Kepulan asap hitam membubung tinggi hingga membuat langit hitam pekat. Suara jeritan histeris menggelegar di kuil Prameswari yang terletak di atas bukit Arjuna. Mayat para tentara bergelimpangan di penjuru negeri. Jilatan api menghanguskan beberapa bangunan kuil beserta seluruh penduduknya. Darah membanjiri kuil ̶ tempat para jin belajar menyucikan diri ̶ menjadi seperti lautan merah dan porak-poranda akibat serangan bertubi-tubi.
Di tengah kekisruhan, tiba-tiba muncul seorang wanita yang jatuh tersungkur dengan napas tersengal-sengal, setelah mati-matian bertarung melawan musuh. Darah mengucur deras dari luka yang menganga di perutnya akibat sabetan pedang musuh.
"Ratu, tolong kami!"
Wanita itu segera berpaling ke asal muasal teriakan tersebut. Salah satu tentara musuh menyeret-nyeret seorang anak kecil sambil tertawa terbahak-bahak. Bocah itu berusaha merangkak ke dalam cela reruntuhan, tetapi kakinya ditarik dan diseret menjelajahi negeri. Tubuhnya tersayat-sayat akibat terkena bebatuan dan meninggalkan jejak darah di sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Ratu, tolong aku!"
Teriakan kesakitan itu meremukkan jiwa dan hati wanita cantik bernama Tunggadewi. Ratu berjuang keras untuk segera bangkit berdiri, tetapi usahanya tersebut sia-sia. Dia langsung ambruk karena tak mampu menahan rasa sakit di perutnya akibat tertancap sebilah pedang.
"Maafkan aku. Maafkan aku …"
Tunggadewi hanya mampu menangis terisak-isak saat menyaksikan gadis kecil itu disiksa hingga menjemput ajalnya. Dia disergap keputusasaan dan kebimbangan. Dia sudah kalah telak. Sejauh mata memandang yang dilihatnya hanyalah kehancuran. Teriakan demi teriakan bersenandung pilu hingga memenuhi bumi.
Aku harus berdiri, bisik Tunggadewi dalam hati. Dia terus mengerang kesakitan saat mencabut pedang dari perutnya, lalu berjuang bangkit berdiri.
"Argh ...." Erangan dari mulutnya menahan rasa sakit yang tak tertahankan.
Wanita perkasa tersebut ambruk dan tersungkur sembari mencengkeram dadanya yang sesak. Napasnya tercekat di rongga dada, sehingga dia kesulitan bernapas, seolah sedang berada di ujung kematian.
Tidak! Aku tidak boleh menyerah. Semua ini belum berakhir. Aku tidak boleh mati. Kata-kata tersebut mengiang dalam benak Tunggadewi yang sedang berjuang melawan takdirnya. Kemudian dia melirik cermin yang sejak tadi dipegangnya erat-erat di tangan kirinya.
Aku tidak punya pilihan lain.
Dengan kekuatan terakhir, Ratu Tunggadewi mengangkat cermin langit ke angkasa. Seketika itu ada sekelebat cahaya muncul dari tangannya.
"Para pujangga saking alam sanes ... Argh!"
Namun, sebelum Ratu selesai mengucapkan kata-kata mantra kuno itu, dia ambruk dan tersungkur akibat kekuatannya terkuras tak tersisa. Napasnya tersengal-sengal, dan kakinya lemas. Cahaya suci itu lenyap digantikan pemandangan baju putihnya yang bermandikan darah. Di sisi lain, cermin itu terlempar jauh darinya.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Dada, mulut, dan tangan wanita perkasa itu terciprat darah saat dia mencabut sebilah keris berbentuk gagang naga dan bertatah zamrud hijau, yang menikam perutnya.
"Cerminku …."
Dia merangkak dengan susah payah, berusaha meraih cermin yang tergeletak agak jauh darinya.
"Ratu, tolong kami!" Teriak keras seorang wanita yang sedang berebutan bayi dengan salah satu prajurit.
Pergerakan Tunggadewi sontak berhenti dan berpaling pada wanita yang sedang terkepung itu. Ratu diam mematung. Dia hanya memandangi murid-muridnya tersebut dan cerminnya bergantian. Dia dirundung kebimbangan, sebab cermin itu tidak boleh jatuh ke tangan lawannya. Namun, di sisi lain, dia tidak ingin kehilangan salah seorang anak didik yang dikasihinya. Dia tahu betapa pahitnya hidup tanpa orang-orang yang dicintainya.
Di kuil itu Tunggadewi mendapatkan julukan Ratu oleh semua jin, karena dialah yang mengatur kuil itu selama bertahun-tahun. Dia dicintai semua muridnya dan rakyat sekitar kuil karena baik hati dan selalu membantu mereka dengan sukacita.
