Chereads / Istri Yang Ku Sia-Siakan / Chapter 10 - BAB 9 BUNUH SAJA AKU MAS

Chapter 10 - BAB 9 BUNUH SAJA AKU MAS

Antony menggelengkan kepala dan langsung pergi dari rumah. Helena menatap geram suaminya, lalu mengalihkan pandangan pada putranya.

"Dario, dengar ya, mama mau kamu menceraikan Savanna."

"Aku nggak akan pernah menceraikan Savanna, Ma."

"Kenapa? Apa yang sudah perempuan itu lakukan sampai kamu nggak mau melepaskan dia?"

"Banyak, Ma. Banyak yang sudah Savanna lakukan."

"Apa yang dia lakukan? Mengurus anak juga nggak becus, kamu lihat sendiri kan Azzam jadi anak pemarah dan pembangkang begitu?"

"Azzam memang wataknya begitu, Ma. Coba mama ingat-ingat lagi gimana aku waktu kecil. Aku masih ingat dulu waktu SD, aku pernah berantem sama anak tetangga sampai kepalanya bocor. Azzam nggak seberapa dibandingkan kenakalanku dulu, Ma."

"Tapi kamu nggak pernah melawan orang tua. Apa pernah kamu dulu bentak nenek kamu?"

"Karena nenek waktu itu baik, Ma."

"Jadi menurut kamu mama nggak baik makanya Azzam bentak mama?" Helena melotot kesal.

Dario jadi serba salah. Bukan itu maksudnya, tapi ah

sudahlah.

"Lebih mama pulang, mama nggak mau ditinggal papa

kan?""Kamu ngusir mama?"

TUT... TUTT....

Terdengar suara klakson dari luar. Dengan langkah jengkel Helena pun keluar rumah menghampiri suaminya.

Setelah kepergian mamanya, Dario hanya bisa

menghela napas panjang

Setelah dari kamar Azzam, Savanna ke kamar Azzura untuk mengecek putri kecilnya. Ternyata Azzura sedang duduk termenung di tepi kasur.

"Azzura."

Azzura menoleh.

"Mommy boleh masuk?"

Pintu memang sudah terbuka sedikit, tapi Savanna tidak ingin langsung masuk. Dia ingin memberi contoh langsung pada putrinya, sebelum masuk, harus ketuk pintu dulu.

"Mommy boleh masuk nggak?" tanya Savanna dengan lembut meskipun Azzura menatap tak suka padanya.

Rindu. Itulah yang Savanna rasakan sekarang Savanna rindu putri kecilnya bermanja-manja padanya. Savanna rindu suaranya rengekkan, tingkah lucunya, tingkah jahilnya. Semua, Savanna merindukan segala hal tentang Azzura.

"Boleh," jawab Azzura membuat hati Savanna senangsekali.

Savanna pun duduk di samping Azzura.

"Azzura kok belum ganti seragam? Ayo ganti seragam, terus mandi, terus makan malam," Savanna mengusap rambut putrinya dengan lembut.

Bukannya langsung mengiyakan, gadis kecil itu justru menatapnya lama.

"Kenapa, hm? Ada yang mau Azzura bilang sama Mommy? Bilang aja, nggak usah takut."

"Maukah Mommy pisah sama Daddy?"

Deg...

Jantung Savanna seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Savanna tak pernah menyangka Azzura akan bertanya begitu.

"Kenapa Azzura mau Mommy cerai sama Daddy?"

"Azzura mau mama Ziya tinggal di rumah ini lagi sama Azzura, Daddy dan Azzam."

Savanna tidak tau apakah ini murni dari hati Azzura atau pengaruh dari Ziya, tapi tetap saja Azzura yang mengatakan itu dengan mulutnya sendiri. Secara tidak langsung menunjukkan Azzura memang tidak menyayanginya lagi.

Tuhan, sakit, batin Savanna. Batinnya sedih sekali gadis kecil yang sudah dia anggap anaknya sendiri mengatakan itu.

"Mommy, please. Mommy pergi aja ya dari rumah ini.Azzura mau Mama Ziya tinggal di sini lagi."

