Chereads / Sang Perantara / Chapter 2 - BAB 1 TIGA SERANGKAI

Chapter 2 - BAB 1 TIGA SERANGKAI

"Para pujangga saking alam sanes

Hangayunaken pusaka wontening carita

Ngagem brenggalaning langit lan

ngyuwananani angkara murka saking hambek siya"

Beatrice terbangun dari tidurnya sambil terengah-engah. Wajahnya pucat pasi seperti habis dikejar-kejar hantu.

Mimpi apa itu tadi? Kenapa mimpinya begitu mengerikan? Gumam Beatrice dalam hati. Apa maksud perkataan wanita itu? Ujar batinnya dengan penuh penasaran. Kata-kata terakhir sang Ratu begitu membingungkannya.

Napas Beatrice makin tak beraturan tatkala dia berusaha menyingkap tabir kalimat Tunggadewi. Dia buru-buru mengambil air putih di samping tempat tidur dan menegaknya hingga tandas.

Tenanglah, Bea. Semua ini hanya mimpi. Gadis berumur 12 tahun itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Dia berusaha menenangkan dirinya yang tengah diserang kepanikan. Penyakit itu selalu muncul tiap kali mimpi itu menghampirinya. Dia pasti mengalami sesak napas dan ketakutan berlebihan. Bea sangat membenci itu.

Mimpi yang sama menghantui Beatrice beberapa hari belakangan ini. Naga Shiwa, Putri Tunggadewi, punggawa berbaju hitam. Nama-nama itu selalu terngiang-ngiang di benaknya. Baginya, semua itu terasa nyata seperti dia turut dalam pertempuran itu dan menyaksikan nasib naas Ratu Tunggadewi. Namun, baru kali ini dia mendengar mantra yang kesannya seperti mantra kuno.

Napas Beatrice perlahan mulai normal. Dia memandang langit-langit kamar di sebuah rumah tua reyot yang banyak sekali bekas bocornya. Kamar itu dulunya didominasi cat putih gading, tetapi kini warnanya sudah mulai pudar dimakan usia. Banyak bagian dinding yang mengelupas akibat terkena rembesan air.

Suara tetesan hujan yang jatuh menghantam ember sudah seperti lagu pengantar tidur bagi Beatrice dan adik-adiknya. Namun, hanya tempat inilah dunia Bea sejak kecil.

Kehidupan gadis bermata biru keunguan dan wajah khas bule tersebut sangat jauh dari kemewahan. Ranjangnya sama sekali tidak empuk karena hanya berupa sebuah matras. Kondisinya sudah lusuh, tipis, dan mengeras akibat telah terlalu lama dipakai. Bahkan, terkadang dia harus terbangun akibat kebanjiran.

Kesunyian selalu membawa Beatrice kembali menerawang ke masa lalunya. Sejak kecil, dia sudah tinggal di panti asuhan milik Bu Sri. Entah bagaimana dia bisa sampai di sini. Bahkan, dia sama sekali tidak tahu tentang asal usulnya, apalagi tentang ibu dan ayahnya.

Dalam kondisi sulit tersebut, Bea masih tetap bersyukur. Setidaknya dia tidak sendirian. Banyak anak-anak yang senasib dengannya dan menjadikan mereka sebagai tempatnya berbagi suka dan duka.

Bea berpaling dan memandang saudara-saudaranya yang masih kecil. Senyum terukir indah di wajah cantiknya ketika melihat wajah mereka yang begitu tenang seakan sedang mengalami mimpi indah.

Di kamar itu, Bea sekamar dengan empat anak perempuan lain yang umurnya jauh lebih muda. Jadi, dia seperti kakak bagi mereka. Tanpa mereka, hidupnya terasa hampa tanpa tujuan. Mereka adalah semangat hidup Bea.

Bea membenarkan posisi bantal dan selimut mereka, lalu mencium kening adik-adiknya itu. Dia merapikan tempat tidurnya, lalu bergegas mandi.

Tok! Tok! Tok!

"Hei, Bea. Ayo cepat bangun!" Tiba-tiba terdengar suara keras di luar sambil menggedor-gedor pintu.

Itu suara Nando, sahabat sekaligus saudara senasib Bea. Nando yang gemuk dan bongsor kadang tidak bisa mengontrol kekuatannya. Namun, Nando adalah orang yang rajin dan penuh perhatian. Buktinya, tiap pagi dia akan selalu menggedor pintu Bea untuk memastikan temannya itu tidak ketiduran. Mereka tinggal satu atap di panti asuhan sebagai anak asuh Bu Sri.

Bea berdesih kesal, "Sttt, jangan berisik! Adik-adik sedang tidur!"

"Kamu saja berteriak!" Jawab Nando lagi.

"Sebentar!" Balas Bea sambil bergegas ke luar dengan kondisi tubuh sudah rapi. Dia mendekati nando sembari menoyor kepalanya.

"Apa kamu punya sopan santun?!" Hardik Bea setengah marah.

Nando meringis.

"Kamu yang salah, pemalas! Kenapa kamu malah memarahiku? Ayo, kita harus memancing supaya kita bisa makan! Aku bisa mati kalau sedetik saja terlambat makan!" Bocah berusia 12 tahun bertubuh gempal itu terus mengomeli Beatrice.

