Seora masih berkutat dengan pikirannya tentang cerita yang baru ia dengar hari ini dari Hana. Tentang Min Yoongi. Sebenarnya itu bukan hal penting mengingat Seora memang tidak dekat dengan Yoongi. Bahkan Seora selalu merasa kesal padanya. Tapi entah kenapa sejak tadi Seora memikirkan kisah dari keluarga lelaki itu.
Belum lagi kejadian di kantin yang juga ikut masuk memenuhi pikirannya saat ini. Tadi saat di kantin setelah Hana menceritakan tentang Yoongi dan masalahnya dengan Jihoon, tiba-tiba saja Jimin datang menghampiri meja Seora. Itu membuat tatapan beberapa orang tertuju pada Seora. Mungkin mereka bertanya-tanya tentang apa hubungan Seora dengan Jimin. Itu yang Seora benci, dulu maupun sekarang.
"Kim Seora, kita harus bicara."
"Maaf sunbae, tidak ada yang harus kita bicarakan."
Tanpa menghiraukan ajakan Jimin, Seora segera bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan Jimin.
Seora menghela napas, kini memikirkan bagaimana ia harus berhadapan dengan Jimin setiap harinya. Ia tidak mau kejadian saat SMA terulang lagi. Dimana para gadis di sekolahnya membenci Seora terang-terangan karena ia berteman dekat dengan Jimin. Jimin memang populer bahkan sejak dulu, maka dari itu Seora tidak ingin ada masalah lagi dengan fans-fansnya saat ini. Tapi bukan hanya itu alasan Seora mengindari Jimin sejak beberapa tahun lalu. Sebenarnya ia malu, tentang kejadian saat…
"Apa yang sedang kau pikirkan sejak tadi?"
Suara Seokjin memecah lamunan Seora, seolah menghentikannya untuk memutar kembali kejadian yang memang tidak ingin ia ingat.
"Tidak sedang memikirkan apapun."
"Apanya yang tidak, dari tadi kau hanya mengaduk-aduk makananmu sambil melamun."
"Ya, hanya ada sedikit masalah yang menganggu pikiranku. Bukan masalah penting."
Seokjin hanya mengangguk sembari mulutnya masih sibuk mengunyah makanan yang sejak tadi ia nikmati.
"Oppa.."
"Hm?"
"Apa oppa sangat dekat dengan Yoongi sunbae?"
Mendengar nama Yoongi, Seokjin segera meletakkan sendoknya. Menghentikan acara makannya. Ia menatap adiknya dengan penuh selidik.
"Apa sejak tadi kau memikirkan Yoongi?"
"Ti-tidak.. Aku hanya penasaran saja bagimana oppa bisa mengenalnya selain memang tinggal di lingkungan yang sama."
"Ya, aku mengenalnya jauh sebelum dia tinggal di lingkungan ini."
"Bagaimana bisa?"
"Dulu saat aku pulang kerja, aku melihat Yoongi sedang dipukuli preman. Aku membantunya dan membawanya kesini. Ia tinggal beberapa hari dan selalu menempel padaku. Setiap hari aku menyuruhnya pulang. Bukan berarti aku tidak suka ia disini, aku hanya khawatir orangtuanya akan mencarinya. Tapi ia selalu berkata tidak ingin pulang. Sampai akhirnya suatu hari ia pamit pulang. Tapi keesokan harinya ia datang lagi dan memberitahuku bahwa mulai saat itu dia akan tinggal di unit depanku."
Seora yang sedang minum tiba-tiba saja tersedak mendengar kalimat terakhir yang kakaknya ucapkan. Ia tidak menyangka bahwa Yoongi tinggal di unit depannya. Ia pikir hanya berada di lantai yang sama.
"Kenapa ia sampai dipukuli preman? Apa dia berandalan?"
"Bukan. Dia bilang mereka preman suruhan ayahnya."
"Apa?! Kenapa seperti itu?"
"Aku tidak bisa memberitahumu. Itu masalah pribadi Yoongi, hanya dia yang berhak menceritakannya." Ucap Seokjin sembari beranjak dari duduknya, membawa piring kotor untuk segera dicuci. Seora hanya terdiam, ia tidak berhak memaksa kakaknya untuk bercerita.
"Seora, tolong buang sampahnya. Besok pagi takut tidak sempat."
Yang diperintah hanya menurut. Berjalan mendekat dan segera menyambar plastik berisi sampah tersebut. Membawa langkahnya keluar, Seora segera membuka pintu. Namun yang mengejutkan, pintu unit didepannya ikut terbuka. Tak lama menampakkan seorang lelaki yang sama dengan Seora, membawa plastik sampah. Itu Yoongi.
