"๐๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ข๐๐๐๐๐ ๐ฆ๐๐๐ ๐๐๐๐โ โ๐๐๐๐ก ๐๐๐๐๐
๐๐๐๐๐๐๐ก๐๐, ๐ ๐๐๐๐๐ ๐๐๐."
"Do you know how much a house costs in this area?"
Yang ditanya malah menggelengkan kepalanya pelan. Arsan hanya tersenyum, setidaknya ia mendapat jawaban singkat dari teman barunya itu. Langkah dari Arsan kini mengarah ke sebuah rumah yang terlihat menarik dimatanya. Mark yang peka dengan berbagai hal, ia dengan cepat memberhentikan langkah dari teman barunya itu.
"Don't go..."
"Uh, why?" Telunjuk dari Mark kini mengarah kearah benda kecil diujung pagar sana. Arsan mengikuti arah telunjuk itu. Bibir cantiknya kini mulai membentuk senyuman kecil.
"Salib, ya?" Mark mengangguk. Pria itu dengan cepat membawa Arsan pergi dari rumah itu. Ia khawatir jika Arsan berubah pikiran hanya karena melihat salib.
"Arsan, lo gak akan pindah agama, kan?"
Yang ditanya kini menggelengkan kepalanya. "I was born a Muslim, and forever will remain so. Kalaupun aku pindah agama, tolong segera penggal kepalaku." Tadinya Mark ingin tertawa mendengar hal itu, niatnya ia urungkan, karena wajah dari Arsan yang terlihat seperti tidak main-main.
"Why do you say that?"
"Kamu tahu cerita tentang Umar bin Khattab? He was originally a hater of Islam. Tapi mendengar Fatimah, adiknya, yang sedang membaca Al-Qur'an, membuat Umar berambisi menghentikan dakwah Nabi Muhammad pada saat itu. Tapi hal itu sia-sia saja. Karena Allah maha membolak-balikkan hati manusia, dan pada akhirnya Umar masuk Islam. Ia diberi julukan Al Faruq yang artinya bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Pada usianya yang ke-63, Umar dibunuh oleh Abu Lu'lu'ah, seorang budak yang fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh. Ia dinyatakan mati syahid, yang berarti sudah dipastikan jika Umar masuk surga.."
"Ada juga cerita tentang Nabi Idris yang meninggalkan sandalnya didalam surga, agar ia bisa kembali ketempat indah itu lagi nanti. Dari 2 cerita diatas, bisa disimpulkan jika surga itu indah, aku takkan mungkin meninggalkan agama yang aku cintai sedari kecil. Maka dari itu, tolong sadarkan aku, jika aku berani meninggalkan agama yang sangat aku cintai ini."
Cerita dari Arsan habis sampai disitu saja. Mark yang sedari tadi mendengarkan kini mulai menatap Arsan dengan tatapan seriusnya.
"Gue gak percaya Tuhan itu ada. Dan untuk hal ini gue minta maaf. Kalo suatu saat lo pindah agama, gue gak bisa nolong."
Arsan tersenyum, "I believe you can. Mark, perasaan itu hanya belum tumbuh. Seseorang akan kehilangan arah, jika tidak percaya Tuhan dihidup mereka."
Kalimat terakhir dari Arsan, mampu membuat seorang Mark kini merenung akan hal itu. Ia pamit pulang, rencananya ia ingin membaca dengan lengkap tentang semua cerita tadi.
Mark sampai dirumahnya sekitar pukul 13.45, pria itu rela meninggalkan Arsan sendirian hanya demi sebuah cerita tentang seorang sahabat Nabi, yaitu Umar Bin Khattab. Pria itu membacanya dengan khidmat. Sesekali kepala dari Mark juga mengangguk pelan, dengan artian jika ia setuju dengan beberapa perkataan yang ada di cerita itu.
"Aku khawatir akan datangnya hari di mana orang-orang yang tidak beriman merasa bangga dengan kedustaannya, sementara orang-orang yang beriman malu dengan keimanannya."
