"𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒎𝒂𝒕𝒊-𝒎𝒂𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒋𝒂𝒓 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈
𝒕𝒂𝒌𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒘𝒂 𝒎𝒂𝒕𝒊."
"Yesaya 5:22 'Celakalah mereka yang menjadi jago minum dan juara dalam mencampur minuman keras.' You should to stop drinking, Mark. Kamu sudah terlalu jauh dari Tuhan."
Yang ditegur malah semakin menjadi-jadi. Gabrian dengan terpaksa menyeret badan dari teman kuliahnya itu kearah luar. Beruntungnya tidak ada pemberontakan apapun dari Mark, jadi pria itu bisa dengan mudah menyeretnya.
"Sadarlah. Ayahmu akan marah jika tahu akan hal ini."
"Tidak ada Tuhan didunia ini," racau Mark tidak jelas. Gabrian menepuk pelan pipi dari Mark, sesekali pria itu juga menggunakan air untuk membuat Mark cepat sadar.
"Mark, ayok bangunlah. We'd better go to church than you have to drink beer."
Dengan refleks, Mark memukul keras pipi dari Gabrian. "Agama itu tidak penting," racau pria itu.
Gabrian hanya tersenyum. Inilah resiko mempunyai teman yang tidak menganut agama apapun. Katanya, selama hidupnya baik-baik saja, maka Tuhan tidaklah penting.
"Hey, mau ku bantu?" Mata dari Gabrian kini terfokus kearah seorang pemuda yang membawa 'kain bermotif' di punggungnya. Secara refleks Gabrian menganggukkan kepalanya singkat, ia benar-benar perlu bantuan untuk menyadarkan teman gilanya yang satu ini.
Kedua pria itu membawa tubuh lemas Mark kearah kamar yang ada di hotel terdekat. Pria asing yang tadi membantunya, kini sedang sibuk menyiapkan segelas air putih sebagai persediaan jika Mark sudah sadar.
"Hey, siapa namamu?
"Arsan."
Mata dari Gabrian kini mulai memperhatikan penampilan Arsan dari atas sampai kebawah. Pandangannya terkunci pada kain yang dibawa oleh pria asing itu. "Kenapa kamu membawa kain itu?" Tanyanya, yang membuat Arsan tersenyum kecil.
"This is called a scabbard (Ini dipanggil Sarung).
"Kegunaannya untuk apa?"
"In my religion, ketika beribadah bagian lutut harus tertutup, karena itu termasuk aurat. Hal ini juga ditulis dalam kitab Al-Mughni, (1/336) yang dikatakan, "Menutup aurat dari pandangan agar tidak terlihat kulitnya adalah wajib dan syarat sahnya shalat." Dan ini adalah pendapat dari Syafi'i dan teman-teman Ashaburra'yi (Hanafi Feny)."
Gabrian sontak membulatkan matanya tak percaya dengan apa yang didengarkannya. Terbuat dari apa manusia dihadapannya ini? Sampai sampai ia tahu berbagai macam isi dari ayat yang terkandung dalam suatu kitab.
"What's your religion?"
Arsan tersenyum. "Islam," jawabnya dengan rasa bangga. Gabrian menyunggingkan senyumannya, ini dia yang ia cari-cari. Secara spontan ia memukul meja, yang membuat Arsan tersentak kecil.
"Eh maaf, gue terlalu excited pas lo bilang Islam."
"Emangnya kenapa?"
Tubuh dari Gabrian kini mulai mendekat kearah Arsan. Pria itu menceritakan semua tentang Mark secara rinci, dimulai dari Mark yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan, sampai perkataan Mark yang menyebutkan jika dia tidak akan jatuh cinta dengan Islam.
"Gue mau dia tau kalo Tuhan itu beneran ada, San."
Arsan mengangguk paham. Niat dari Gabrian memang sudah baik, akan tetapi tindakan dari pria itu benar-benar salah. Keputusan untuk tetap memaksa Mark, hanya akan membuat pria atheis itu semakin tidak percaya akan keberadaan Tuhan yang sebenarnya. Arsan mengambil alih akan hal ini, ia yakin jika dilakukan secara bertahap, Mark akan luluh. Entah cara ini berhasil atau tidak, setidaknya Arsan sudah mencoba.
