Chereads / Glory Hunt / Chapter 4 - Part 4

Chapter 4 - Part 4

Rasa panik mulai menjalar, berusaha mengambil alih pikiran dengan berbagai bayangan tak enak bermain dalam kepala. Sekuat tenaga aku menahannya, beruapa untuk tidak melakukan hal bodoh terutama dengan ujung pedang mulai menyentuh leher, membuat setetes darah mengalir turun secara perlahan, lalu merembes masuk pada hoodie.

"Kau tuli? Beritahu aku informasi mengenai dunia ini!" Desaknya dengan tatapan setajam silet.

Andai saja dia tak berperilaku layaknya seorang bandit, aku akan memuji dirinya cantik terutama dengan sepasang mata berwarna hijau terang, hidung mungil, bibir sensual dan tubuh bak seorang model, berhias rambut panjang bergelombang berwarna oranye-kemerahan yang cukup menghipnotis. Sayang sekali dia tak memiliki perilaku yang jauh lebih baik- Memangnya diriku siapa menilai orang lain seperti itu? Kau bahkan tak jauh lebih baik darinya. Dia cantik, sedangkan dirimu? Ampas gorengan tak tahu diri.

"Dengar, aku benar-benar belum paham mengenai pertanyaanmu itu dan aku tentunya tak dapat berpikir dengan sebilah pedang siap memotong leherku" Jawabku cepat "Dan seharusnya kau tahu, kami yang berasal dari dunia ini jauh lebih lemah ketimbang kalian, jadi tak perlu seperti ini. Jangan khawatir, aku masih sayang dengan nyawaku sendiri, aku sadar apapun yang kualkukan takkan dapat melarikan diri darimu, jadi tolong.. "

Semoga berhasil, semoga berhasil, semoga berhasil. Aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa lagi jika cara ini juga tak mampu membuatnya menurunkan pedang. Berdoalah semoga kepalamu tak hilang Zent, kau akan benar-benar membutuhkannya. Sosok di depanmu ini, jauh lebih kuat dari manusia biasa. Memang tak sekuat si rambut merah, namun setidaknya dia mampu menghadapi sepuluh pria dewasa sendirian.

Bagaimana aku bisa tahu? Anggap saja sebagai salah satu kemampuan yang kudapatkan setelah berlatih beladiri cukup lama. Kau akan langsung tahu apakah harus bertahan ataukah kabur hanya dengan sekali pandang dan dia, merupakan sosok yang membuatmu harus memilih pilhan kedua.

Gadis itu menghela napas, menyarungkan kembali pedangnya dan melipat lengan "Kau benar, aku tak perlu mengotori pedangku hanya untuk seseorang sepertimu. Tangan dan kakiku sudah cukup untuk membuatmu menjadi timbunan daging. Kalau begitu, cepat katakan, dunia ini dunia yang seperti apa?"

Dunia yang seperti apa? Akupun akan sedikit kesulitan untuk menjawabnya "Hmm, singkatnya dunia ini penuh akan hiburan. Kau dapat menemukan hiburan kapapnpun dimanapun. Namun, tentunya di balik tiap hiburan tersebut, tersimpan kegelapan besar yang sering di acuhkan. Terdapat kesenjagan sosial yang begitu nyata, uang merupakan segalanya dan orang-orang berkuasa bermain di belakang layar, menggunakan pion untuk mencapai yang mereka inginkan.

Kami juga tak memiliki kekuatan seperti kalian, tak ada monster, tak ada ras lain, hanya manusia. Kami tak menggunakan peralatan seperti pedang maupun panah, namun menggunakan senjata yang jauh lebih baik ketimbang itu. Tentunya aku tak tahu mampu atau tidak, jika dihadapkan langsung melawan seseorang berkekuatan seperti kalian. Kemudian dunia kami dapat dikatakan dunia yang penuh akan informasi, kami dapat menerima informasi dari tempat yang sangat jauh sekalipun hanya dalam hitungan detik. Contohnya, jika seseorang mengirim sebuah pesan dari benua yang berbeda, maka kami dapat menerimanya tak sampai sedetik kemudian"

Sepasang mata hijau itu melebar, terkejut mendengar sesuatu yang mungkin terasa mustahil di dunianya. Entah mengapa, aku merasa sedikit bangga karena berasal dari dunia yang dikendalikan oleh internet. Internet memang memiliki kelemahan, namun jika membicarakan informasi, aku yakin kamilah nomor satunya. 

"Ohh, jadi kalian adalah dunia yang dikendalikan oleh informasi. Tampaknya, dunia kali ini tak terlalu buruk, lagipula tak dapat dipungkiri informasi di dunia ku sama sekali tak dapat melakukan apa yang dapat kalian capai. Menerima informasi dalam hitungan detik dengan jarak sejauh itu? Membayangkannya saja, kepalaku sudah mulai sakit. Aku juga telah melihatsendiri senjata dunia kalian beraksi. Cukup menakutkan terutama jika kalian tak memiliki aliran mana sepertiku" Dia berpikir sejenak, memegang dagu sembari melihat ke samping, lalu kembali ke posisi awal dengan tatapan yang kini sedikit melembut "Baiklah, aku akan melepaskanmu. Namun, kau harus memberitahuku apa rencanamu berikutnya"

"Apakah itu penting?"

