Chereads / Rumah Tanpa Cinta / Chapter 8 - Rangga dan Gwen

Chapter 8 - Rangga dan Gwen

Kampus

Rangga tengah berjalan di koridor kampus dengan ransel yang dikaitkan ke bahu. Tangannya menyugar rambut panjang sebahunya dan mengikatnya ke atas. Beberapa mahasiswi terus memperhatikannya. Siapa yang tidak terpesona?

Postur tubuhnya yang tinggi proposional, membuat pria berambut gondrong itu terlihat lebih dewasa beberapa tahun dari usia sebenarnya.

"Rangga."

Lelalki itu menoleh saat merasa ada yang memanggil namanya.

"Pulang?"

Ia mengangguk. Sebenarnya saat semua mata kuliah sudah selesai, adalah saat yang paling dibenci oleh laki-laki itu. Ia harus meninggalkan kampus dan kembali ke rumah yang lebih mirip neraka baginya. Yang jelas kembali pulang ke rumah adalah hal yang paling ingin dihindari.

"Aku ke rumahmu, ya?" Rangga menatap Devan.

"Bebas, mau tinggal selamanya di rumahku juga boleh. Asal tahu diri saja." Devan bergurau. Namun, Rangga hanya mengangkat bahunya sekilas kemudian kembali melanjutkan langkahnya.

"Kakak mu lusa mau menikah, kan? tidak mau bantu persiapannya?" tanya Devan.

"Tidak penting, orangnya juga tidak pulang dari kemarin."

"Ke mana?"

"Ke pulau tidak berpenghuni, mungkin," jawabnya asal.

Sebenarnya ia tidak suka jika ada seseorang yang membicarakan perihal keluarganya, siapapun itu. Rangga merasa tida ada kelebihan yang bisa ia banggakan dari anggota keluarganya, termasuk dirinya sendiri.

"Ada apa sii?" Rangga berbalik saat merasakan ada tangan menyentuh bahunya, tapi bukan Devan yang di hadapannya melainkan Seema. Perempuan yang berusaha mendekati Rangga, tapi tidak pernah dianggap.

"Aku ikut kamu pulang, ya?" pintanya.

"No, sama Devan aja!"

"Aku maunya sama kamu."

"NO!" Rangga langsung memakai helmnya, kemudian segera melajukan motornya. Begitulah pria itu, seolah tidak memiliki ketertarikan kepada kaum hawa.

***

Gwen POV

Aku menginjakkan kaki di Jakarta, kota yang akan aku huni lima tahun ke depan, atau bisa lebih jika setelah menikah dengan Carlo dan lulus kuliah aku menemukan pekerjaan yang cukup menjanjikan. Dua buah koper miliku baru saja dibawakan oleh kuli angkut yang membantu begitu turun dari bus sepuluh menit yang lalu.

Langit tampak menghitam. Awan sedang mengandung air hujan dan mungkin siap menumpahkannya dalam hitungan menit ke depan. Aku mengambil ponsel yang ada di saku celana. Sudah tiga kali aku menghubungi orang yang kata ibu akan menjemputku di tempat ini. Tapi.. sudah sepuluh menit berlalu, orang yang dimaksud tidak juga tampak. Sampai akhirnya ponselku berbunyi, menampilkan nama Nathan, kakakku, di layar ponsel.

Kak Nathan

Kamu sudah sampai Jakarta?

Gwenia

Sudah, Ka. Ini sedang menunggu jemputan.

"Ayo!" ucap sebuah suara, membuatku menoleh seketika.

Aku terkejut, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berdiri di depanku dengan wajah datar.

Tunggu...

"Ka Satya?" tanyaku pelan. Aku takut salah orang. Sudah lama aku bertemu dengannya. Ka Satya, dia memang bertambah tampan dan lebih tinggi.

Aku terdiam sesaat, mengamati raut wajah Ka Satya.

"Hey... Ayo!" ajak lelaki itu lagi sambil mengambil dua koper milikku.

"Hah?" Aku gelagapan. Aku melihat Ka Satya sudah berjalan mendahuluiku dengan dua buah koper yang tadi aku bawa, aku bahkan tidak sadar kapan koper itu berpindah ke tangan Ka Satya.

"Tunggu, Kak. Jalannya pelan-pelan. Aku ketinggalan nih."

Teriakanku tak dihiraukan oleh Ka Satya. Laki-laki itu tak bersuara, apalagi meoleh ke arahku, Ka Satya membiarkanku berjalan dengan langkah terseok-seok mengikutinya menuju parkiran yang lumayan jauh.

To Be Continued