"Di mana Dion? Apa dia sudah bangun?"

"Dia sudah di depan! Ayo!" Nando menarik paksa tangan Bea hingga gadis itu terhuyung-huyung.

Terlihat Dion sudah duduk di depan teras sembari mempersiapkan alat pancing. Dion adalah anak yang paling tua, sekarang umurnya sudah 14 tahun, sedangkan Nando dan Bea masih berusia 12 tahun. Mereka bertiga tinggal di panti asuhan "Kasih Ibu" di lereng Gunung Merapi. Tiga serangkai ini tidak pernah terpisahkan sejak kecil.

Matahari belum bersinar, ayam jago pun belum berkokok. Namun, Beatrice Eleanor King, Dion Sujanarko, dan Fernando Juan Santoso berlari ke luar rumah. Mereka pergi ke sungai untuk memancing. Pemandangan alam yang begitu indah menjadi hiburan mereka. Gunung Merapi tampak kokoh seperti benteng kastel yang menjaga kampung.

Waktu berlalu begitu cepat. Bea dan Nando tak berhenti bersendau gurau di sepanjang aktivitas mereka. Namun, keheningan tiba-tiba melanda saat tidak kunjung menangkap ikan.

"Kenapa ikan tidak mau memakan umpanku?" Gerutu Nando kesal, "Padahal perutku sudah lapar sekali! Aku bisa pingsan!"

Bea merasa, bocah berperawakan gemuk dan lebih tinggi darinya yang kini tengah duduk di sebelahnya tersebut tidak ada pikiran lain selain makanan di otaknya. Nando bisa berubah jadi singa galak yang marah-marah tak jelas hanya karena telat makan siang gara-gara disuruh membantu mengumpulkan tugas di kelas oleh Pak Jaya.

Ketiga sekawan tersebut masih setia berjongkok di tepi sungai sambil bercanda, sembari menunggu ikan memakan umpannya.

"Bersabarlah. Sebentar lagi, kita pasti berhasil menangkap ikan yang banyak!" Seru Bea bersemangat.

Bea adalah bocah tomboi dan ceria. Hobinya menceletuk hal tak masuk akal dan hobi melakukan aksi menantang maut.

"Perutku sudah lapar nih! Aku bisa mati kalau semenit saja tidak makan." Kembali mulut comel Nando terdengar.

"Bu Sri bisa bangkrut kalau hobimu makan, Nando!" Cibir Bea.

"Kamu juga harus mengurangi hobimu marah-marah. Umurmu baru saja 12 tahun, tetapi wajahmu sudah penuh keriput!" Balas Nando meledek.

"Apa katamu?!" Teriak Bea, tidak terima, sembari mencipratkan air sungai ke arah Nando, tetapi tak kena.

Alhasil, bocah gemuk itu lari terbirit-birit menghindari amukan Bea. Dia tertawa puas melihat raut merah sahabatnya itu.

Dion menghela napas berat menyaksikan tingkah laku mereka. Ternyata kehidupan yang keras tidak membuat mereka bertumbuh dewasa. Mereka masih kekanak-kanakan dan menganggap setiap menit adalah waktunya bermain.

"Ayo, Dion!" seru Bea dan Nando girang dari kejauhan. Dion hanya sekilas menatap mereka, lalu kembali fokus pada alat pancing yang berada di genggamannya.

Dion tidak bisa seperti mereka meskipun kadang ingin menikmati masa-masa kecilnya. Namun, sebagai anak tertua di panti, dia memaksa dirinya untuk bertanggung jawab menanggung beban yang sama dengan Bu Sri. Dia harus memastikan bahwa setiap hari pulang membawa uang yang cukup untuk adik-adiknya makan.

Bea dan Nando saling berpandangan bingung, menyadari Dion sedang terlihat stres dan tertekan. Dion memang tidak pernah berubah. Wajah tampannya selalu terlihat serius setiap hari.

"Sebaiknya kita kembali memancing sebelum dia ngomel," bisik Nando sembari mengamati Dion waswas.

Bea mengangguk mengiyakan usulan Nando.

Demi menghormati temannya, Bea dan Nando kembali memancing supaya tidak menambah beban Dion.

Bea melirik Dion yang duduk tertegun di sampingnya. Sahabatnya itu tampak termenung dan menatap kosong ke arah pancing. Di mata Bea, Dion adalah anak yang sangat bertanggung jawab, tetapi irit bicara. Apa pun yang terjadi di antara mereka bertiga, dia selalu turun tangan untuk menolong. Kedewasaannya melebihi kapasitas pemikiran bocah seusianya. Kadang Bea heran karena Dion selalu membatasi dirinya untuk bermain atau bersikap seperti anak-anak pada umumnya.

"Kenapa kamu memandangiku?" Tanya Dion singkat dan dingin. Meski dia fokus menatap pancingnya yang sama sekali belum disambar ikan, dia bisa merasakan Bea sedang menatapnya tanpa berkedip.

Beatrice tersentak kaget dan sontak membuang muka dari Dion, "A..a...aku tidak memandangimu, kok!" elaknya gugup.

