"Kalau begitu kita sepakat." Kata Rei sambil mengambil emblem emas dari tangan pamannya. Tuan Fendi kelihatan belum mau melepaskan emblem itu. Tapi karena Rei menariknya dengan keras, emblem itu pun akhirnya lepas dari kepemilikannya.
"Sebenarnya apa yang akan kau lakukan dengan emblem itu?" Tanya tuan Fendi kemudian. "Bahkan sampai memberikan semua peninggalan harta ibumu segala."
Rei sempat terdiam saat diingatkan kembali mengenai hal itu, tapi kemudian dia menjawab. "Yah, hartanya cuma berupa tumpukan perhiasan. Tidak seperti Aku membutuhkannya juga."
Gantian terdiam, kali ini tuan Fendi kembali memandangi keponakannya dengan tatapan tajam. Mereka sudah memiliki hubungan yang buruk sejak lama, jadi sebenarnya dia sudah tidak akan kaget kalau Rei akan merencanakan sesuatu yang licik saat dia bilang akan datang ke sini.
Tapi siapa sangka kalau ternyata Rei malah hanya ingin membeli sebuah emblem emas.
Secara teknis emblem seperti itu tidak bisa diperjual belikan karena emblem itu juga disertai dengan sertifikat kepemilikan. Tapi tuan Fendi--yang merupakan salah satu pengurus di pabrik pembuatan emblem itu--bukannya tidak mungkin mengabulkan permintaan itu.
Apalagi karena Rei juga sampai berjanji kalau dia akan membatalkan laporannya ke istana mengenai usaha penggelapan uang yang dilakukan pamannya belakangan ini--yah, pada akhirnya Rei tetap butuh sedikit ancaman untuk memastikan perjanjiannya aman.
Lalu tidak seperti kebanyakan pabrik yang bekerja langsung di ibukota, pabrik pembuatan emblem penghargaan ada di kota ini. Jadi walaupun tetap beresiko, setidaknya cara ini sudah cukup aman. Asal tidak ada yang menyelidiki, harusnya…
"Oi, lalu bagaimana dengan Oliver?" Tanya tuan Fendi kemudian. "Kau akan melepaskannya kan?" Katanya. Soalnya setelah menangkap basah sepupunya membuntuti mereka, Rei langsung menangkapnya dan mengikatnya di depan pabrik.
"...Tapi kupikir paman menganggapnya sebagai anak bermasalah."
"Tetap saja!"
"...Tsk." Terlihat seperti tersinggung, Rei langsung memutar langkanya untuk pergi. "Sulur-sulur itu akan lepas sendiri kalau sudah malam, jadi temani saja dia sampai saat itu."
"Mmffmmff!!" Dan si anak yang dibicarakan memang masih terikat di salah satu pohon di halaman. Beberapa pekerja memandanginya dengan kasihan. Tapi karena ayahnya sendiri juga cuma bisa menonton, pada akhirnya mereka juga hanya bisa membiarkannya.
"Bahkan orang sepertinya saja masih punya ayah yang normal kah…" Gumam Rei yang masih memandang kesal ke arah Oliver. Tapi setelah menggerutu sesaat seperti itu, dia pun akhirnya pergi sendiri.
==============================
"Aku perlu pergi ke… Mm, pergi saja ke kantor walikota. Pilih jalan yang paling cepat." Kata Rei pada supirnya.
Hari sudah mulai sore saat dia sampai di sana. Tapi meski dia turun di depan sebuah mansion besar tempat walikota tinggal, ternyata Rei masih perlu jalan memasuki sebuah hutan kecil untuk mencari sebuah pondok lain. Pondok kayu yang di depannya terdapat sebuah papan bertuliskan 'Toko Serba Ada'.
Kring! Begitu dia masuk, pintu belnya berbunyi. Tapi bukan cuma si pemilik toko, pelanggan lain yang ada di situ juga langsung mengalihkan pandangannya ke pintu.
"..." Rei langsung menyesal sudah masuk, tapi terlambat. Perempuan itu sudah melihatnya.
"Oh? Rei, apa yang kau lakukan di sini?" Sapa perempuan dengan parfum jeruk itu, Elena. Tapi karena Rei hanya diam, Elena malah jadi tertawa pelan. "Aku sumpah tidak tahu kau akan ke sini, jadi jangan takut begitu."
Masih mengerutkan alisnya, Rei belum mau mendekat. "Kenapa kau di sini?"
Elena tersenyum sejenak, tapi kemudian dia mengalihkan pandangannya lagi ke arah botol-botol kaca yang ada di meja. "Aku cuma perlu membeli stok tambahan. Soalnya Aku banyak menggunakannya saat di Granea--Kakek, Aku ambil semuanya ya."
