Belalang sembah jantan yang menatapnya di balik kain tipis yang menutupi jendela, baru saja mati dimakan si betina. Anak itu lahir di musim panas yang kosong. Suara tangisnya membuat semua orang tersenyum. Anak lelaki itu yang pertama. Ketika anak perempuan itu akhirnya datang, semua orang dewasa khawatir. Namun saat ia menangis, semua orang bernapas lega. Hari yang bahagia untuk pasangan Trann muda, walau tidak untuk Putra sulung keluarga Trann.
".. Haha, lihat mata mereka yang merah itu. Persis sepertiku!!" Kata seseorang yang baru saja menjadi ayah dan menggendong bayi perempuan ditangannya.
"Rambut perak mereka yang lebat bahkan lebih baik dari mu" Sahut sang kakek yang menyunggingkan senyumnya sambil menatap cucu laki-lakinya.
Kepala keluarga Trann tak bisa berhenti tersenyum menatap putra bungsu dan menantu kesayangannya "Kupikir kita masih membutuhkan dua sampai tiga tahun lagi untuk menunggu yang terakhir, tapi kita beruntung. Mereka sepasang bayi kembar" Katanya. Mereka tersenyum bahagia, bukan karena bayinya terlahir selamat. Tapi karena pemainnya sudah cukup.
***
Ditahun ke-18 kami menghirup udara, matahari tak akan muncul hari ini. Setidaknya untukku dan Jorah. Aku rasa semua Lunesta yang tersisa tidak banyak memberi efek pada ku, mungkin karna Jorah meminum lebih banyak. Jorah terlihat sulit membuka matanya, dan ku rasa mataku mulai berat. Tali yang kuikat ditangan Jorah sepertinya sudah cukup kuat. Sekarang giliran Jorah yang yang mengikatnya padaku.
Hutan yang ku tatap di tepi sungai di bawah jurang, udara berat yang ku hirup, rumput dan tanah yang menyentuh kaki ku yang tak beralas. Haha, baju tidur ini benar-benar tipis. Hembusan angin malam di bulan November terakhir, terasa jauh lebih hidup dari hari biasanya. Tak ada bulan, hanya samar – samar cahayanya dilangit berawan.
"Haleth, ku rasa tali mu sudah cukup kuat. Sepertinya mataku sudah sangat berat. Mungkin kita bisa melompat sekarang" Mata Jorah terlihat sulit untuk terbuka, dia terus menutup matanya saat bicara padaku.
Kami berjalan mendekat ke tepian jurang yang curam. Ini mungkin cukup. Tapi, aku ragu. Saat menatap ke bawah, ketakutanku hanya memanggil kesadaranku. Air itu terlihat dingin dan dalam. Mungkin, ada cara lain? Mungkin, kami bisa kabur? Mungkin kami bisa hidup?
Semua 'mungkin' tiba-tiba bermunculan. Aku menatap Jorah dan sungai dibawah sana bergantian. Sebelum ku katakan keraguanku, ku lihat Jorah menitihkan air mata dan tersenyum pada ku. Dia melompat. Aku sepenuhnya sadar.
Aku ingin hidup sedikit lagi, selama ini aku mungkin hanya berharap seseorang datang menyelamatkan kami. Tapi semua terlambat. Tali yang mengikat tanganku dan Jorah sangat kuat, menarikku bersama tubuh Jorah yang lebih dulu terjatuh. Obat tidur yang kami minum benar-benar bekerja dengan baik. Tubuhku sepenuhnya tidak bisa mendengarkan permintaanku.
Air sungai dini hari di akhir bulan November sangat dingin. Tubuhku kaku dan mulai keram. Sungai yang cukup dalam. Aku bahkan belum mencapai dasarnya. Gelembung udara mulai mencari kawanannya menuju permukaan air. Aku berusaha berenang ke permukaan. Tapi tubuhku sangat berat dan kaki ku keram. Aku butuh udara. Dadaku seperti ditekan untuk mengeluarkan semua udara yang kupunya. Udara. Aku hanya butuh itu. Air mulai mendesak masuk ke pernapasanku.
Jorah mulai menggeliat. Tangannya yang terikat mencengkram bahuku. Kukunya menancap dikulitku. Perlahan dia mendorong tubuhku dan berusaha ke atas. Tidak bisa. Aku harus menghirup udara. Aku menarik Jorah dan mendorongnya ke bawah agar aku bisa berenang ke permukaan. Tapi tali ini benar-benar menyulitkan dan tubuh Jorah yang terus bergeliat adalah beban yang berat. Jorah terdiam. Tubuhku mulai lelah, rasanya tidak mungkin untuk ke permukaan dan menghirup udara. Mataku berat. Ini hari yang melelahkan, sedikit lebih dari biasanya.
***
Udara!
"Uhukh.."
Aku tak bisa menghentikan batukku. Aku basah dan air terus keluar dari mulut dan hidungku. Badanku terasa lemas. Tak ku sangka ada hari dimana aku berbaring di tanah yang kotor dalam keadaan basah kuyup. Seorang pria dihadapanku terdiam dengan napas terengah-engah dan basah kuyup. Dia tak asing.
"Syukurlah!! Oh, Tuhan.. Nona Haleth! Setidaknya Anda selamat.." Dia menangis dan wajahnya terlihat lelah.
Saat menoleh kulihat kakak masih menutup matanya.
'Apa dia kelelahan?'
Sudut bibirnya yang dipenuhi busa berwarna putih, membuatku tertegun. Tidak, tentu aku salah paham. Kulihat lengannya yang tersingkap dipenuhi dengan bekas cakaran yang sedikit bengkak. Aku marah. Namun aku sadar, itu aku. Tanpa sadar aku juga telah melukainya.