Dion tidak membalas. Sikapnya acuh tak acuh. Matanya serius menatap pancing di depannya.

"Hei! Lihatlah! Bule Kesasar sedang memancing ikan!" Segerombolan anak sepantaran mereka menertawai Bea.

Bea menunduk sedih. Dia kadang jengkel mendengar ejekan anak-anak di desanya. Fisiknya selalu menjadi permasalahan. Mereka selalu menganggapnya aneh dari masyarakat kampung yang notabene berkulit sawo matang khas Jogjakarta. Bea memang dilahirkan dengan kulit putih bersih, cenderung pucat, mata biru keunguan, rambut hitam, dan hidung mancung khas bule sehingga dia dijuluki "bule kesasar".

"Bule tidak pernah memancing, tetapi hidup enak di luar negeri. Kenapa kamu masih ada di sini? Kembalilah ke kampung asalmu!" Ujar mereka sembari mencibir.

Bea terpancing emosi, sementara Nando sudah siap sedia bersembunyi di belakang Dion. Nando pernah dimarahin Bea dan itu sangat mengerikan. Nando merasa kasihan pada nasib anak-anak yang sedang menggoda Bea, tetapi dia pura-pura tidak tahu, daripada nanti dia ikut terkena imbasnya.

"Apa masalahmu?!" Gadis itu menggulung lengan bajunya, "Jika kalian mau ribut denganku, ayo, maju sini!"

Bea menatap nyalang segerombolan bocah yang berdiri di seberang sungai.

"Diamkan saja mereka. Tidak semua perkataan orang asing harus dimasukkan ke hati." Dion berkata dingin, tidak bergerak sedikit pun dari posisinya dan tampak tak terusik dengan keributan yang sedang terjadi.

Bea mendengus kesal, tak bisa menghajar anak-anak itu, tetapi dia menghormati kata-kata Dion. Dia mengalah, lalu kembali duduk dan berusaha bersikap tenang meskipun tak bisa memungkiri bahwa dia merutuk dirinya yang terlahir aneh.

Dion melirik Bea yang tertunduk sedih. Meskipun berlagak preman, Bea tetap perempuan. Dion melihat mata Bea berkaca-kaca dan entah kenapa, hatinya ikut teriris. Dia sangat memahami kesedihan gadis itu karena mereka sudah lama bersama sejak kecil. Mereka bisa saling memahami tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.

"Kita tidak bisa memilih akan terlahir seperti apa. Hanya karena kau berbeda, bukan berarti kamu lebih rendah dari mereka. Mereka hanya iri!" Sambung Dion, menatap lurus ke depan.

Bea sontak menatap Dion tanpa berkata apa-apa. Untuk anak seumurannya, Dion memang sangat bijaksana. Senyum Bea kembali terbit. Kata-kata Dion selalu berhasil menyejukkan hati. Bea duduk lagi di samping Dion sambil memancing.

"Dan, untukmu Nando … jangan gocik. Kamu akan sangat mudah mengalahkan mereka dengan badan besarmu."

Nando tertegun. Meski dia berbadan paling besar di antara mereka, nyalinya hanya secuil. Kalimat Dion kali ini seperti tamparan hebat baginya. Dia merasa malu harus bersembunyi dan membiarkan Bea melawan sendirian. Perlahan ketakutan itu sirna digantikan perasaan bersalah.

"Iya, iya." Salah satu sikap Dion yang paling dikagumi Nando adalah kewibawaan dan kepemimpinannya. Pantas saja Bu Sri menganggap Dion paling bertanggung jawab hingga menjadikannya seperti tangan kanan Bu Sri di panti.

Suasana kembali damai. Bea kembali tersenyum ceria sembari bersendau gurau dengan Nando.

Dion diam-diam tersenyum kecil memandang ke arah Bea tanpa sepengetahuan Bea dan Nando. Gadis itu memang unik, tetapi bukan seperti anggapan masyarakat. Bagi Dion, Bea sangat cantik. Kulit bersihnya, wajah bulenya, dan tingkah lakunya yang tomboi. Namun, hal yang paling disukai Dion dari Bea adalah mata Bea. Saat bersama-sama, tatapan Bea selalu membuat Dion tersipu malu dan membuang muka.

Akhirnya matahari pagi bersinar terang. Kabut membuat suasana kampung begitu sejuk dan damai.

Setelah berhasil menangkap beberapa ekor ikan, mereka pulang. Dion memimpin perjalanan, sementara Bea dan Nando asyik bernyanyi riang sembari mengekori Dion ke mana pun dia melangkah.

Sesampainya di rumah, ketiga sahabat karib tersebut menyerahkan hasil tangkapan ikan mereka kepada Bu Sri untuk diolah sebelum dijual. Kemudian ketiganya bergegas mandi dan sarapan untuk bersiap-siap ke sekolah.

Sebelum pergi, Bu Sri selalu menyerahkan tiga kotak yang berisi klepon dan pepes ikan pada anak-anak angkatnya. Sudah menjadi tugas mereka mampir ke pasar untuk menitipkan jualan sebelum masuk sekolah.