Meskipun pedih, Savanna tetap memaksakan senyum.

"Iya, Mommy pasti akan cerai sama Daddy."

"Serius, Mommy?" mata Azzura berbinar seolah mendapat hadiah yang paling dia idam-idamkan. Dan jujur saya itu menyakitkan untuk Savanna.

Savanna memang ingin bercerai dengan Dario. Tapi tetap saja hatinya sakit mendengar secara halus putrinya mengusirnya dari rumah ini.

"Iya, Sayang. Tapi janji ya sama Mommy, setelah Mommy cerai sama Daddy, Azzura harus bahagia."

"Azzura pasti bahagia. Sejak dulu Azzura pengen

banget tinggal sama Mama Ziya."

Savanna tersenyum getir.

"Boleh Mommy peluk Azzura?"

"Boleh, Mommy," Azzura tersenyum dan merentangkan tangan.

Begitu Savanna menarik tubuh mungil itu dalam pelukannya, saat itu juga air matanya mengalir. Sakit sekali. Rasanya lebih sakit melihat putri yang dia sayangi dengan tulus tidak lagi menyayanginya daripada melihat Dario bermesraan dengan Ziya.

Savanna selalu lemah dengan anak-anak, apalagi ini Azzura, anak yang dia besarkan dari usianya lima tahun dan ia sayangi dengan setulus hati.

Savanna segera mengusap air matanya dan melepaspelukan.

"Yaudah Azzura ganti baju ya, terus mandi dan ke ruang makan."

"Iya Mommy."

Savanna pun keluar kamar dan dia terkejut melihat suaminya sudah ada di depan kamar.

"Mas Dario."

Dario hanya diam dengan mata terfokus menatap istrinya. Semuanya, Dario mendengar semua pembicaraan Savanna dan Azzura tadi. Dario juga melihat diam-diam Savanna menangis tanpa sepengetahuan Azzura.

"Kenapa Mas menatapku aku gitu."

"Apa kamu akan bahagia jika bercerai denganku?"

Savanna terdiam dan mengulang kembali pertanyaan suaminya dalam kepalanya. Savanna sendiri juga bertanya-tanya apakah dia akan bahagia setelah bercerai. Hatinya sudah patah oleh cintannya pada suaminya yang tak terbalas, mentalnya pun sudah nyaris hancur karena orang-orang disekitarnya.

"Tentu saja, aku pasti bahagia."

Tapi mau sehancur apapun dirinya, dia tidak akan pernah membiarkan orang lain tertawa melihat penderitaannya. Meskipun harus mamakai topeng tebal untuk menutup kesedihannya, Savanna akan melakukan itu. Mungkin awalnya sulit setelah bercerai, tapi seiring berjalannya waktu, Savanna yakin semua akan baik-baik saja."Dengar Savanna."

Dario selangkah maju.

"Bahagia atau tidak kamu dalam pernikahan ini. Aku tidak akan pernah menceraikan kamu."

"Lalu kamu ingin aku mati perlahan."

"Itu pilihan kamu. Kalau kamu mau menerima ku kembali dan bersikap seperti Savanna dulu yang patuh, nurut dan tidak menuntut apapun, kamu pasti akan bahagia. Apapun yang kamu minta pasti aku berikan, asalkan jangan minta cerai.

"Paham istriku sayang," Dario menunduk dan mencium pipi istrinya, tersenyum miring lalu pergi begitu saja.

Savanna mengepalkan tangan lalu mengusap pipinya bekas ciuman suaminya.

"Aku bukan bonekamu, Mas. Kamu nggak akan bisa memperlakukanku seenak itu. Kesalahan besar karena kamu nggak mau melepaskanku. Kamu akan menyesalinya karena membiarkanku tetap berada di rumah ini."

***

Selesai makan malam dan menemani anak-anaknya belajar, Savanna kembali ke kamar. Itupun tak lama, Savanna hanya memakai skincare malam, setelah itu. kembali ke kamar Azzam. Lebih baik Savanna tidur dengan putranya daripada dengan suaminya yang kejam itu.