Mark tertegun, kenapa di setiap pesan yang disampaikan oleh beliau, ia menyetujuinya? Ia kini menggelengkan kepalanya pelan, mengagumi seorang tokoh yang sangat gigih dalam berjuang di Medan perang, itu hal wajar, bukan?
"Mark, kamu sedang apa?"
Felicia Gwyneth Hananiah. Seorang ibu dari satu orang anak, yang merupakan Kristen sejati. Feli sangat melarang Mark mengenal agama lain. Sejak kecil, Mark sudah dikenalkan dengan agama Kristen. Ayahnya juga sering membawa Mark untuk ke gereja, tapi entah mengapa anak itu selalu menolaknya. Dan inilah akhirnya, Mark menjadi seorang atheis, yang bahkan enggan mengenal Tuhan.
"Mark...?"
"Watch about Umar Bin Khattab. Mom, you know? He's very mighty, and he's very firm in making a decision."
Feli diam ditempatnya. Siapa itu Umar Bin Khattab? Seakan peka, Mark mulai menjelaskan secara rinci tentang Umar, ia bahkan tidak melewatkan satupun kalimat dari pesan yang Umar sampaikan.
"Wow, that's interesting. But, Mark... Kamu tidak tertarik dengan islam, kan?"
Mark tersenyum. Pria itu perlahan mendekat, lalu memeluk Ibunya. "No. Wait, mungkin lebih tepatnya belum tertarik,"jawabnya.
Feli hanya membalas dengan senyuman tipisnya. Lagipula apa yang ia takutkan? Islam juga agama yang baik untuk semua orang, dan apa yang Mark pilih, mau tak mau ia harus mendukungnya juga.
"Choose what makes you feel happy."
"I will, Mom."
๐ง๐ง
Arsan memperhatikan sekelilingnya. Ia mencari keberadaan seseorang yang selalu menganggu pikirannya. Katakanlah ia sedang jatuh cinta, tapi ia tidak mungkin mengungkapkannya. Pria itu sudah memegang teguh prinsip, tidak ada hubungan yang lebih baik, kecuali hubungan yang sudah halal.
Senyuman kecil dari bibir cantik pria itu kini terbit. Itu Lavina Sheeva Malayka, gadis yang ditemuinya kemarin saat sedang membantu seseorang.
Flashback
Arsan yang kini kebingungan setelah ditinggal pergi oleh Mark, mulai mencari akal. Ia bahkan tidak tahu persis arah jalan pulang. Beruntungnya, otak miliknya bekerja dengan sangat cepat. Ia mengeluarkan handphone miliknya, lalu mulai membuka aplikasi google maps.
Pria itu terus mengikuti arah jalan yang disampaikan. Hingga akhirnya ia menyerah, menggunakan alat modern sebagai arah penunjuk jalan sangat tidak efektif. Matanya kini mulai melihat ke segala arah, pandangannya kini tertuju kearah seorang gadis yang terus melambaikan tangannya kearahnya.
"Saya?" Tanya Arsan dengan telunjuk yang mengarah kepada dirinya sendiri.
"Iya, kamu sini."
Arsan mendekat. Tangannya kini dengan sigap mengangkat beberapa barang yang ada disitu. Sang pemilik barang kini terlihat panik, ia takut jika pemuda dihadapannya ini membawa kabur barang bawaannya.
"Barang-barangnya mau ditaro dimana ini, Bu?" Arsan bertanya dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya. Berkat hal itu, ia berhasil membuat seorang wanita tua percaya kepadanya.
"Taro didekat pintu gedung tua itu saja, Nak."
"Baik, Bu."
Arsan mengangkat sebagian barangnya bersama gadis yang memanggilnya tadi. Setelah semuanya selesai, mereka berdua pergi dari tempat itu dengan jarak yang sudah Arsan perkirakan.
"What's ur name?"