Mereka mencium tangan Bu Sri dan bergantian pamit untuk berangkat. Bu Sri selalu menepuk pundak dan mencium kening mereka satu persatu sembari berbisik.

"Tuhan menyertaimu."

Semua itu demi membantu perekonomian Bu Sri, ibu asuh mereka. Bu Sri, begitulah anak-anak panti memanggilnya. Sejak bayi, mereka dirawat oleh wanita berhati malaikat tersebut. Dia adalah pendiri panti asuhan "Kasih Ibu". Banyak kisah yang mengiringi pendirian panti asuhan itu.

Beatrice pernah bertanya pada Bu Sri alasan membuka panti asuhan. Jawabannya cukup mengejutkan. Alasannya adalah Dion. Bea sempat terkejut. Bagaimana mungkin Dion adalah alasan mulia Bu Sri?

Setelah Bea cukup umur, akhirnya wanita paruh baya itu menceritakan asal muasal panti asuhan itu dibangun. Itu adalah kisah paling indah dan berkesan bagi Bea. Seandainya Bu Sri tidak pernah menemukan Dion sedang bersembunyi di balik jerami pakan sapi, mungkin nasib Bea tidak seberuntung sekarang.

Di sisi lain, Bea tidak bisa membayangkan bagaimana Dion sanggup menjalani kehidupan tanpa sosok orang tua hingga dia berumur dua tahun. Ternyata nasib Bea jauh lebih baik dibandingkan Dion.

Dion sudah hidup luntang-lantung sejak kecil. Mungkin itulah alasannya, mengapa anak pendiam tersebut sangat bertanggung jawab walau usianya baru menginjak 14 tahun. Dia sudah hidup menderita sejak kecil. Jadi dia tidak ingin anak-anak panti, termasuk Bea, merasakan hal yang sama.

Ada satu lagi kisah yang lebih mengiris hati Bea. Lagi-lagi, perkataan Bu Sri kembali terlintas.

Berita tentang panti asuhan itu telah tersebar sangat cepat sehingga menuntun seorang gadis belia mengetuk pintu panti sembari menggendong seonggok buntalan selimut. Gadis itu terlihat lusuh, ketakuta,n dan frustasi.

Sontak saja Bu Sri mempersilakan dia masuk, lalu menyuguhkan secangkir teh hangat.

"Aku ingin menitipkan bayi ini. Tolong, jagalah dia. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan anak ini."

Bu Sri melihat bayi yang dibungkus dengan selimut di tangan gadis itu. Bu Sri tidak bertanya apa pun tentang bayi di tangannya. Dia bisa melihat, anak gadis ini baru saja mengalami kejadian yang melelahkan. Bu Sri bisa menebaknya dari melihat tubuh anak gadis belia itu. Perutnya masih membengkak serta buah dadanya kencang dan membulat.

"Dia pasti berumur sekitar 15 tahun," tebak Bu Sri. Tubuhnya kecil kurus dan wajahnya tampak ketakutan.

"Tolong jaga anakku!" Ujar gadis muda ini gemetaran sambil menangis tersedu saat menceritakan bahwa dia adalah korban pemerkosaan ayah tirinya. Namun, ketika ayah tirinya tahu bahwa dia sedang mengandung, pria itu tega menyuruhnya menggugurkan janin itu. Akan tetapi, gadis itu tidak tega dan memutuskan untuk mempertahankan bayi itu diam-diam.

Setelah bayi itu lahir, gadis itu bingung harus melakukan apa. Tak ada satu keluarga pun yang menemaninya di rumah sakit. Gadis itu berkata bahwa dia masih ingin bersekolah dan bekerja seperti gadis normal lainnya. Ketika masih berada rumah sakit, dia tak sengaja menguping pembicaraan para suster tentang Bu Sri.

Di kota itu, Bu Sri terkenal sangat baik dan penyayang. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk menyerahkan bayi yang baru saja dilahirkannya pada Bu Sri dengan harapan bahwa bayinya akan terurus dengan baik.

"Aku belum memberikannya nama. Aku baru saja melahirkan tadi malam," jelas gadis itu dengan gemetar sambil menyerahkan bayi yang masih terbungkus selimut berwarna coklat di tangannya.

Bu Sri membuka selimut tebal itu dengan lembut. Terlihat seorang bayi gembul, berkulit putih bersih dengan mata bulat sempurna. Bayi itu tersenyum riang saat melihat Bu Sri sehingga menendang-nendang dengan lincah. Tak lupa, tangan mungilnya menggenggam lembut jari telunjuk Bu Sri. Bayi itu terlihat sangat kuat keingannya untuk hidup.

"Aku akan memberikanmu nama Nando, seperti saudara sepupuku yang selalu ceria," ujar Bu Sri sambil memandang bayi mungil itu, "Dia akan baik-baik saja. Aku berjanji."

Kata-kata Bu Sri selalu mendalam, singkat, tetapi penuh makna sehingga menenangkan lawan bicaranya.

Kisah itu selalu membuat Bea terisak.

Meski Bu Sri bukan orang yang berkecukupan, dia tetap berbaik hati menampung anak-anak terbuang hingga rela pontang-panting mengurusi kebutuhan anak-anak dan bekerja tiap hari dengan berjualan klepon di pasar demi menghidupi mereka.