"Ratu! Tolong ka … Argh!"
"Jangaaaaan!" Ratu menjerit-jerit histeris.
Tunggadewi tetap terpaku di tempat saat prajurit itu menusuk salah satu asisten wanitanya hingga mati, sedangkan bayinya dipenggal dengan sadis hingga tubuhnya terpotong menjadi beberapa bagian.
Ratu menangisi mereka. Dia tertunduk sedih, tidak sanggup melihat peristiwa itu.
"Maafkan aku. Aku sudah tidak layak jadi ratu kalian. Seandainya aku sedikit lebih kuat, aku mungkin bisa mengalahkannya," rintih Tunggadewi sambil menangis tersedu-sedu. Kini dia sudah berada diambang keputusasaan.
Seandainya waktu bisa diputar, Tunggadewi tidak akan membiarkan semuanya berakhir. Namun, semuanya sudah terlambat. Ratu memeluk cermin itu erat-erat dengan perasaan hancur berkeping-keping.
Seketika terlintas dua sosok manusia yang paling dicintainya.
"Tidaaak!"
Ratu menyeka air mata di pipinya dengan kasar dan langsung bangkit berdiri.
Semua ini belum berakhir. Aku harus bertahan demi mereka. Ujar Ratu dalam benaknya.
Ratu menguatkan tekad dan berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan terakhirnya sebelum dia meninggal. Paling tidak, jika dia sudah gagal, Ankara harus ada harapan untuk baik-baik saja. Dia mengumpulkan kekuatan terakhirnya untuk satu melakukan satu mantra terakhir.
"Menyerahlah, Tunggadewi!"
Suara kekehan jahat menyentakkan lamunan Tunggadewi. Suara itu berasal dari kumpulan kabut asap di belakangnya.
Ratu sontak menatap ke arah suara sambil berkata, "Siapa Kamu sebenarnya?!"
Sontak suasana jadi hening mencekam.
Tap! Tap! Tap! Suara derap kaki yang berasal dari jubah besi berat berderap nyaring menggema ke seluruh kuil. Seluruh penghuni kuil Prameswari langsung lari terbirit-birit tak beraturan saat merasakan ada hawa asing yang mencekam. Banyak korban berjatuhan akibat terinjak-injak dan berakhir tewas mengenaskan, karena berusaha melarikan diri.
Para pengabdi kuil yang berhasil lolos bergegas bersembunyi di balik puing-puing bangunan yang sudah roboh. Mereka tidak ingin hidupnya berakhir naas oleh prajurit berbaju besi hitam misterius itu.
Tunggadewi menelan ludah dengan sudah payah ketika langkah itu kian mendekat. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mengucur deras di dahinya. Dia menatap lekat-lekat ke arah derap itu sembari mencengkeram dan mendekap erat-erat cermin sakti di di dadanya.
Tak lama kemudian, seorang punggawa bertubuh kekar dan berbaju zirah hitam muncul dari kepulan asap hitam.
Tunggadewi terbelalak ketika sosok itu menampakkan diri. Dia sudah terpojok. Para pelindungnya semua sudah tewas dan kekuatannya sudah hampir habis.
"Semuanya sudah berakhir. Kuilmu sudah hancur. Menyerahlah!"
Pria bertopeng itu menyeringai penuh kemenangan. Dia berjalan santai melewati bangkai-bangkai penduduk kuil Prameswari yang mati bergelimang untuk mendekati Tunggadewi. Bahkan, dia tidak segan-segan menginjak mereka bagaikan keset kaki.
"Berhenti!"
Tiba-tiba dua pengikut setia Ratu langsung berdiri di depannya sebagai tameng untuk melindungi wanita perkasa itu dari serangan Pangeran Kegelapan, "Monster najis sepertimu tidak pantas berada di kuil!"
"Apa yang kalian lakukan? Cepat! Menyingkirlah dari sini! Selamatkan diri Kalian! Dia bukanlah tandingan kalian!" Teriak Ratu panik.
Dua jin di depan Ratu hanyalah jin kelinci muda yang sedang belajar mengenai ritual upacara di kuil. Mereka tidak mempunyai kekuatan supranatural, dan mereka juga diberkati fisik yang kecil. Sehari-hari mereka hanya membantu Ratu untuk menyiapkan perlengkapan upacara.
"Tidak, Ratu. Kami bersumpah akan melindungi Ratu! Apa pun yang terjadi!"
Mereka sebenarnya sangat ketakutan sampai keringat dingin membasahi tubuh. Namun, mereka pantang mundur dan tetap berlagak seperti ksatria dengan berbekal pedang yang mereka ambil dari tentara yang mati di tangan mereka.
