"Jorah.. Jo.. JORAH.. Hiks, ughhh Jorah"
Suara yang lirih itu selalu menggema dalam lorong yang panjang dan gelap di malam terakhir bulan November. Mengulang-ulang nama Jorah bagai bertasbih dalam isaknya. Anak lelaki itu terdiam di depan pintu kamar ibunya, memandang seorang pria paruh baya yang mengangguk padanya sambil memegang lilin di tangan kanannya. Keriput diwajahnya makin bertambah jelas.
"Tuan muda, lebih baik Anda tidak mendekat. Saya khawatir akan separah tahun lalu" Kata kepala pelayan yang telah mengabdi pada keluarganya bahkan sejak ibunya masih kanak-kanak.
"Rubert, Ibu membutuhkanku. Tidak akan terjadi apa-apa" Tuan muda tak mengindahkan kegusaran yang ditujukan untuknya.
"Akan Saya kabarkan pada Tuan Besar untuk mencegah hal seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya harap, sebelum masuk Anda mau menung-"
"Tidak Rubert, Tidak perlu"
Secara implusif Jorah membuka pintu kamar ibunya dan segera setelah memasuki ruangan dia melihat wanita itu menangis di tempat tidurnya.
Apa yang Jorah tau adalah, ibunya bukanlah orang yang hangat. Jorah selalu merasakan tatapannya yang dingin walau pun ibunya kadang tersenyum, dia tahu bahwa terhadap batu pun wanita itu akan memberikan senyuman yang sama.
Hanya saja perasaan Jorah menjadi senang disaat seperti malam ini. Ibu yang menyebut namanya dalam tidur dan menangis membuatnya merasakan kehangatan tersembunyi. Dalam benaknya, keluarga ini terasa sangat tabu untuk melimpahkan kasih sayang terlebih secara gamblang. Namun dia tetap mendambakannya.
Saat mendekat dan menyentuh tangan dingin dan berkeringat itu, dengan cepat kedua tangan itu menggenggam lehernya erat. Sangat kuat dan mencekat napasnya.
'Ugkht..' tenggorokan yang tercekik menjadi sakit dan kemudian gatal. Cekikan yang kuat itu dengan cepat melonggar dan terlepas. Ibunya yang terbangun terlihat sangat ketakukan. Tangannya gemetar dan matanya sembab. Jorah yang masih terbatuk-batuk mendengar sayup suara ibunya.
"Aku senang kau masih hidup… Maafkan aku Jorah" Gumam ibunya yang telah meringkuk dalam selimutnya.
'Ibu selalu mengatakan itu disaat seperti ini' Terlentas dalam benaknya.
Hanya saja, pagi hari selalu kehilangan malam itu. Seolah tak terjadi apapun, semua diam.
'Tak masalah, selama ibu menganggapku ada' Pikirnya tiap kali itu terjadi. Jauh di dalam dirinya, Jorah selalu menantikan malam itu. Seperti anak yang nakal.
***
Di meja makan luas yang diisi empat orang, hanya terdengar dentingan peralatan makan tanpa diiringi obrolan. Ketika kakek berusia 70-an beranjak dari tempat duduknya, semua orang berhenti menyantap sarapannya.
"Jorah. Keruanganku, kelas hari ini akan menjadi yang terakhir sebelum upacara kedewasaaanmu nanti" Sangat tegas, berat, dan berwibawa.
Mengikuti dibelakangnya Jorah meninggalkan ruang makan melewati koridor sunyi yang panjang keruang kerja utama di dalam rumah itu.
Di sana Rubert telah selesai mempersiapkan ruangan, membuka pintu, mempersilahkan mereka berdua masuk, dengan profesional dia keluar, dan menutup pintu. Terdengar hela napas panjang kakek sambil memegang kepalanya.
"Aku sungguh menaruh harapan besar pada mu nak" Arah pandangan Tuan Besar tertuju pada jendela. Salju pertama dibulan ini.
"Orang tuamu bercerai sehingga aku tidak bisa menunjuk ayahmu, kakek dan nenekmu bahkan mendahului ku, dan yang tersisa hanya anak sulungku yang tidak berguna. Aku selalu muak melihat wajahnya di meja makan" Keluhnya sambil berjalan mendekati Jorah, cicitnya.
Memegang pundak Jorah dengan kedua tangannya lalu berkata "Keluarga dengan sejarah panjang di kerajaan ini, tradisi, darah, kekuasaan, dan segala hal yang telah dipertahankan turun-temurun. Semua untukmu di masa ini. Haaa~" gusar yang tak bisa disembunyikan, bercampur dengan sedikit arogansi yang memang pantas. Penuaan membuatnya sulit menyembunyikan emosi layaknya bangsawan yang beliau agungkan.
"Archduke, saya harap Anda bisa membantu saya"
"Tidak, tidak. Aku bicara sebagai Moyangmu. Umurku sudah terlalu panjang, bahkan penyakitku tak bisa lagi ditangguhkan. Apa yang kamu pelajari hari ini tak akan jelas, aku tidak memintamu memahaminya saat ini. Jadi maksudku hapalkan saja"
Melihat raut wajah Jorah yang kebingungan, kakek melanjutkan
"Nanti, setelah kamu mengambil sumpah sebagai kepala kelurga. Akan ku jelaskan sisanya, entah dengan mulutku langsung atau dengan wasiat ku"
"Kakek!"
"Andai saja, setidaknya ada Hascof disini. Kakek mu itu berbakat meskipun terlahir sebagai anak bungsu. Aku masih sama skali sulit untuk melihat Harist tanpa merasa muak, meskipun bersaudara mereka sangat jomplang. Yah… selama aku memilikimu, setidaknya darah ambisius anak itu mengalir dalam tubuhmu"
'Tidak biasanya kakek menjadi lebih banyak bicara, mungkin karna ini kelas terakhir sebelum acara kedewasaanku' Rasionalisasi Jorah membatin