Dalam cahaya rembulan yang redup, desa kecil digelayuti oleh ketegangan yang tegang. Penduduk desa berkumpul di sekitar tumpukan kayu kering yang tinggi, di tengah-tengah lapangan yang luas. Angin malam berbisik dengan dingin, menggerakkan jubah para warga yang berkumpul dalam kegelapan.
Di tengah kerumunan, seorang gadis berkulit pucat dengan rambut bergelombang berwarna merah muda dan mata hijau yang tajam berdiri dengan tenang. Gaunnya berkilau dengan desain aneh yang tak biasa dilihat oleh penduduk desa. Ia adalah Laura, wanita yang dituduh sebagai penyihir.
Seorang pendeta tua berdiri di depan tumpukan kayu, mengangkat salib kayu besar. "Kita telah memutuskan bahwa Laura telah mempraktikkan sihir hitam," kata pendeta dengan suara gemetar. "Dia harus dibakar untuk membersihkan dosanya."
Ketika api dinyalakan, gadis itu tetap tenang, meskipun matanya penuh dengan ketakutan. Dia tahu bahwa dia adalah korban ketidakpercayaan dan ketakutan orang-orang. Orang-orang yang dulu dianggap temannya, sekarang siap membakarnya hidup-hidup.
Api merah dan jilatan lidahnya, mendekati kakinya. Gadis itu mengenang kenangan indah desa yang dulu ia panggil rumah. Dia ingat senyuman anak-anak yang pernah dia ajar membaca, dan cinta yang pernah dia rasakan di sini.
BAKAR! BAKAR! BAKAR!
Teriak warga desa, wajah gadis itu telah basah oleh air mata karena lelah untuk mencoba meyakinkan masyarakat bahwa dia bukanlah seorang penyihir. DASAR PENYIHIR! AIR MATA PALSU. Kemudian tanpa pikir panjang sang kepala desa segera membakar kayu bakar yang menjadi bahan utama untuk memanggang hidup-hidup gadis tersebut.
Beberapa saat kemudian, tiupan angin lembut datang ke desa tersebut. Tiupannya amat sunyi dan lembut. Memadamkan setiap sumbu api yang menyala, membuat keadaan sekitar amat gelap gulita. Purnama yang tadi terang benderang pun ikut redup tertutup awan besar ditengah malam. Angin lembut itu terus datang tanpa henti. Beberapa warga mulai merasakan rasa kantuk yang tak tertahankan lalu mereka mulai terlelap tidur.
LAUREL....! NONA LAUREL....!
"Nona Laurel apakah Anda baik-baik saja?!" tanya seorang wanita. Khawatir.
"Ya... Aku baik, hanya...." Jawab wanita dengan rambut merah muda tersebut.
Tiba-tiba wanita disampingnya langsung memeluk erat Laurel.
"Tidak apa-apa, aku tahu itu bukan hal yang mudah". Ucap pelayan itu mencoba menenangkan Laurel.
"Andai saja ketika Pria Tua itu memberikan penawaran tersebut padaku dan aku menerimanya, mungkin aku tak akan mengalami hal seperti ini" gerutu wanita berambut pink tersebut.
"Aku paham, luka pada tubuh mungkin akan hilang tanpa bekas, tapi tidak dengan luka pada ingatan." Ucap pelayan itu menepuk-nepuk bahu Laurel. "Bagaiman jika kita berkeliling, kau hampir 1 minggu disini dan hanya menghabiskan waktu di kamar ini."
Laurel mengangguk mengiyakan perkataan sang pelayan.
Pintu kamar itupun terbuka, menghadirkan lorong panjang yang penuh dengan pintu di samping kiri maupun kanan. Diujung lorong yang sedikit temaram terdapat seberkas cahaya yang langsung memberikan pemandangan yang menakjubkan di depan bangunan tersebut. Mereka berdua diam sejenak diatas balkon yang berada diujung lorong tersebut.
Semilir angin meniup helai-helai kain pakaian dan juga gorden yang menggantung disana. Laurel merasakan kelembutan yang menakjubkan saat jari-jari nya yang lentik menyentuh kain tersebut. Aku merasa di surga. Ucap Laurel dalam batinnya.
"Aku tak pernah melihat tempat seindah ini sebelumnya" Ucap Laurel.
"Semua orang yang pertama kali kesini juga mengatakan hal tersebut. Mari kita berkeliling."
Sepanjang perjalanan mengelilingi istana megah tersebut, sang pelayan menjadi seorang Tour Guide yang tak henti-hentinya menunjukkan tempat-tempat istimewa sambil menjelaskannya. Sesekali pelayan-pelayan lain menyapa mereka berdua dengan hangat. Membuat hati Laurel berontak mengapa dahulu ia tak pernah mendapatkan sapaan hangat seperti itu ketika dia tinggal di desanya.