Walaupun para anak penghuni panti tidak pernah menyentuh hidup penuh kelimpahan, mainan bagus dan mahal, kasur empuk dari bulu angsa atau jalan-jalan keluar kota untuk berlibur, tetapi masa kecil mereka sangat indah. Semua itu berkat kesabaran, ketelatenan, dan kebijakan Bu Sri. Kekurangan bukan alasan untuk mengeluh atau menyalahkan takdir.

"Urip kudu Urup," Ucap Bu Sri kepada anak-anak asuhnya.

Wanita berhati lembut itu tidak pernah bosan mengajari Bea dan anak-anak lainnya untuk menjadi terang bagi orang lain. Rambutnya yang sudah memutih, tangannya yang mulai keriput, dan tubuhnya yang semakin kurus tidak pernah menjadi halangan Bu Sri untuk mencintai anak-anak itu dengan tulus. Bahkan, dia bertekad tidak menikah karena lebih memilih mengabdi bagi panti asuhan. Menurutnya, anak-anak panti inilah cinta pertama dan terakhirnya.

Beatrice sangat bersyukur dia bisa dibesarkan oleh wanita sebaik Bu Sri.

"Bea! Awas!"

Beatrice tersandung batu dan terjatuh.

"Aduh!" Terdengar suara Bea meringis kesakitan sembari mengusap bokongnya yang menghantam tanah cukup keras.

Nando tertawa terpingkal-pingkal sampai menangis sambil berucap, "Mangkanya kalau jalan tuh jangan ngelamun!"

"Menyebalkan!" Balas Beatrice kesal.

Dengan sigap Dion mengulurkan tangan pada gadis yang sedang mencak-mencak kesal.

Beatrice terpaku pada tangan itu, lalu menatap Dion cukup lama. Pria itu hanya memasang wajah tanpa ekspresi.

"Ayo berdiri."

"I..iya!" Bea meraih tangan Dion dan beranjak berdiri.

Setelah menitip klepon dan ikan di warung Bu Rahayu, ketiga sahabat karib itu segera bergegas ke sekolah dan memasuki ruang kelas masing-masing.

Dion sudah menginjak kelas 2 SMP di sekolah Parangtritis, sedangkan Nando dan Bea masih kelas 6 SD di sekolah yang sama. Mereka berdua enggan dipisahkan.

Kisah pilu tiga serangkai itu tidak berhenti sampai di situ. Di sekolah pun Bea banyak sekali menuai hujatan karena fisiknya yang bule, Nando akibat kegendutan, sedangkan Dion karena irit bicara. Mereka dijauhi teman-teman sekolahnya. Bahkan, dianggap menjijikkan karena tidak jelas asal usulnya. Panggilan anak haram, anak titipan jin, atau anak buangan sudah biasa mereka dengar.

Meskipun dicap dengan buruk, mereka tak pernah membalas. Dion yang selalu memastikan itu terjadi. Hal itu jugalah yang membuat persahabatan mereka bertiga semakin erat.

Seusai pulang sekolah, mereka bertiga bertugas untuk mengambil uang dan sisa dagangan yang tidak laku di warung Bu Rahayu.

"Hari ini agak sepi, Nduk. Jangan sedih, semoga besok lebih baik." Bu Rahayu berusaha menghibur Dion, Nando, dan Bea.

"Terima kasih banyak, Bu." Dion tersenyum kecil, lalu membawa sisa klepon dan ikan yang tidak terjual.

Bea dan Nando menyadari kesedihan Dion karena kleponnya masih tersisa satu kotak penuh, sementara ikan juga masih ada empat ekor.

"Bagaimana ini, Dion?" Nando tampak cemas. Bukan hanya Dion saja yang memikirkan nasib anak-anak panti.

Dion tidak menjawab dan berjalan ke arah warung beras langganan mereka di ujung pasar. Dion selalu membeli beras di situ karena penjualnya seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Beras dagangan nenek selalu sepi karena lapaknya terletak di ujung pasar. Namun, nenek selalu baik pada Dion, Nando, dan Bea. Kadang dia melebihkan timbangan beras tanpa harus membayar.

"Nek, beras satu kilogram, ya."

Dion memghitung uang dengan sedih, sebab adik-adik panti butuh beras paling tidak dua kilogram setiap hari karena mereka berjumlah 19 orang. Apalagi Bu Sri perlu kuali baru karena yang lama sudah berlubang. Namun, uang jualan hari ini tidak akan cukup untuk membeli semuanya.

Dion berusaha tegar sambil menghela napas panjang. Dia enggan memperlihatkan kerisauannya pada Nando dan Bea. Dion merasa itu sudah tugasnya untuk menjaga semua adik panti.

Bea menepuk pundak Dion sehingga dia berbalik menghadapnya, "Dion, aku tadi menemukan ubi madu di hutan, buanyak sekali! Bagaimana kalau kita makan ubi madu saja hari ini! Lagi pula, makan nasi juga membosankan! Nah, berasnya buat besok pagi saja, dibuat bubur."

