Anika POV
It has already began. Sepoi angin menerpa wajahku ketika membuka kaca
jendela mobil yang aku tumpangi. Udara kota ini begitu menyejukkan. Kota ini satu-satunya tempat kembali setelah aku merantau. Kota yang membangun diriku menjadi seperti ini.
Kota yang bahkan tak pernah aku mimpikan akan aku benci. Sekarang hal yang begitu aku sukai berbalik menjadi yang paling aku hindari.
Aku meninggalkan Bali dua jam lalu. Air mata mengalir sepanjang perjalanan. Semuanya sudah diurus. Mulai dari kepindahan rumah sakit tempat ibuku dirawat. Hara, ibuku, koma akibat kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa hari lalu, yang merenggut nyawa ayah tiriku. Ibu yang begitu aku sayangi kini hanya bisa terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Adik satu-satunya meninggal akibat depresi berat, membuatku sangat putus asa. Aku tak sanggup menghadapi cobaan yang datang beruntun.
Aku menghela napas berat. Di depanku terdapat deretan bangunan tinggi khas metropolitan. Bukan pemandangan asing bagiku. Keraguan muncul: bisakah dia menjalani hidup dengan normal mulai sekarang?
Sebenarnya bagiku tinggal sendirian mudah saja. Dia terbiasa, bahkan sangat terbiasa. Aku tak merasakan kehangatan keluarga sejak ibuku memutuskan menikah lagi dengan duda, sahabat ayahku. Dan yang lebih penting anaknya sahabat karibku.
Kehangatan keluarga itu sirna seiring bergulirnya waktu. Yang sekarang tersisa, puing-puing reruntuhan saja. Namun...
Pembawa sial.
Begitukah diriku selama ini? Apakah kehadiranku membawa sial bagi orang-orang di sekitarnya?
Aku menepuk dada keras. Ngilu yang tergores di hatiku tak bisa dan tak akan pernah bisa hilang, aku jamin itu. Air mataku tak bisa keluar karena terus menangis. Jika masih menangis, mungkin mataku akan mengeluarkan darah. Namun aku tak peduli lagi, biar saja, biar buta sekalian! Hingga aku tak perlu melihat semua itu.
Aku masih menatap ke luar jendela. aku tak punya apa-apa lagi sekarang. Adikku, Minju, baru saja menyusul ayahku. Hanya tersisa ibuku yang masih jauh dari kesembuhan. Ah, mampukah aku melewati beban berat itu?
Drrrttt… drrrttt…
Getaran ponsel membuatku mengerjap, tersadar dari lamunan panjang. Aku menatap layar ponsel, tertera jelas nama Om Sultan.
Cepat-cepat aku menerima panggilan telepon itu Sultan, Sahabat Papa. Paman yang masih melajang itu baru menamatkan pascasarjana di Hamburg. Aku baru tahu pamanku juga menuntut ilmu di negeri yang sama dengannya saat tak sengaja bertemu dengannya beberapa tahun lalu. Itulah awal kami berhubungan kembali. Sejak menikah dengan Juna, ayah tiriku, ibu melarangku berhubungan dengan keluarga ayah. Aku tak pernah diberi jawaban jelas. ibuku hanya mengatakan bahwa dia sedih kalau aku terus menanyakan keluarga mendiang ayah dan sebaiknya menerima keluarga baru.
Tapi Om Sultan menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi saat kami berjumpa di Hamburg. Aku perlahan melanggar pesan ibuku. Diam-diam aku menyimpan nomor ponsel Om Sultan dan sepakat mengatur pertemuan lebih sering.
Kebenaran cerita dan ucapan Om Sultan terbukti: aku dibuang keluarga tiriku tepat setelah upacara pemakaman ayah tiriku.
Om Sultan menjadi satu-satunya harapanku bergantung.
Terlebih aku tak punya uang sama sekali. Tabunganku diblokir, padahal itu uang beasiswa yang aku terima saat sekolah di Hamburg. aku selalu ingat bagaimana kebaikan Om Sultan dalam membantuku membayarkan biaya administrasi rumah sakit Mina dan mengatur segalanya beberapa hari lalu.
Selain itu, saat menerima kabar tentang kecelakaan pesawat orangtuaku, Aku langsung meminta Om Sultan membantu mengurus kepindahanku di Hamburg. Namun, kini aku menyesali keputusan itu. Aku menghela napas ketika mengingat kejadian menyakitkan itu. Dadaku sesak, rasanya oksigen yang memenuhi paru-paruku berubah menjadi butiran pasir yang menyesakkan.
"Om? Aku tidak jadi pindah ke Bandung," terangku spontan.
Terdengar Om Sultan mengucapkan sesuatu dari seberang sana. Aku mencengkeram ujung bajuku keras. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, mungkin lebih lama daripada prediksiku.