"Hahaha, Mas Dario bisa aja."Dario baru keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe. Meletakkan ponsel yang diloadspeaker di kasur lalu membuka lemari dan mencari baju ganti.

"Ohya, Mas. Maaf ya, Mas aku malem-malem gini ganggu kamu. Aku nggak bisa tidur kalau nggak denger suara kamu."

"Nggak kok nggak ganggu. Santai aja. Lagian kata dokter kamu nggak boleh tidur malam. Mas senang bisa membantu kamu biar cepet tidur."

Dario melirik ke arah Savanna yang memakai cream malam dan sejak tadi hanya diam. Sebenarnya Dario tak enak menerima telpon Ziya, tapi mau bagaimana lagi, Ziya membutuhkannya. Dulu saat dititik terrendahnya, Ziya selalu ada untuknya, sekarang saat Ziya sedang sakit, Dario harus membalas budi dengan menemaninya.

"Yaampun terima kasih banyak ya, Mas. Aku nggak tau lagi gimana cara berterima kasih."

"Kamu nggak usah berterima kasih. Cukup kamu sehat aja udah lebih dari cukup."

"Iya, Mas. Ohya, itu kamu lagi ada di kamar?"

"Iya. Ini ada Savanna juga.

Dario mengganti baju dengan celana dan kaos pendek, meletakkan bathrobe di sofa, lalu menghampiri istrinya.

"Hai, Savanna, kamu jangan marah ya, aku telponan sama Mas Dario."

Kalian tau apa yang ingin Savanna lakukan sekarang? Gantung diri! Iya, Savanna tidak sekuat itu, berulang kaliterlintas dalam kepalanya untuk bunuh diri. Perempuan mana yang batinnya nggak tersiksa melihat suaminya mesra-mesraan dengan perempuan lain di depan matanya sendiri.

Savanna begitu tersiksa. Dan yang lebih membuatnya tersiksa, Dario seolah tidak merasa bersalah. Padahal baru kemarin Dario memohon-mohon kesempatan kedua. Nyatanya, selalu saja dia mengulang keselahan yang sama.

Savanna benar-benar nggak kuat.

Tapi dengan kejamnya Dario tetap tidak mau melepaskannya.

"Halo, Savanna, kok diem aja? Kamu marah ya aku

telpon Mas Dario?"

"Nggak kok, Savanna nggak marah, dia lagi sibuk pakai skincare," ucap Dario agak menjauh.

Daripada dia mengajak istrinya berbicara dan ujung-ujungnya marah-marah, Dario lebih memilih duduk di tepi kasur dan telponan dengan Ziya.

"Oh Savanna lagi pakai skin care ya. Sekarang aku nggak pernah pakai yang gitu-gitu lagi loh Mas. Aku cuma pakai sabun cuci muka."

"Ohya? Tapi kulit kamu bagus."

"Haha, iya, aku juga nggak tau kenapa kulitku bagus. Tapi aku keliatan cantik nggak Mas meskipun jarang skincare."

"Tentu saja kamu cantik.""Aku yang paling cantik di dunia ini?"

Dario diam.

"Haha,bercanda, Mas. Nggak usah dijawab, aku tau jawabannya pasti Savanna kan?"

"Enggak, wanita tercantik di dunia ini mama, terus

Azzura."

"Terus siapa lagi? Savanna?" tanya Ziya.

Belum sempat Dario menjawab tiba-tiba Savanna

berdiri.

"Mau kemana?" tanya Dario.

"Ke kamar Azzam. Aku mau tidur di sana."

"Ck, nggak usah aneh-aneh deh. Kenapa kamu tidur sama Azzam. Tidur sini kan bisa. Kamu mau membiarkan suamimu memeluk guling semalaman?"

Savanna menoleh dan menatap sendu suaminya.

"Jadi menurut Mas, aku harus tidur di sini dan sepanjang malam mendengarkan Mas telponan dengan perempuan lain? Mas mau membunuhku perlahan?"