"Ide bagus! Jadi uangnya bisa beli panci. Bagaimana? Setuju, kan?" Nando mengedipkan sebelah matanya, memberikan kode pada Bea.

"Mana cukuplah! Memangnya kamu mau dipukul pakai panci karena uangnya kurang?" Bea mencubit hidung Nando gemas, membuat bocah bertubuh gempal itu meringis pelan.

Dion tersenyum kecil melihat ulah kedua adik angkatnya itu. Kekonyolan Bea dan Nando selalu mampu jadi obat pelipur lara untuk hati yang kadang diterpa gundah gulana.

Bea adalah anak yang ceria dan banyak akal. Dion bersyukur karena gadis itu selalu ada dengan solusi gila dan senyum ceria yang mampu menenangkan pikirannya. Dion memandang kagum Bea yang sedang bersenda gurau dan saling menggoda dengan Nando. Kecantikan gadis itu bertambah beberapa kali lipat karena rambutnya yang hitam, panjang, dan diikat ala kuncir kuda.

Meskipun perempuan, Bea tidak suka dianggap lemah. Dia selalu memamerkan kekuatannya supaya tidak membebani Dion dan Nando, seperti membawa barang berat, mencari ikan nila di sungai, atau berjualan ke pasar.

Bea tidak pernah mau kalah dengan Dion dan Nando, apalagi sikap tomboinya sudah akut. Gadis itu tidak suka memakai rok maupun bersolek. Hobinya bermain di hutan bersama mereka. Meski dia dijuluki setengah lelaki, itu tidak mengurangi kecantikannya sedikit pun.

Gadis itu terlalu sempurna di mata Dion. Selain tangguh dan cantik, dia juga cerdas. Di sekolah, dia mampu merebut juara pertama dan menjelma sebagai guru bagi adik-adik di rumah. Bahkan, dia siap sedia menjadi tempat mengeluh tentang PR maupun ulangan para anak panti.

Namun, Bea terkenal galak di kalangan anak asuh Bu Sri. Bahkan, dia dijuluki "Nenek Tua" sehingga selalu jadi sasaran ejekan saat mengomel.

"Hei! Dion! Bagaimana? Kamu setuju atau tidak? Jangan melamun!"

Dion tersentak kaget, lantas membuang muka dari Bea untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.

"Aku perhatikan kalau kamu selalu saja memandangi Bea tanpa berkedip. Apa kamu menyukainya?" Bisik Nando menggoda.

Dion melengos dan berjalan meninggalkan mereka.

"Hei! Tunggu! Jangan tinggalkan aku!" Nando bergegas mengejar Dion yang melenggang tanpa pamit.

"Hei! Tunggu …. Argh!" Bea terjatuh saat ada sesuatu menarik kakinya. Namun, ketika dia menoleh ke belakang, tidak ada siapa pun.

Jangan-jangan ….

Bea bergegas bangkit dan mengejar kedua sahabat yang sudah cukup jauh. "Hei! Tunggu!"

Sayang, keduanya tidak mendengar.

***

Dion memimpin perjalanan, sementara Nando tidak henti berceloteh tentang makanan. Dia berusaha sabar mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu yang berakting pura-pura lemas dan nyaris pingsan.

Dion segera berhenti ketika perasaan aneh mencekam dadanya. Akibatnya, Nando menabrak punggung Dion.

"Jangan berhenti mendadak, dong! Hidungku sakit, tahu!" Nando mengusap-usap hidungnya.

Dion sontak berpaling ke belakang dan tidak menemukan Bea.

"Di mana Bea?" Tanya Dion dengan panik.

"Bea?" Nando ikut melihat ke belakang. "Ya ampun! Di mana dia?!" Dia terbelalak sempurna.

"Cih!" Dion bergegas kembali ke tempat Bea terakhir kali terlihat. Akibat panik, dia tak sengaja menjatuhkan beras itu hingga buyar ke mana-mana.

"Bea! Kamu di mana?! Jawab aku!" Dion kembali menyelusuri jalan yang tadi dilalui. Jantungnya berpacu cepat hingga nyaris terhenti.

Tolong, jagalah dia! batin Dion kalang kabut.

"Whoa! Tolong …. Aduh!" Bea menabrak Dion cukup keras sehingga tergelincir dan nyaris terjatuh ke sebuah lubang.

Dengan sigap, Dion menangkap tangan Bea, lalu segera menarik ke pelukannya dan mendekapnya erat-erat.

Bea mematung syok. Dion memeluknya? Apakah ini mimpi?

"Syukurlah." Dion menumpahkan ketakutan dan rasa syukurnya dalam pelukan.

Nando yang menyaksikan momen tak biasa itu, berdeham, "Cie! Cie!"

Dion segera tersadar dan sontak melepaskan pelukannya hingga Bea terjatuh, "Aduh! Bokongku!"

"Aku sudah bilang jangan nakal!" Tegur Dion habis kesabaran.

"Ma…maafkan aku, Dion." Bea merunduk sedih.

"Terserah kalian saja. Jika terjadi apa-apa, jangan libatkan aku!" Itu kata pamungkas Dion untuk menyingkirkan kenakalan mereka.