***
Bandung
Aku menatap kosong ke depan. Tinggal dua minggu di Bandung membuatku betah dan bisa menerima apa yang telah terjadi. Di samping itu, aku mengurus ibuku yang tengah melewati perawatan alternatif dan medis secara bersamaan. Sejauh itu aku merasa baik-baik saja karena keberadaan Nenek yang selalu menemani. Kakek sudah mendahului kami.
"Ibuku akan lama sekali baru bisa sembuh dari koma." aku menoleh, mendapati nenek yang sudah berumur duduk di sampingku. Entah sejak kapan nenek berada di sana. Yang aku tahu, dari sorot matanya, nenek juga merasakan kesedihan yang sama: merindukan sosok orang yang dicintai.
"Mina…" ucapanku terpotong. Rasanya aku ingin mati saja, sesak di hatiku masih belum kunjung hilang. Yah, manusia mana yang bisa menerima kenyataan sepahit diriku? aku bukan gadis tegar yang hanya menangis sehari kemudian bisa bangkit kembali.
Aku hanya gadis lemah yang tak bisa menerima kenyataan.
"Mina... adikmu sudah tenang di sana, Nak."
Aku menggeleng. "Mina depresi, Nek... Aku... Kenapa Bunda tidak pernah cerita padaku?" ujarku menyesali. Bulir-bulir air mata kembali terjatuh.
Nenek membelai-belai kepalaku dengan lembut. Wanita tua itu tersenyum lembut, menenangkan. "Ibumu tidak mau membebanimu, Anika."
Aku menggeleng, tidak terima. "Mereka mengaturnya dengan mulus." Suaraku bergetar.
Aku menghapus air mata. Ini tak bisa dibiarkan, aku harus bangkit. Harus. Bagaimanapun caranya. Penjelasan Om Sultan beberapa minggu lalu mulai membuka mataku.
Dulu, saat di Hamburg, Om Sultan hanya sedikit menceritakan kenapa perusahaan keluarga mereka menghilang begitu saja, gedungnya terbakar dan menewaskan beberapa karyawan. Setelah itu, tak ada lagi kabar perusahaan itu.
"Aku tidak akan membiarkan mereka bertindak semaunya, Nek. Aku janji, sebelum Bunda sadarkan diri, akan kubuat keluarga itu hancur," ucapku bersungguh-sungguh.
Kilatan mataku menjelaskan kesanggupan ucapanku. Hukum alam masih berlaku sampai kapan pun. Nenek hanya diam, sambil terus mengusap kepalaku. "Jangan gegabah, Nak. Lebih baik kamu di sini bersama Nenek. Biarlah Sultan yang mengurus segala sesuatunya di Jakarta. Kamu selesaikan saja kuliahmu."
Aku tertegun. Itu bukan pertama kali aku diajak tinggal di rumah nenek. Namun, semuanya harus bisa dikembalikan seperti semula. Apa yang menjadi hakku harus kembali padanya. Kejahatan yang mereka lakukan harus berbalik kepada mereka.
Aku tersenyum terpaksa. "Tidak bisa, Nek. Aku harus ke Jakarta," jawabku singkat. Kegundahannya tampak.
"Nenek mengkhawatirkanmu, Nak," ucapnya terang.
Aku mengangguk, setetes air mata keluar. Akhir minggu ini aku harus meninggalkan Bandung. Kedatangannya ke pulau itu hanya karena ibuku. aku sengaja memindahkan ibu ke kota kelahirannya. aku yakin ibuku akan baik-baik saja di sini. Di Bali ada terlalu banyak orang jahat, yang bisa setiap saat menyakiti ibuku.
"Jangan terlalu banyak menangis, Anika," pinta Nenek.
Aku mengangguk.
Pembawa sial.
Seumur hidup aku tak akan melupakan kata-kata itu.
"Seperti apa pun keadaan yang akan kamu lalui, jangan selesaikan dengan emosi. Lihat, seperti apa dirimu jadinya: suka melamun dan menangis. Kamu tidak seperti yang mereka katakan. Buktikan, buktikan kamu bisa bangkit. Kamu bukan gadis lemah yang goyah karena kecaman mereka." Nenek mengusap lenganku pelan, membuatku mengangkat wajah.
Aku menatap mata halmonie dengan sayu. Benar, aku gadis yang kuat, mampu melewati itu semua. Aku akan buktikan pada semua orang bahwa diriku membanggakan.
Begitu saja air mataku berhenti. Tekanan dan kelemahan batin membuatku terpuruk terlalu lama.
Kini saatnya aku bangkit. Tapi sungguh, aku tak akan melupakan saat-saat terakhirku di Bali.
Pandanganku mengeras. Aku sungguh akan mampu menjalani ini semua.
To Be Continued