Ratu terharu dengan perjuangan anak didiknya. Dia tertegun, tak sanggup berkata-kata untuk menjabarkan perasannya kini. Hancur, frustrasi, dan kecewa. Air matanya mengucur deras dan dadanya sesak bagai tercabik-cabik. Seharusnya dialah yang melindungi mereka, bukan malah sebaliknya.
Kenapa harus berakhir seperti ini? Tanya Tunggadewi dalam hati sambil menangis pilu. Dia meratapi dirinya yang lemah dan bodoh. Wanita itu sungguh malu pada gelarnya sebagai ratu karena sudah gagal melindungi kuil Prameswari. Namun, sekarang untuk berdiri saja dia sudah tidak mampu.
"Jangan khawatir Ratu. Kami ada di sini untuk Ratu."
Entah apa yang sudah merasuki kedua pelayan itu, padahal mereka tahu jika nekat melawan Pangeran Kegelapan, mereka jelas akan mati.
Namun, kehilangan Ratu Tunggadewi untuk para penduduk di sana seperti kehilangan harapan sebab dia adalah cahaya bagi masyarakat kuil Prameswari. Jika dia mati, maka tidak ada lagi harapan bagi mereka.
Para pelayan itu berpaling pada sang Ratu dan tersenyum. Ratu tahu bahwa itu adalah terakhir kali dia akan melihat mereka.
"Kumohon, jangan bunuh mereka. Mereka hanya anak-anak."
Ratu menangis pilu sembari memohon kepada malaikat pencabut nyawa di depannya agar dia berbelas kasihan kepada mereka, terutama pada dua jin muda di depannya yang tidak berdosa..
"Ratu tidak perlu merendahkan diri pada monster itu! Kita lebih baik mati daripada menjadi bawahannya!" Ujar dua pelayan muda itu yang rela mati demi mempertahankan keyakinannya.
Pria itu menyeringai licik. Di mata Pangeran Kegelapan, mereka terlihat seperti hewan yang sedang menyerahkan nyawanya pada pemburu dengan sukarela. Mereka sama sekali bukanlah tandingannya. Bahkan, dia hanya perlu menjentikkan jarinya untuk mengirim dua pelayan itu ke akhirat.
"Jangan mendekat atau kami akan membunuhmu!" Teriak dua pelayan itu ketika Pangeran Kegelapan enggan berhenti.
Sang Punggawa terkekeh, mengejek.
Tangan kedua pelayan itu meremas pedang yang ada di telapaknya, terbakar amarah, meski mereka tahu ada perbedaan besar antara kekuatan mereka dan Pangeran. Namun, para ajudan itu bersumpah tidak akan lari seperti pecundang. Apa pun yang terjadi.
Pangeran Kegelapan mengeluarkan pedang berwarna hitam dari selongsong pedang di pinggangnya. Dia merapatkan jari telunjuk dan tengah dari tangan kirinya, lalu menjalankannya sepanjang pedang. Api menyala berkobar-kobar dari pedang itu, berubah dari hitam menjadi merah membara. Pangeran Kelelapan dengan segera menebas pedangnya hingga menimbulkan kilat merah yang menghantam mereka.
"Whoaahh!"
Kedua jin itu terpental jauh dan menghantam dinding kuil dengan keras. Dentumannya menggelegar ke seantero kuil, menyayat hati sang Ratu dan seluruh penghuni kuil.
Dua pelayan itu mati mengenaskan. Tempurung kepala mereka pecah berantakan dan isi kepalanya muncrat keluar bertaburan. Mata dan mulut mereka juga hancur. Isi perut mereka berhamburan menghiasi jalanan kuil. Darah segar membanjiri mayat mereka yang digenangi darahnya sendiri.
Ratu memejamkan mata rapat-rapat sembari menangis tersedu-sedu. Dia tak sanggup menghadapi kenyataan yang terjadi.
Kau lemah, Tunggadewi! Kau memang lemah! Ratu merutuki dirinya dalam hati. Bahkan, pada saat genting seperti ini dia hanya mematung seperti pecundang.
"Simpanlah air matamu! Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun."
Pangeran Kegelapan menatap Ratu dengan sombong dari dua lubang depan di bagian mata. Sadar Tunggadewi sudah berada di bawah kekuasaannya, Pangeran Kegelapan itu membuka topengnya.
"Kamu?" Ratu terbelalak tak percaya. Dia sangat mengenal wajah di balik topeng yang berdiri di depannya.
Tidak ada seorang pun yang tahu identitas Pangeran Kegelapan karena dia tak pernah melepaskan topeng hitamnya. Tunggadewi tidak menyangka dialah sang Pangeran Kegelapan, pemimpin Regime Merdeka.
"Kau, Kenapa kau lakukan ini semua?"