"Tentu saja. Aku harus tahu apakah kau akan menjadi salah satu penghalang yang siap menerima kematian. Lebih baik sekarang ketimbang nantinya ketika dirimu telah sedikit lebih kuat bukan?" 

"Dan kau akan percaya denganku begitu saja?"

"Tidak" Jawabnya sembari meregangkan tangan "Aku hanya perlu menyiksamu lebih kejam saat mengetahui  kau menjadi salah satu penghalang atau tidak. Lagipula, orang-orang seperti kalian yang hidup dalam dunia tanpa sihir, takkan pernah dapat melangkah bersama kami yang telah hidup berdampingan dengan 'mana' semenjak lahir. Apapun yang kalian lakukan, kalian takkan pernah dapat melewati batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh dunia ini. Salahkan diri kalian yang hidup dalam kedamaian tanpa merasakan bagaimana hidup dalam rasa takut setiap harinya, berusaha bertahan dari kekejaman dunia meski sebagai seorang anak kecil"

Sialan, aku benar-benar harus menahan amarahku. Aku tak bisa membuat dia menyadarinya atau aku sudah dipastikan akan kehilangan nyawa, tapi.. Aku juga tak ada hak untuk marah karena apa yang dikatakannya juga benar. Kami sudah terlalu santai, hidup terlampau mudah sampai kami kadang lupa bersyukur bahwa kami masih dapat berjalan dengan tenang tanpa perlu khawatir akan mati sedetik kemudian. 

"Ada apa? Mengapa wajahmu terlihat seperti itu? Kau tak suka aku menyebut kalian lemah?" Tanyanya sembari menyeringai penuh hina.

Dengan tangan terkepal kuat, aku menjawab "Tidak, apa yang kau katakan memang benar. Kami memang lemah, jauh lebih lemah dibanding kalian. Tapi, tolong jangan menganggap rata kami semua. Masih banyak dari kami yang berusaha hidup hanya dengan memakan sisa-sisa makanan maupun sampah tiap harinya, masih ada yang bersusah payah bekerja meski kondisi badan mereka tak memungkinkan dan masih banyak juga yang masih belum menyerah terhadap hidup walaupun dunia terus menyiksa mereka, jadi kumohon, jangan menganggap mereka sebagai seseorang yang lemah"

Ia mendengus keras, masih memasang seringai angkuh di wajah "Memangnya kau akan melakukan apa? Melawanku?"

"Aku sadar aku memang lebih lemah darimu, namun jika kau tak menarik kata-katamu, aku akan membuatmu menariknya dan akan kugunakan segala cara, itu janjiku sebagai manusia yang berasal dari dunia ini" 

Entah karena apa, gadis itu tiba-tiba mengambil  dua langkah mundur, memasang kuda-kuda namun kembali ke posisi semula setelah beberapa detik dengan wajah bingung, 'Apa yang baru saja terjadi? Mengapa aku merasakan bahaya dari orang ini? Dia bahkan tak dapat mengalahkan bocah berumur 12 tahun dengan kekuatannya itu'. Ia menggeleng, mendengus kesal lalu memalingkan badan "Cih, dasar orang tak tahu diri. Berterima kasihlah karena aku berbaik hati melepaskanmu. Kalau tidak, kau mungkin sudah tak bernyawa disitu"

Belum sempat diriku membalas, dia sudah melangkah pergi, menghilang di balik ruangan tangga menuju lantai empat. Aku terduduk lemas, tak mampu merasakan kedua kaki, tak menyangka baru saja berhasil melewati kematian. Sedikit saja diriku salah, mungkin aku sudah tak bernyawa, menjadi salah satu mayat tak dikenal yang akan terlupakan begitu saja selamanya. 

Aku benar-benar beruntung. 

Tanpa mengulur waktu lagi, aku membereskan semuanya, bersiap untuk pergi mencari kota itu sambil berharap semoga aku tak bertemu dirinya lagi, baik sebentar maupun di masa depan. Seseorang sepertinya hanya akan membawa masalah.

Tahu-tahu aku sudah menghela napas memikirkannya "Sayang sekali sifatnya seperti itu, padahal dia jauh lebih cantik ketimbang orang-orang terkenal yang kulihat selama ini" Selain si karyawan Cafe tentunya.

Di saat bersamaan, tak kusadari, gadis itu ternyata sedang bersembunyi di balik dinding, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba bergejolak di dalam hati dengan menggigit bibir dan mengepalkan kedua tangan, memerhatikan seorang pemuda berambut putih yang kini telah melangkah semakin menjauh darinya.