"Disini kami terbiasa untuk menyapa satu sama lain, terlepas kami saling kenal atau tidak". Ucap pelayan itu.
Laurel mengernyitkan dahinya heran "Apa kau bisa membaca pikiranku?" tanya Laurel penuh tanya.
"Hahaha" sang pelayan terkikik. "Aku bukan orang bisa membaca pikiran, tapi aku mampu memahami bahasa tubuh." Laurel mengernyitkan dahinya kembali, kini ditambah dengan kepalanya sedikit miring. "Kau tau, tak hanya mata dan rambutmu saja yang mirip dengannya. Tapi ekspresi ketika kagum pada sesuatu kalian begitu mirip."
"Mirip dengan siapa yang kau maksud?" tanya Laurel makin keheranan.
"Tentu saja ibumu, kalian seperti kembar"
"Ibuku?! Maksudmu dulu ibuku pernah berada disini?"
"Ya dan dia adalah teman sekamarku"
"Wow, bisa kau ceritakan"
"Bebeberapa dekade lalu ibumu adalah seorang cendekiawan yang amat dikagumi oleh banyak cendikia lainnya termasuk si Pak Tua. Karya-karya Ibumu kerap dimuat dalam buku dan di kirim ke luar desanya. Kemudian dia mengalami hal yang serupa denganmu."
"Dia dituduh penyihir" Tanya Laurel.
"Ya, tapi yang menuduhnya adalah seseorang yang pamornya tersaingi oleh ibumu dan mulai menghasut satu persatu warga desa untuk membakar ibu mu hidup-hidup. Singkat cerita ibumu sudah berada di tiang salib dan hendak dibakar hidup-hidup.
Kemudian datang semilir angin yang amat lembut, memadamkan setiap sumbu api yang ada di desa tersebut. Angin itu juga datang dengan rasa kantuk yang tak tertahankan membuat warga desa satu persatu tumbang tak sadarkan diri. Semua orang termasuk Ibumu. Ketika pagi datang ibumu bangun dia sudah berada disini dan segera di sambut oleh Pak Tua.
Dia menawarkan perlindungan, tempat tinggal dan juga tempat untuk melakukan eksperimen ilmiah, asalkan dia mau mengabdi selama beberapa tahun padanya disini. Tanpa pikir panjang ibu mengiyakan hal tersebut. Ibumu langsung menghampiri si Pak Tua sambil menyingkap pakaiannya, memperlihatkan buah dadanya yang ranum untuk disuguhkan kepada Pak Tua. Merekapun melakukan hal tersebut, sementara aku berada diruang tersebut menyaksikan semuanya."
"Wow, dia pasti sangat syok dan heboh saat mengetahui hal tersebut" ucap Laurel.
"Tepat sekali, namun karena kejadian tersebut akhirnya kami menjadi teman baik."
"TUNGGU! Kau pertama kali bertemu dengan ibuku beberapa dekade lalu, berapa usiamu yang sebenarnya?!" tanya Laurel.
"Usiaku saat ini adalah 75 tahun"
"BOHONG, kau terlihat seperti usia 20 tahunan" ucap Laurel.
"Bukankah ibumu juga terlihat awet muda?"
"Ya aku baru ingat ketika dia Wafat di usia 65 tahun, wajahnya masih nampak seperti wanita paruh baya 40 tahunan." jelas Laurel.
"Sebenarnya ibumu meninggal di Usia 105 tahun, ketika dia bertemu dengan ayahmu usianya sudah menginjak 40 tahunan, tapi dia bilang pada ayahmu kalau dia baru berusia 20 tahun."
"Aku seperti tidak asing dengan cerita itu." Ucap Laurel sambil berpikir.
"Dia menulis kisah hidupnya sendiri ke dalam sebuah Novel cinta. Ada beberapa tulisannya di perpustakaan Istana, mari kita kesana"
"Jadi— semua yang ada di dalam novel tersebut benar-benar nyata, Kecantikan Abadi, Pria tampan yang hidup Abadi hingga 1/3 kekayaan dunia yang dimilikinya."
Pelayan itu mengangguk, tapi bukan mengiyakan perkataan Laurel, melainkan angguk hormat kepada sesosok pria dihadapannya.
"Aku senang, akhirnya kau mau untuk keluar kamar. " ucap seorang Pria.
Laurel amat terkejut dengan sosok yang berbicara padanya "Ehhh....Pak Tua?!!"