"Arsan lo punya ide?"
"Nope," jawabnya singkat.
Gabrian mendengus kesal. Arsan adalah harapan satu-satunya, jika pria itu masih saja gagal, entah bagaimana lagi ia menyelamatkan Mark dari jalan kesesatan ini. Yang sedari tadi dibicarakan kini mulai membuka matanya. Mark, pria itu dengan cepat mencari air minum. Melihat hal itu, Arsan dengan sigap membantunya.
"Lain kali ucapkan kata 'tolong'. Itu keutamaan dasar dalam bersikap."
Mark mendelik kesal. Lagipula siapa pria dihadapannya ini?
"We don't know each other. And you don't know my true nature!"
"Memberitahu tentang adab tidak perlu saling mengenal terlebih dahulu. Ini point positive, jadi terserah kamu ingin menerapkan hal ini atau tidak sama sekali." Arsan pergi dari tempat itu. Tidak lupa ia mengucapkan salam, yang membuat Gabrian kini tersenyum simpul.
"He's right, you should be more polite, Mark. Tidak peduli dia orang asing atau bukan, but you have to apply the point he conveyed."
"Aku tahu itu. Aku hanya ingin membuatnya pergi dari sini."
"The reason?"
"He looks religious, setiap perkataannya sangat lembut dan sopan. He was a danger to me, who had never believed in the existence of God."
Gabrian tertawa kecil, "Isn't that great? Menurut gue, dia bisa nuntun lo ke jalan yang benar. Mark, semua manusia butuh Tuhan buat hidup mereka."
"Do I look care? Persetanan dengan Tuhan, life is about freedom and a choice. Terlalu religius juga tidak baik, sekarang aku tanya, siapa yang disembah Bunda Maria sebelum dia melahirkan Jesus?"
Yang ditanya hanya diam. Sekarang giliran Mark yang tertawa puas. Tangan kanannya kini mulai menepuk pelan pundak dari Gabrian. "Sudah kubilang, menjadi religius itu sulit. Kembalilah belajar Bible, dan datangi aku saat kau sudah siap berdebat kembali."
Gabrian menutup matanya. Ilmu agamanya memang masih belum sempurna. Ternyata benar, berdebat melawan Atheis adalah hal yang paling sulit. Bibir dari pria itu kini membentuk senyuman kecil, saat ia mengingat Arsan - Pria yang baru saja dikenalinya - adalah seorang muslim.
"Gue tantang lo buat debat sama si Arsan."
Mark membulatkan matanya tak percaya. Melihat mata dari Arsan saja ia tidak berani, apalagi berdebat.
"Lo takut, ya?" Gabrian meledek Mark. Ia tahu temannya ini sedang khawatir. Arsan bisa dikategorikan sebagai pria yang menakutkan bagi seorang Mark Spectre.
"Challenge accepted."
Yang menantang kini tersenyum puas. Gabrian yakin, Mark akan kalah dalam tantangan kali ini. Dengan semangat, ia kini memukul pelan kepala dari Mark.
"Good luck, my friend. Tapi gue gak akan kaget, kalo lo dah jadi seorang mualaf ntar."
Mark mendelik kesal, "sialan!" Umpatnya.
🧕🤵♂️
Hujan deras kini mengguyur kota Aveiro, Mark tidak masalah dengan hal ini. Akan tetapi kehadiran makhluk baru bernama Arsan sangatlah mengganggunya. Arsan tidak berhenti mendengarkan lagu islami, yang membuat Mark mau tidak mau harus mendengarkannya juga.
Dikelas hanya ada dia dan makhluk baru ini, sementara mahasiswa lain sedang sibuk makan di kantin. Mata dari Mark kini terfokus kearah Arsan yang sedang membuka satu per satu kaus kakinya.
"Tolong jaga ini semua, I'll be back here in 20 minutes."
"Mau kemana?"
Arsan memperagakan sebagian gerakan shalat, yang membuat Mark kini menatap bingung kearahnya. "Apa maksudnya? Apa kamu akan pergi untuk yoga?"
Arsan menggeleng, "I will go to pray," jawabnya, yang membuat Mark kini mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
"Pergilah, barang-barang milikmu akan aman disini."
"Thank you, Mark."