Regime Merdeka adalah gerombolan pemberontak yang telah memecah Ankara menjadi dua kubu. Pengikut Regime ini merasa dunia jin seharusnya bisa lebih hebat lagi jika semua jin diperbolehkan untuk mengeluarkan kemampuannya. Namun, sang Raja melarang mereka demi menjaga kedamaian di Ankara. Karena itu, Raja mengeluarkan perintah supaya para jin tidak mengekpoitasi kekuatannya dalam segala hal, sebaliknya mereka harus saling membantu, mencintai, dan bekerja keras demi mempertahankan kedamaian.
Namun, pemerintahan yang damai tidak cocok untuk semua jin di Ankara. Mereka yang menolak akhirnya membentuk grup sendiri, memberontak atas pemerintahan Ankara, dan menamai grup itu Regime Merdeka. Regime ini sebenarnya telah lama ada di Ankara, hanya akhir-akhir ini menjadi lebih berani sejak di pimpin oleh Pangeran Kegelapan. Para jin yang menjadi pengikutnya kebanyakan adalah jin yang menyukai kekacauan, jin bayaran, dan mereka yang selalu ingin terlibat pertempuran demi mengeluarkan potensi terbesarnya dan menjadi tak terkalahkan.
Pangeran Kegelapan sadar kekuatan mereka saja tidaklah cukup untuk mengalahkan pemerintahan Ankara. Demi mewujudkan ambisi jahat tersebut, mereka membutuhkan bantuan dari pecipta kekacauan terbesar di Ankara. Pengacau terbengis dalam legenda, Nagashiwa.
Pria itu hanya tersernyum bengis.
"Apa yang Pangeran inginkan sebenarnya? Kenapa Pangeran tega menghancurkan Ankara?"
"Kamu tahu kenapa?"
Tunggadewi menggeram murka, tetapi tidak bisa melawan. Ya dia tahu jawaban atas pertanyaan bodohnya.
"Kumohon, hentikan peperangan ini. Tidak ada faedahnya Pangeran menggempur Ankara. Semua itu hanya membawa rakyat pada penderitaan dan kehancuran. Kita bisa bicarakan baik-baik."
Sang Ratu memelas, tetapi Pangeran Kegelapan tidak peduli. Dia membopong Ratu dan terbang menaiki Lembuswana-nya ke tengah lautan, di suatu tempat di Ankara. Mereka berhenti di depan sebuah gua yang dikelilingi oleh lautan luas, tebing yang tinggi dan curam.
Tunggadewi menyadari tempat itu, dan dia melihat ke arah Pangeran Kegelapan, berharap dia tidak akan melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Sang Pangeran menggendong Tunggadewi dengan lengan kekarnya dan membawanya mendekati sebuah gua.
"Tolong jangan lakukan ini,. Aku tahu kau kecewa, tetapi ini adalah kesalahan besar."
Pangeran itu hanya membisu dan semakin mendekati gua.
"Toloong, jangan ...." Ratu berkata lirih.
Ratu tidak mampu memberontak akibat telah kehabisan banyak darah sehingga tidak mampu melawan Pangeran Kegelapan. Dia hanya pasrah pada apa yang akan terjadi nanti.
Hari ini Ankara berduka karena sebentar lagi akan kehilangan pilar suci penjaga dunia Jin dari pemakan kegelapan.
Pangeran tertawa jahat, "Disini kau akan merasakan sendiri kekejaman Nagashiwa."
Aku tidak akan membiarkan semuanya hancur sesuai keinginanmu, Pangeran, batin Ratu.
Dengan segenap kekuatan tersisa, Ratu Tunggadewi mengucapkan mantra terakhirnya dengan suara lirih dan terbata-bata.
"Para pujangga saking alam sanes
Hangayunaken pusaka wontening carita
Ngagem brenggalaning langit lan
ngyuwananani angkara murka saking hambek siya"
("Para pujangga dari dunia lain. Mengayunkan pusaka dalam legenda
Menggunakan cermin langit dan Menyelamatkan Ankara dari yang lalim.")
Dari tangan Tunggadewi memancar secercah cahaya yang melesat menuju langit. Akhirnya Ratu pingsan di gendongan Pangeran Kegelapan, tetapi wajahnya terlihat tenang karena dia tahu bahwa ada harapan untuk Ankara.
Seketika tanah berguncang hebat membuat tanah terbelah di depannya. Pengeran Kegelapan terhuyung akibat guncangan yang dahsyat. Dia segera melompat ke depan goa.
Pangeran kesal. Dia tahu arti mantra itu, tetapi dia tidak punya banyak waktu lagi. Dia segera melemparkan Ratu ke dalam gua itu lalu mengucapkan mantra untuk menyegelnya.
***