Kabut mendingin
di sela-sela kedatangan angin
dari arah lautan
ketika langit dan rasa sakit saling berhimpitan
Kapal itu bersandar di pelabuhan Pulau Kabut. Tidak ada yang berubah sedikitpun dari pulau misterius yang menjadi pusat kekuasaan Lawa Agung. Kecuali dari sisi kekuatan prajurit. Tidak nampak lalu lalang penjaga yang mengawasi dari atas benteng maupun puncak bukit-bukit terjal yang mengelilingi Istana Kabut seperti ketika dulu Panglima Kelelawar berkuasa.
Setelah semua orang turun termasuk Panglima Amranutta, nampak paling belakang Putri Anila dan Putri Aruna mengapit Pangeran Arya Batara yang terlihat pucat turun dari kapal. Mereka menuju Istana Kabut. Panglima Amranutta sengaja membawa Pangeran Arya Batara ke Pulau Kabut agar tidak mudah ditemukan oleh orang-orang Pajang.
Ini adalah strategi dari Lawa Agung. Menyandera Pangeran Pajang itu untuk menekan Sultan Hadiwijaya agar Pajang membantu mereka menyerbu Sumedang Larang yang memang diincar oleh Lawa Agung untuk melebarkan kekuasaan di daratan Jawa setelah dulu Panglima Kelelawar gagal melakukannya terhadap Galuh Pakuan.
Mereka akan membiarkan pencarian besar-besaran dilakukan terlebih dahulu. Panglima Amranutta sangat yakin orang-orang Pajang tidak akan bisa menemukan Pangeran Arya Batara di sini. Lawa Agung akan menunggu hingga Pajang panik, lalu Panglima Amranutta akan mengutus Putri Anila dan Putri Aruna untuk melakukan tawar menawar. Sultan Hadiwijaya tidak akan bisa menolak lagi.
Semenjak penculikan terjadi malam itu dan kemudian dirinya dibawa ke pulau aneh dan misterius ini, Pangeran Arya Batara merasa sangat putus asa. Putri Anila dan Putri Aruna yang menculiknya memang tidak berlaku kasar kepadanya, namun tetap saja penyesalan menyelimuti Pangeran Arya Batara karena lengah dan gegabah.
Seharusnya dia tidak meminta Sekar Wangi melakukan permainan sihir yang justru dimanfaatkan oleh kedua wanita cantik dan lihai ini untuk memuluskan niat mereka. Arya Batara yakin dua wanita penculik tidak akan semudah ini melaksanakan niat buruk mereka malam itu. Prajurit Pajang tidak akan semudah itu dikalahkan. Selain berjumlah banyak, prajurit Pajang terkenal sangat militan dan tidak takut mati.
Sekarang dia berada di sebuah tempat antah berantah yang sulit ditemukan orang. Pangeran kutu buku ini hanya berharap ayahandanya tidak berhenti mencarinya.
Sultan Hadiwijaya mempunyai hubungan baik dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Selain itu, Sultan Pajang juga mengumumkan sayembara berhadiah sangat besar bagi siapapun yang berhasil menemukan dan menyelamatkan putranya.
Tidak hanya tokoh golongan putih yang tergerak karena bersimpati kepada Sultan Hadiwijaya, namun banyak kalangan hitam yang berduyun-duyun melakukan pencarian. Keping emas dan tanah perdikan tentu saja tawaran yang sangat menggiurkan bagi mereka.
Tokoh-tokoh seperti Perkumpulan Malaikat Darah bahkan melakukan pertemuan khusus membahas misi penyelamatan Pangeran Arya Batara. Malaikat Darah mengajak Dua Panglima Malaikat Darah dan muridnya Bidadari Darah berbicara di markas perkumpulan yang sudah pindah dari Gunung Semeru ke bantaran Bengawan Solo.
"Menurut kalian kira-kira siapa yang telah berani menculik Pangeran Pajang itu?" Malaikat Darah membuka pembicaraan sambil mengerutkan kening. Pikirannya melayang ke mana-mana. Mencoba menebak pihak-pihak yang bertentangan dengan Pajang.
"Guru, kalau menurutku ini pekerjaan Jipang Panolan. Mereka saling tidak menyukai. Mungkin ini cara Jipang untuk menekan Pajang." Gadis cantik berjuluk Bidadari Darah itu menyampaikan pendapatnya.
"Kalau kami menduga ini adalah pemerasan agar Sultan Hadiwijaya mau melakukan sesuatu demi kepentingan si penculik." Salah satu dari Dua Panglima Malaikat Darah berkata.
