Kamu belum menyebutkan namanu. Jangan tidur dulu!"

Aku berjongkok dengan kedua tangan mencengkeram erat lengan wanita itu, yang kini terleklap dengan wajah yang memerah. Air liur berbau alkohol menyengat keluar dari sudut mulutnya.

"Selamat malam, cantik. Sepertinya aku harus membawamu ke apartemenku malam ini, bisa gawat kalau orang rumah sampai tahu. Jangan marah! Kamu sendiri yang pasrah. Tapi aku janji, malam ini akan menjadi malam yang sangat menyenangkan untuk kita berdua," ucapku sambil tersenyum lebar pada wanita yang sudah tertidur lelap di hadapannya.

To Be Continued