Peristiwa ini sudah tidak asing lagi jika Bea suka mendadak hilang. Oleh karena itu, Bu Sri meminta Dion supaya jangan meninggalkan Bea seorang diri, apalagi di hutan. Dion sempat heran, tetapi kini dia tahu penyebabnya. Akibatnya, dia takut setengah mati saat Bea tidak ada di dekatnya.

Dion pergi dengan kekesalannya yang berkobar-kobar. Dia bukan kesal pada Bea, tetapi pada dirinya sendiri. Dia sudah melakukan dosa besar, membiarkan Bea terluka.

Nando dan Bea segera menyusul Dion untuk meredakan amarahnya.

"Lalu, bagaimana dengan ubinya?" tanya Nando takut-takut.

"Bagaimana, Dion?" Bea menimpali sambil gemetar.

"Tidak usah! Kita pulang saja!" Tegas Dion tanpa berpikir.

"Tapi beras yang kita beli terbuang." Sanggah Bea lagi.

Dion berhenti melangkah saat menyadari bahwa sejak tadi dia tidak memegang plastik beras itu. Dia celingukan mencarinya di tanah.

"Kamu menjatuhkannya saat kamu panik mencari Bea." Jelas Nando tanpa diminta.

"Cih!" Dion kesal, tetapi tidak bisa menolaknya, "Ya sudah. Di mana tempat ubi itu, Bea?"

Bea seketika kembali bersemangat dan menunjuk ke sebelah mata air di tengah hutan, "Itu! Di sana! Ayo, ikut aku!"

Dion sontak mencekal tangan Bea ketika gadis itu hendak menyelonong masuk hutan tanpa aba-aba, "Jangan masuk sendiri. Tetaplah di belakangku."

Bea mengangguk patuh. Dia mempersilakan Dion berjalan terlebih dahulu, sementara Nando dan Bea mengekorinya. Dion memimpin perjalanan dengan mengikuti petunjuk Bea karena gadis itulah yang tahu tempat ubi itu.

Sesampainya di sana, Dion, Nando, dan Bea berlomba-lomba mencabut ubi terbanyak. Siang itu penuh dengan senda gurau dan tawa. Dion diam-diam memperhatikan Bea dan sesekali terkekeh, padahal gadis itu baru saja mengalami peristiwa aneh, tetapi dia sudah kembali ceria. Tak salah jika Dion memberikan Bea gelar "Gadis Pemberani".

Bea mengumpulkan ubi di ujung sungai lalu mencucinya, sementara Dion memisahkan tangkai, daun, dan ubi, lalu mengikat dan memasukkan semuanya ke dalam kantong kresek hitam yang tadi dibawa dari rumah.

Hutan di kaki Gunung Merapi memang bukanlah tempat yang tepat untuk anak-anak bermain. Penduduk desa menyebut hutan ini hutan angker karena banyak orang yang tidak kembali setelah masuk ke dalam hutan ini. Dion, Nando, dan Bea sering bermain ke hutan tersebut karena panti "Kasih Ibu" berada tepat di ujung sebelah Selatan hutan. Sedari kecil mereka gemar menghabiskan waktu bermain di hutan itu, meskipun sudah berulang kali dilarang oleh Bu Sri. Namun, tetap saja dilanggar karena mereka selalu bisa menemukan permainan seru di sana.

Lagi pula hutan ini juga kaya dengan berbagai macam bahan makanan, mulai dari empon-empon, segala jenis sayuran, ikan, dan unggas. Hutan adalah satu-satunya penolong mereka jika uang dari penjualan klepon memburuk.

"Makan ubi madu kukus yang siram kuah santan dan bobor daun ubi pasti enak!" seru Nando girang.

Bocah berambut ikal hitam dengan potongan belah tengah seperti artis zaman tahun 80-an. Meskipun gemuk, Nando sangat rajin. Badan besar dan kuat memudahkan dia melakukan segala pekerjaan yang disuruh oleh Bu Sri.

Dion tersenyum kecil sembari geleng-geleng. Dari kecil sampai sekarang, Nando tidak berubah sebab Dionlah yang mengurus Nando. Oleh karena itu, Nando sangat menghormatinya dan selalu sigap membantunya kapan pun.

Tak terasa waktu bergulir dengan cepat. Matahari mulai terbenam hingga membuat langit kuning keemasan.

"Ok, Nando. Sudah cukup." Ujar Dion.

Nando segera berhenti dan menyerahkan ubi itu pada Bea supaya dicuci.

"Lumayan. Ubi madunya kita dapet banyak. Kita bisa dijual di pasar besok, bagaimana?" usul Bea antusias.

Dion manggut-manggut setuju.

"Uangnya bisa buat tambah-tambah beli daging sapi. Aku sudah lama pengin makan soto daging." Mata Nando berbinar-binar bahagia.

"Aku setuju! Akhirnya hari ini kita bisa makan enak. Ubi madu, bobor singkong, nila pesmol. Ya ampun! Membayangkan saja sudah membuat perutku keroncongan," celetuk Bea polos.

Nando tertawa terbahak-bahak, sedangkan Dion hanya tersenyum simpul.