"Lavina Sheeva Malayka, panggil aja Vina. Kamu?"
"Arsan mahendra, bebas dipanggil aja, tapi kalo bisa hamba Allah aja."
Lavina tertawa kecil, "kamu lucu," pujinya, tanpa memperdulikan Arsan yang sudah terdiam ditempatnya.
"Ya Allah, kenapa hati hamba bergetar? apakah ini pertanda bahwa malaikat Izrail sedang melakukan pdkt kepada hamba?" Celotehnya secara random.
Cut
"Mau kemana, Vin?"
"Ke Masjid, San. Kan udah waktunya shalat."
Arsan memukul kepalanya pelan. Bagaimana dirinya bisa lupa akan hal itu? Lavina yang sedari tadi menyadari tingkah laku dari Arsan, dirinya tersenyum kecil.
Mereka berdua berpisah karena tempat shalat yang berbeda. Arsan melangkahkan kakinya kearah tempat wudhu terlebih dahulu. Pria itu melirik kearah kanan, yang memperlihatkan seorang pemuda sedang tertawa kecil kearahnya.
"Lagi jatuh cinta ya, Mas?"
"Enggak, memang kenapa?"
"Keliatan aja lagi salting. Saya tadi berada tepat di belakang Mas sama Mbaknya, dan maaf Mas, saya gak sengaja denger semua pembicaraannya."
Arsan tersenyum tipis. Hal itulah yang membuat si pemuda disampingnya menepuk bahunya secara pelan. Ia tahu perasaan Arsan, apalagi ia juga pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
"Perjuangin dia, Mas. Kalo saya perhatikan Mas nya cocok sama yang tadi,"ucap pemuda itu.
Arsan menggeleng. "Saya tidak akan mungkin memperjuangkan seseorang yang belum tentu menjadi jodoh saya. Lebih tepatnya, saya takut jika Allah cemburu."
Yang diajak berbicara kini melamun ditempatnya. Perkataan dari Arsan kini membuatnya sadar jika cinta sejati tidak datang dari hubungan haram, seperti berpacaran. Pria itu tersenyum, lalu menyalami tangan kanan dari Arsan dengan perasaan senangnya.
"Terimakasih sudah menyadarkan saya."
Arsan tersenyum singkat. Hal seperti inilah yang Arsan inginkan, ia ingin semua muslim sadar jika cinta Allah lebih besar dari apapun. Tanpa sadar, Arsan meneteskan air matanya, yang membuat pria muda itu menjadi panik.
"Mas, Mas, kenapa nangis?"
"Saya hanya terharu melihat kamu yang mulai kembali kejalan Allah. Terimakasih sudah mau kembali, ya?"
Itu pesan terakhir sebelum Arsan mulai mengambil wudhu. Pria yang tadi asik berbicara dengannya pun kini sudah berpindah posisi. Mereka berdua bertemu dengan posisi shaf yang sejajar, Arsan tersenyum singkat menanggapi hal itu.
ุงููููู ุงูููุจูุฑู ุุงููููู ุงูููุจูุฑู
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
ุฃูุดูููุฏู ุงููู ููุง ุฅูููฐูู ุฅููููุงุงูููู
Asyhadu allaa ilaaha illallaah.
ุงูุดูููุฏู ุงูููู ู ูุญูู ููุฏูุง ุฑูุณููููู ุงูููู
Asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah.
ุญูููู ุนูููู ุงูุตููููุงุฉู
Hayya 'alash shalaah.
ุญูููู ุนูููู ุงููููููุงุญู
Hayya 'alal falaah.
ููุฏู ููุงู ูุชู ุงูุตููููุงุฉู ุููุฏู ููุงู ูุชู ุงูุตููููุงุฉู
Qad qaamatish shalaah, qad qaamatish shalaah.
ุงููููู ุงูููุจูุฑู ุุงููููู ุงูููุจูุฑู
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.