Dan selagi kakek dengan punggung bungkuk itu sibuk memasukkan semua botol kaca tadi ke kotak kayu, Elena kembali menoleh pada Rei. "Lelangnya diserang oleh sekelompok pencuri, kau tahu. Tapi tidak mungkin kau sudah tahu itu saat kau memberitahuku tentang lelangnya kan?"
"...Aku tidak seiseng itu."
Elena terdiam agak lama seperti sedang menganalisa jawaban Rei, tapi akhirnya dia mulai tersenyum kembali. "Bagus kalau begitu. Lagipula yah, Aku juga sudah dapat benda yang kuinginkan. Jadi gratis malah, karena Aku hanya perlu merebutnya kembali dari para pencuri itu."
Mulai sedikit melemaskan bahunya, Rei pun mulai melangkah mendekat. "Keberuntungan mereka jelek sekali."
"Terus, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Elena lagi. "Padahal kalau menurut informasi yang kudapat, kau harusnya berada di tempat Hiki sampai minggu depan."
Rei sebenarnya tidak kaget Elena tahu hal itu, tapi rasanya tetap menyebalkan mendengarnya. Jadi dia malah membalas, "Kenapa? Kau penasaran bagaimana kabarnya?"
Elena tertawa pelan. "Yah, asal dia masih hidup kurasa tidak masalah." Jawabnya santai.
"Secara teknis kami hampir mati diserang kucing gila, tapi ya--"
Glek! Tapi entah kenapa Rei malah mulai merasa ada aura membunuh yang keluar dari arah Elena.
"Aku akan membiarkannya karena kalian berteman... Tapi sebaiknya kau tidak membohongiku seperti itu lagi." Katanya kemudian. Padahal orangnya masih kelihatan tersenyum, tapi nada suaranya sudah terdengar sangat dingin. "Dia milikku."
"...Siapa juga yang mau merebutnya" Balas Rei sebisanya meski sebenarnya dia merasa agak pahit mennjawabnya
Tapi sebelum suasana hati Elena bertambah buruk, untungnya si kakek sudah selesai memasukkan semua botol kaca pesanan Elena. "Ini uangnya. Ambil saja kembaliannya." Kata Elena sambil menaruh satu kantong uang gemuk yang gemerincing.
Dan begitu si kakek mengangguk, Elena langsung mengubah ukuran kotak itu jadi kecil dan menelannya. Dia punya satu kotak lagi, tapi dia hanya memegangnya.
"Terus kau mau cari apa ke sini?" Tanya Elena kemudian.
Rei sempat terdiam tidak ingin menjawabnya. Tapi setelah dipikir, mungkin tidak masalah juga dia mengetahuinya. Karena bagaimanapun artefak yang ingin dia beli bukan sesuatu yang segitunya aneh.
"Aku butuh artefak yang bisa menyimpan energi sihir, apa ada?" Tanyanya pada si kakek yang sayangnya menggeleng. Dia juga mulai menggerakkan tangannya dalam bahasa isyarat, tapi Rei tidak bisa memahaminya.
"Dia bilang kau terlambat. Seseorang sudah membelinya beberapa hari lalu." Timpal Elena menerjemahkan. "Lagipula kenapa juga kau butuh benda seperti itu? Aku saja tidak, apalagi dirimu."
Tapi bukannya menjawab, Rei malah cuma berdecak kesal dan langsung pergi keluar toko. Elena tidak repot-repot memanggilnya lagi, tapi dia tetap mengekor di belakang Rei sambil tertawa sendiri melihat punggung kesalnya.
Baru setelah mereka keluar hutan dan berada di dekat kantor walikota, Elena mulai kembali bersuara. "Oh! Kau bawa kereta rupanya. Baguslah, soalnya Aku tidak bawa." Kata Elena yang langsung lari masuk duluan ke kereta Rei.
Tidak bisa mengusir orang sepertinya, Rei pun cuma bisa mendesah dan akhirnya ikut masuk.
"Antar Aku ke rumah nyonya Felina ya." Katanya kemudian. Tapi karena Rei tidak kelihatan penasaran, dia melanjutkan. "Aku tinggal di sana untuk sementara, kau tahu. Soalnya nyonya Felina mudah dirayu." Tambahnya.
"...Tidak peduli."
"Begitu? Tapi menurutku kau harusnya peduli." Balas Elena. "Soalnya saat menemani nyonya Felina belanja, tadi Aku juga bertemu dengan Aria."
"..."
Mendapatkan reaksi yang dia inginkan, Elena pun melebarkan senyumnya. "Aha. Sudah kuduga kau mengenalnya."