"Apaan sih kamu nggak usah berlebihan gitu deh. Aku

cuma telponan sebentar sama Ziya sampai Ziya tertidur."

"Iya, Savanna, kamu jangan marah ya. Aku sebentar lagi udah ngantuk. Huaaampp ini aja aku nguap dari tadi," ucap Ziya yang memang terdengar karena sejak tadi menggunakan loudspeaker.

Savanna menutup mata sejenak untuk menguatkanhati. Jangan sampai emosi dan keputuasaan menguasainya, lalu dengan bodohnya meloncat dari lantai dua. Savanna tidak mau mati dengan cara konyol seperti itu. Bunuh diri bukan solusi dari masalahnya. Mampu atau tidak mampu, Savanna harus tetap kuat.

Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan siapapun menyakitinya.

"Savanna, sini," perintah Dario.

Savanna menghampiri suaminya dan duduk di tepi ranjang, tepat di samping suaminya.

Dario heran melihat istrinya tiba-tiba mau duduk di dekatnya, biasanya dia selalu menjaga jarak.

Jika Savanna tidak bisa mengusir Ziya dengan cara

kasar, maka Savanna akan mengusir dengan cara halus.

"Masih lama telponananya?" tanya Savanna sambil mengulurkan tangan dan mengusap dada suaminya.

Dario tersenyum miring, "Kenapa? Mau apa?"

Savanna menunduk dan tersenyum malu-malu.

"Mau itu."

"Itu apa? Yang jelas kalau ngomong?" Dario mengangkat dagu istrinya hingga wajah istrinya terdongak dan kedua mata mereka kembali bertemu.

Savanna melengos, naik ke atas kasur dan tiduran membelakangi suaminya. Savanna sengaja menaikkan baju tidurnya sehingga pahanya yang mulus terpampang di depan suaminya."Wow," Dario menelan ludah dengan susah payah. Satu tangannya memegang ponsel sementara satu tangannya mengusap paha istrinya.

"Halo, Mas Daffa. Apanya yang wow?"

Dario mengerjab, "Eh bukan apa-apa kok. Btw, kamu masih belum mengantuk?" tanya Dario.

"Belum, Mas. Aku belum mengantuk. Kenapa? Kamu nggak mau nemenin aku telponan lagi."

"Mau kok, siapa bilang nggak mau."

Savanna semakin menaikkan bajunya. Dia ingin melihat seberapa jauh Dario bisa bertahan. Tangan Dario pun masih betah berlama-lama mengusap pahanya, bahkan dengan nakalnya sesekali menyentuh segitiga sensitivenya.

Sebenarnya Savanna jijik sekali disentuh suaminya seperti ini. Benci sekali. Tapi demi mengusir Ziya, Savanna harus melakukannya.

"Mas Dario biar aku cepet tidur gimana kalau Mas nyanyiin aku lagi.

"Lagu? Lagu apa?"

Dario meletakkan ponsel di meja dan tiduran di belakang istrinya dan menciumi belakang lehernya. Savanna hanya diam dan membiarkan suaminya melakukan apapun yang dia inginkan.

"Seharusnya kalau kamu mau ini, bilang. Nggak usah pakai marah-marah mau ke kamar Azzam, Dario mencium pipi istrinya masih dengan posisi dari belakang.

"Halo, Mas Dario."

"Iya, Ziya," gumam Dario tak fokus, karena sekarang seluruh fokus Dario ada pada istrinya.

"Ahh, Mas," Savanna hanya ingin pura-pura mendesah, tapi sentuhan suaminya memang benar-benar membuatnya mendesah. Seberapa banyak dia mengatakan benci, hati dan tubuhnya tidak bisa bohong. Savanna masih mencintai suaminya dan masih menginginkannya. Sebenci atau sejijik apapun, sentuhan suaminya masih bisa membuatnya bergairah.

Savanna benci sekali dirinya yang seperti ini, dirinya yang lemah setiap di dekat suaminya.

"Kamu harum sekali," gumam Dario sambil

menyusurkan bibir di leher istrinya dan sesekali mengigit

daun telinganya.

"MAS DARIO!"