"Kamu tenang saja. Bagian masak-masak, serahkan padaku!" Nando membusungkan dada sambil menyeringai sombong. Selain hobi makan, dia juga lihai memasak. Makanan adalah cinta pertama dan terakhir bagi Nando. Dia rela tak pacaran daripada berpisah dengan dunia makanan. Bahkan, dia tidak peduli jika ada gadis di sekolah yang mengajaknya kencan, jika gadis itu tidak membujuknya dengan embel-embel makanan.

"Hei, lihat! Apa itu?"

Bea menujuk ke arah hutan. Ada api kecil berwarna biru melompat dari satu daun ke daun lain, tetapi daun itu tidak terbakar sama sekali.

"Tunggulah di sini! Aku akan memeriksanya!" Sebagai anak tertua, Dion memutuskan untuk mendekati api kecil itu.

Ketika Dion mendekatkan tangannya, api biru itu melompat dengan cepat ke daun lain menjauhi tangan Dion. Api kecil itu meloncat-loncat dengan lincah saat berpindah. Api misterius itu semakin menjauhi mereka dan sesekali berhenti.

Dion, Bea, dan Nando heran dan ketiganya saling celingukan. Api biru itu seperti sedang mengajak mereka agar mengikutinya.

Mereka bertiga saling menatap dan memutuskan untuk mengikuti api itu pergi. Mereka penasaran dengan kejadian yang baru saja dilihatnya. Ketiganya mendap-mendap mengekori api kecil biru itu. Akhirnya, mereka sampai di mulut Goa Sono. Dion sering mendengar cerita gua itu dari penduduk sekitar. Kata orang desa, goa ini adalah pintu masuk kerajaan jin. Jika sudah memasukinya maka tidak akan pernah keluar lagi.

Goa itu berada di tengah hutan.

"Goa apa itu?" Sudah bertahun-tahun bermain di sana, tetapi mereka tidak pernah melihat goa itu sebelumnya. Di sisi kiri dan kanan goa itu terdapat banyak pohon beringin tinggi, lebat, dan sangat tua. Ranting-rantingnya menjulur ke mana-mana hingga menutupi mulut goa tersebut.

Aura mencekam begitu terasa kuat. Angin yang berhembus cukup kencang seolah membawa hawa asing.

Nando bergidik ngeri sembari menggosok-gosok lengannya. Entah kenapa, bulu kuduknya berdiri. Dia mengamati sekitarnya dengan perasaan was-was tak menentu.

Bocah gemuk itu menelan ludah dengan susah payah. Di balik pepohonan lebat seolah-olah ada seseorang yang sedang mengawasi mereka.

Ada sesuatu yang tidak beres di sini, batin Nando ketakutan, tetapi dia tidak tahu apa itu.

Suasananya sangat berbeda dibandingkan tadi. Sejak tadi, jantung Nando terus berdebar-debar tak karuan hingga sulit bernapas. Dia seperti berada di jurang maut.

Goa itu seperti menuju ke dunia lain. Keberadaan pohon beringin tua itu ikut menambah kesan mistis.

"Di ... Dion, kita pulang saja, yuk. Aku merasa ngeri di sini." Nando merapatkan dirinya di belakang Dion.

"Tolong! Tolong aku!" Sayup-sayup terdengar suara rintihan wanita dari dalam goa itu.

Suara itu tidak asing untuk Bea.

"A…apa kalian mendengarnya?" Tanya Dion sok berani.

Mereka bertiga saling berpandangan dengan gemetar. Ketiganya hanya mematung kaku di mulut Goa Sono. Kaki mereka seakan terpaku di tanah.

"Y…ya. Seperti suara hantu wanita. Sebaiknya kita pulang saja," ujar Nando.

Dion dan Bea mulai setuju dengan Nando. Mereka perlahan mundur menjauhi Goa, tetapi suara itu semakin keras.

"Para pujangga saking alam sanes

Hangayunaken pusaka wontening carita

Ngagem brenggalaning langit lan

ngyuwananani angkara murka saking hambek siya"

Tiba-tiba api biru yang menuntun mereka tadi, mengepung dan mengelilingi mereka. Anehnya, jumlahnya kian banyak dan terus bertambah pesat seperti parasit.

Kenapa mereka tambah banyak? Pikir Bea, Dion, dan Nando. Mereka mulai panik dan takut, berdiri saling membelakangi satu sama lainnya. Bahkan, bocah gemuk itu sudah menangis histeris sembari memanggil-manggil Ibu Sri.

"Kita harus tetap tenang. Dalam hitungan ketiga, kita harus lari. Oke?" Dion mengomando ketiganya tanpa matanya berpaling dari api biru yang menjengkelkan itu.

Bea dan Nando mengangguk cepat.

"Satu!"

"Dua!"

"Ti—"

Namun, api itu semakin mengikat mereka dengan erat sehingga mereka semua tidak bisa bergerak.

"Lepaskan aku!" Bentak Dion marah sambil terus berontak sekuat tenaga.

Api itu menyelimuti mereka satu per satu, lalu menyeret mereka menjauh.

"Dion! Nando!" Bea menjerit histeris, api biru itu membawanyaa memasuki Goa Sono dengan cepat.

***