Mark tersenyum simpul. Ia akui Arsan memang pria yang sopan, tapi hal itu tidak akan mempengaruhi Mark untuk berteman dengan pria religius itu.
"Hey, kau mau apa?"
Yang menyentuh tas dari Arsan, kini memberhentikan aksinya. Pria itu menatap tajam Mark, "gue mau ambil Al-Qur'an didalam tas anak baru ini. Lagian gak guna berangkat kuliah tapi bawa bawa kitab."
Mark secara refleks mengambil tas dari Arsan. Ia menempatkan tas itu disamping tas miliknya. Kini ia hanya tinggal berhadapan dengan pria rasis ini.
"It's not your right. This is Portugal, negara yang menjunjung tinggi kebebasan beragama. Jika kamu tidak suka, just go. Jangan sampai orang asing seperti Arsan terganggu oleh makhluk gila seperti mu."
Yang ditegur kini menatap sinis kearah Mark. Apa-apaan pria ini, gumamnya. Dengan lancang kini pria asing itu merebut kembali tas milik Arsan, ia mengambil Al-Qur'an, lalu dilempar ke sembarang arah. Beruntungnya, Mark dengan sigap menangkap Al-Qur'an itu agar tidak jatuh. Yang melempar kini menatap tak suka kearah Mark, pria itu pergi dan menubruk keras badan dari Arsan yang baru saja menyelesaikan shalat.
"This is your Qur'an, sorry for that, and don't be afraid to study here."
Arsan hanya mengangguk, bibirnya masih tak henti menunjukkan senyuman. Biasanya orang seperti Mark ini sangat kuat dalam hal toleransi. Ia memang tidak percaya Tuhan, tapi masih ada iman didalam hatinya.
"You can't lie about God."
"Sorry?"
"There is still faith in your heart. Renungkan lah hal ini, dan buat hatimu yakin jika hidup mu tanpa Tuhan tidak berarti apa-apa."
"I don't believe in God."
Arsan tersenyum, "bukan tidak, tapi belum. Just be aware of this."
Tidak ingin melukai pria dihadapannya ini, membuat Mark kini mulai pergi dari kelasnya itu. Ia menenangkan dirinya di kantin, beruntungnya Mark, disitu ada Gabrian yang sedang asik berciuman mesra dengan seorang wanita.
"Uh wow, apa itu nikmat?"
Gabrian menyudahi kegiatannya, pria itu menatap tajam Mark. Sementara yang ditatap malah sibuk mengedarkan pandangannya kearah sekitar.
"Lo ngapain disini sih?!!" Gabrian kesal bukan main. Mengapa disaat ia sedang bersenang-senang selalu ada Mark yang membuat semuanya menjadi hancur?
"Cuman nyapa, sambil liatin pria alim yang lagi asik ciuman."
Yang disindir kini mengeram kesal. Dengan cepat Gabrian membawa Mark kearah luar. Bisa bahaya jika Mark membongkar semua aib miliknya.
"Gue lagi enak-enaknya ciuman. Dan lo malah dateng? Sialan lo Mark."
Mark tertawa sinis. "Didalam al-kitab ada beberapa larangan untuk menjauhi perzinahan. Gue gak bego bego amat, Yan. Ayah gue Kristen akut, berkat tingkah lo ini, gue semakin yakin kalo Tuhan tuh beneran gak ada. Hambanya aja kaya gini, apalagi gue?"
Gabrian hanya diam. Ia tahu dirinya salah, secara lembut ia kini menepuk pelan pundak dari Mark. "Gue tau gue salah, tapi seperti yang gue bilang dari awal, gue gak sereligius itu. Dan gue cukup sadar buat bikin lo yakin kalo Tuhan tuh beneran ada. Mark, seseorang gabisa hidup tanpa adanya Tuhan didalam imannya. Dan lo masih suci, lo bahkan belum pernah pacaran. Mark, gue harap lo ada dijalan yang bener, gue mohon Mark, gak ada salahnya lo coba deket sama Tuhan dulu."
Hati Mark terenyuh. Ini pertama kalinya ia mendengar keluh kesah dari seorang Gabrian. Jika dipikir-pikir tidak ada salahnya ia mencoba semua ini. Percaya Tuhan bukan sesuatu yang merugikan, ya, kan?
"Ok, I will try."
TBC....