"Kalian berdua ada benarnya. Pramesti, kau pergilah ke Jipang. Selidiki mengenai kemungkinan Jipang yang melakukan penculikan ini. Kalian berdua pergilah ke daerah Kulon. Aku curiga ini ada hubungannya dengan Sumedang Larang."
Ketiga orang yang mendapatkan tugas masing-masing, menganggukkan kepala.
"Aku sendiri akan melakukan perjalanan jauh ke pesisir selatan. Bisa juga Lawa Agung ada di balik semua ini karena alasan kepentingan kerajaan misterius itu terhadap Pajang."
Di tempat lain. Di sebuah padepokan besar bernama Padepokan Pringgondani yang terletak di Lembah Serayu. Para pimpinan padepokan sedang menggelar rapat besar. Dipimpin oleh ketua padepokan yang bernama Ki Ageng Jatmiko bergelar Dewa Tapak Sakti. Padepokan ini termasuk yang terbesar di Tanah Jawa. Mempunyai ribuan murid yang berasal dari seluruh daratan Jawa. Padepokan ini dulunya adalah pendukung kuat Kerajaan Demak. Namun setelah keruntuhan kerajaan Islam itu, Padepokan ini memilih untuk tidak memihak kepada kerajaan manapun. Meskipun sebetulnya, baik Pajang dan Jipang sama-sama melakukan pendekatan.
Ki Ageng Jatmiko membuka rapat dengan menceritakan peristiwa menghebohkan diculiknya Pangeran Pajang, Arya Batara. Pringgondani memang tidak memihak, tapi Ki Ageng Jatmiko memiliki hubungan yang sangat baik dengan Sultan Hadiwijaya. Karena itu sebagai bentuk rasa prihatin, Ki Ageng Jatmiko akan menugaskan beberapa orang murid untuk mencari jejak keberadaan Pangeran Arya Batara dan bila dirasa memungkinkan, menyelamatkannya.
"Aku mendapatkan firasat bahwa Pangeran Arya Batara dibawa ke daerah pesisir selatan Jawa. Kebo Pandutan, aku minta kau mengajak beberapa orang untuk menyelidik ke daerah pesisir selatan. Bawalah serta Handika Serayu dan Rara Manis bersamamu untuk meluaskan pengalaman mereka."
Kebo Pandutan menganggukkan kepala. Dia tidak khawatir cucu-cucu Ki Ageng Jatmiko akan merepotkannya selama perjalanan. Handika Serayu dan Rara Manis adalah remaja beranjak dewasa yang telah mempunyai kemampuan tinggi. Tidak berselisih jauh dengannya yang merupakan murid tertua langsung dari Ki Ageng Jatmiko.
"Ingat! Jangan bertindak gegabah sedikitpun. Orang-orang yang menculik Pangeran Arya Batara bukan orang-orang biasa. Firasatku juga mengatakan bahwa mereka punya hubungan dengan Ratu Laut Selatan."
Rapat besar itu ditutup. Kebo Pandutan memilih beberapa orang yang cukup tangguh untuk menemaninya memulai pengembaraan. Handika Serayu dan Rara Manis yang telah diberitahu bahwa mereka dibawa serta, melonjak kegirangan. Saatnya melihat dunia luar yang selama ini merupakan larangan keras bagi mereka. Ki Ageng Jatmiko tidak ingin cucu-cucunya yang telah kehilangan ayah ibunya dalam pertempuran besar melawan serbuan tokoh-tokoh dunia hitam beberapa tahun silam, mengalami bahaya.
Tokoh-tokoh dunia hitam yang tidak menyukai Ki Ageng Jatmiko karena menjadikan Pringgondani sebagai ujung tombak Demak dalam menumpas gerombolan perampok, begal dan para penjahat di nyaris semua wilayah Jawa bagian tengah, bersatu dan menyerang padepokan dengan kekuatan besar. Ayah Handika Serayu dan Rara Manis yang merupakan putra Ki Ageng Jatmiko tewas dalam penyerbuan. Begitu pula ibunya yang masih kerabat langsung Raja Sumedang Larang, juga tewas dalam pertempuran hebat kala itu.
Handika Serayu adalah pemuda beranjak dua puluhan yang tangguh dan tak mengenal takut. Begitu pula Rara Manis. Seorang gadis remaja cantik yang lembut namun memiliki kepandaian nyaris sama dengan kakaknya.
Rombongan yang terdiri dari delapan orang itu berangkat keesokan harinya. Ki Ageng Jatmiko mengantarkan cucu-cucunya hingga gerbang padepokan. Berharap keduanya mendapatkan pengalaman berharga selama mengikuti Kebo Pandutan mencari keberadaan Pangeran Arya Batara.
*