ููุงุฅูููฐูู ุฅููุงููุงูููู
Laailaaha illallaah
Arsan memfokuskan dirinya kearah depan. Jangan sampai shalatnya terganggu hanya karena hal kecil. Pria itu mengucapkan doa sesudah iqomah yang berbunyi, "Allahumma Rabba hadzihi ad-da'wati at-tรขmmati, wa ash-shalรขti al-qรขimati, shalli 'ala sayyidina muhammadin wa รขtihi su'lahu yaumal qiyรขmah." Atau yang artinya, "Ya Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, rahmatilah Nabi Muhammad dan berikan padanya permintaannya di hari kiamat."
Semua jama'ah sudah siap, termasuk Arsan dan pemuda tadi. Imam juga sudah bersiap untuk memimpin jalan pelaksanaan shalat.
"Sowwu sufuufakum. Luruskan dan rapatkan shaf." Setelah dipastikan semua shaf berjejer rapi, imam mulai memimpin shalat.
๐๐ฅ๐ฅ๐๐ก๐ฎ๐๐ค๐๐๐ซ.
Shalat kali ini berjalan dengan lancar. Butuh waktu 15 menit untuk ustadz memberikan ceramah singkatnya kepada seluruh jamaah. Masjid disini memang memberikan peraturan, jika ustadz ataupun jama'ah boleh memberikan ceramah dalam waktu 15-30 menit setelah shalat selesai.
Sebelum keluar masjid, Arsan menyempatkan diri untuk menyapa sebagian jama'ah yang ada disitu. Berkat keramahannya, pria itu diundang untuk datang kembali saat bulan suci Ramadhan tiba. Arsan menyejui hal itu, siapa yang tidak senang jika diundang secara langsung oleh ustadz bersuara merdu ini?
Tanpa Arsan sadari, sedari tadi jama'ah perempuan membicarakannya. Mereka semua takjud dengan adab dari Arsan, Lavina selaku teman dari Arsan kini mulai menegur mereka.
"Boleh menyukai seseorang, tapi jangan mengajaknya berpacaran," pesannya.
"Memang kenapa?"
"That's haram, dan Arsan adalah tipe laki laki yang sangat patuh dengan agamanya. Pria seperti itu tidak akan mungkin didapatkan dengan tindakan haram, seperti berpacaran."
Semua jama'ah perempuan yang berkumpul kini menganggukkan kepalanya kecil. Lavina mengalihkan pandangannya kearah seorang gadis yang menatap Arsan tanpa mengeluarkan kata sedikitpun.
"Hey, are u okay?"
Yang ditanya kini tersenyum singkat. Gadis itu memperkenalkan namanya kearah Lavina, yang membuat gadis itu mau tak mau memperkenalkan namanya juga.
"Jadi kamu suka Arsan ya, Syah?"
"Iya. Tapi seperti yang kamu bilang, pria perfect kaya dia mana mungkin didapetin dengan cara haram. Susah ya, Vin, kalo udah suka sama yang paham agama?"
Lavina tertawa kecil. Gadis itu mengusap pelan puncak kepala dari Aisyah. "Kejar dulu cintanya Allah, kamu masih inget kan kisahnya Fatimah Az-Zahra yang rela ngelupain cintanya sama Ali, demi ngejar cintanya Allah lebih dulu? Tapi apa balesan Allah sama Fatimah? Dia kasih Ali sebagai jodohnya. Sekarang kamu ngerti kenapa aku bilang kejar cintanya Allah dulu, kan?"
Aisyah mengangguk, "tapi gimana kalo kisah aku gak seindah Fatimah?" Tanyanya, yang membuat Lavina kini mulai menenangkannya.
"Syah, Allah pingin yang terbaik buat semua hambanya. Kalo Arsan bukan jodoh kamu, itu berarti Allah udah siapin jodoh yang terbaik buat kamu. Percaya deh, Syah. Takdir Allah itu yang terbaik."
๐๐๐....