Ziya berteriak.

Dario tersentak dan menarik diri.

"Halo, Ziya. Kenapa? Kenapa teriak?"

"Aku tiba-tiba kangen Azzura. Aku boleh lihat wajah Azzura sebelum tidur?"

"Maksudnya vidcall?"

"Iya. Please, Mas. Kali ini aja."

Savanna memejamkan mata sambil mencengkeram sisi bantal. Dia semakin memiringkan tubuhnya agarwajahnya tak terlihat oleh suaminya. Sekuat apapun Savanna terlihat baik-baik saja, matanya tak akan bohong, bahwa dia sangat terluka. Dan Savanna tidak ingin suami yang paling dia benci melihat lukanya.

"Mas Dario, please. Sebentar aja. Nanti kamu lanjutin itu lagi sama Savanna."

Dario menghela napas kasar. Padahal dia sedang tegang-tegangnya, tapi gagal karena Ziya. Meski begitu Dario tetap menuruti keinginan mantan istri tersayangnya.

"Yaudah, habis itu langsung tidur ya."

"Iya, Mas, aku pasti langsung tidur, terima kasih."

Dario mengakhiri panggilan dulu, lalu menatap istrinya yang masih memunggunginya.

Savanna hanya diam, tidak protes atau melarangnya. Dan diamnya Savanna justru membuat Dario merasa tak enak.

"Aku nggak akan lama."

Tak ada sahutan.

"Savanna, aku lagi ngomong sama kamu."

Hening. Savanna hanya diam.

"Savanna jawab!"

"Iya," jawab Savanna pelan. Suaranya mengisyaratkan betapa lelahnya dia sekarang. Bahkan tubuhnya pun tidak bisa menarik perhatian suaminya. Lalu apa lagi yang harus lakukan agar suaminya mau memprioritaskannya."Kamu marah?"

Savanna menggeleng

"Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh aku melakukan ini bukan karena aku masih mencintai Ziya, tapi kerena saat ini Ziya membutuhkanku agar cepat sembuh. Setelah dia sembuh, aku pasti akan selalu memprioritasnya kamu."

"Iya," jawab Savanna yang lagi-lagi singkat.

Dario mengacak rambutnya dengan kasar. Sungguh, lebih baik Savanna mendebatnya, daripada menjawab singkat-singkat begitu.

"Aku segera kembali," Dario mencium kening istrinya.

dan lari keluar kamar.

Saat itu juga tangis Savanna pecah.

"Aku nggak mau nangis, jangan nangis mata," Savanna mengusap pipinya dengan kasar.

Savanna benar-benar tidak mau menangis. Menangis hanya membuatnya terlihat lemah dan tak berdaya. Savanna harus kuat untuk menghadapi masalahnya yang kian hari terasa semakin berat.

"Sakit, Tuhan, hiks."

Tak mau berhenti menangis juga, Savanna pun membiarkan air matanya mengalir. Toh di sini nggak ada siapapun, tidak akan ada yang mendengar tangisannya dan mengatakan dia lemah.

Namun tanpa Savanna sadari, sejak tadi Dario masihada di balik pintu. Dia belum pergi meskipun sejak tadi ponselnya berdering panggilan dari Ziya.

Tangisan Savanna benar-benar menyesakkan hati. Dario masih tidak mengerti apa yang membuat Savanna menangis sampai terisak-isak begitu. Dario sudah menjelaskan, Dario tidak mencintai Ziya, dia melakukan ini agar Ziya cepat sembuh, tapi kenapa Savanna masih terus merasa tersakiti.

Dario pada akhirnya tidak jadi ke kamar Azzura atau Azzam. Dia meninggalkan ponselnya di sofa lantai atas lalu menuju ke dapur yang ada di lantai satu.

Di sana Dario menyimpan beberapa alkhohol.

Dario merasa pusing sekali dan membutuhkan minuman itu untuk menghilangkan sejenak pusingnya.

"Daddy."

Belum sempat Dario mengambil, dia dikejutkan oleh putranya.

"Azzam, kamu belum tidur?"