Seora merutuki dirinya sendiri. Ini bukan waktu yang pas untuk bertemu dengan Yoongi. Ia tahu pasti mereka akan sangat canggungーtidak, mungkin hanya Seora yang akan merasa canggung disini. Seora sempat milirik Yoongi yang sama sekali tidak menghiraukan keberadaannya sampai mereka masuk kedalam lift yang sama.
Yoongi berdiri didepan dengan tenang, sementara Seora berdiri tepat di belakangnya sembari menatap pribadi itu dari belakang. Pikirannya masih terlalu penasaran dengan cerita yang ia dengar dari Seokjin tadi. Ingin ia bertanya langsung pada Yoongi, tapi ia cukup sadar diri bahwa mereka tidak sedekat itu untuk saling bertanya.
Keheningan itu berlangsung sampai lift terbuka dan mereka keluar menuju ke tempat pembuangan sampah. Bahkan sampai akan kembali ke atas, Seora masih setia menatap Yoongi yang berjalan memasuki lift. Kini posisi mereka bergantian, giliran Seora yang berdiri tepat di depan pintu lift sementara Yoongi menyenderkan badannya pada bagian belakang sembari mengotak-atik ponselnya.
"Apa kau tidak lelah?"
"Apa maksudmu?" Seora menoleh ke belakang, menatap Yoongi penuh tanya. Ia jelas kebingungan dengan pertanyaan yang tiba-tiba Yoongi lontarkan.
"Sejak tadi kau terus menatapku, apa kau tidak lelah?"
Ah, jadi Seora sekarang sedang tertangkap basah memandangi Yoongi sejak tadi. Ia berdehem, mengalihkan pandangannya dari Yoongi dan menetralkan sikap gugupnya. Mencoba bersikap biasa saja.
"Aku tidak menatap sunbae, aku hanya penasaran tentang sesuatu."
"Apa ketampananku mulai membuatmu penasaran?"
Harusnya Seora tau betul tabiat seorang Min Yoongi dengan tingkat kenarisistikan yang melebihi rata-rata itu. Seora hanya memutar bola matanya malas, enggan menanggapi celotehan Yoongi.
Tiba-tiba pintu lift berdenting, dan perlahan membuka menampakkan seorang pria paruh baya yang juga hendak menaiki lift. Bisa Seora lihat pria ini setengah sadar, juga bau alkohol yang sangat mengganggu penciuman Seora. Mungkin pria ini benar-benar mabuk.
Tangan pria itu bergerak menekan tombol lantai yang ia tuju, tak sengaja tatapan pria itu beralih pada Seora yang tepat berdiri disampingnya. Ia tersenyum pada Seora, senyum yang menurut Seora sedikit… ambigu? Bahkan pria itu bergumam tidak jelas, membuat Seora sedikit risih karena pria itu semakin mendekat padanya.
Baru Seora ingin membuka mulut untuk melayangkan protes, ia merasakan lengannya ditarik kebelakang. Posisinya kini berdiri disebelah Yoongi dengan tangannya yang masih berada pada lengan Seora, sementara tangan lainnya masih tampak sibuk memainkan ponsel. Bahkan ia tidak menatap Seora sama sekali, membuatnya bingung sebenarnya lelaki seperti apa Min Yoongi ini.
***
Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi Seora. Seharian ini ia mengikuti semua mata kuliah dengan sangat keras. Karena ia mahasiswi baru, jadi setidaknya ia harus mengejar beberapa materi yang tertinggal. Setelah kelas terakhirnya berakhir, Seora berniat ingin segera dan segera merebahkan badan di kasur empuk miliknya dirumah. Tapi niat Seora terurung saat melihat beberapa teman sekelasnya pergi ke arah berlawanan dengannya. Mereka tidak menuju gerbang untuk segera pulang, melainkan menuju tempat yang Seora tau itu adalah lapangan basket. Ia bertanya-tanya kenapa semua orang pergi kesana.
Saat masih di landa rasa penasaran dan bingung, tiba-tiba ponsel Seora berdering. Seora menatap layar ponsel di genggamannya, disana tertera nama Hana yang sedang meneleponnya. Hana memang ijin dikelas terakhir untuk mengurus kegiatan klub, itu sebabnya sekarang ia tidak bersama Seora.
Seora segera menerima panggilan tersebut.
"Halo Seora-ya, cepat ke lapangan basket sekarang. Aku tunggu!"
Hana mengakhiri panggilannya begitu saja. Ia bahkan tak memberi Seora kesempatan berbicara bahkan untuk sekedar menanyakan alasan Hana menyuruhnya kesana. Tanpa menunggu lama, Seora segera melangkahkan kakinya menuju ke lapangan basket. Disana ia dapat melihat Hana yang sudah melambai-lambaikan tangan kearahnya, memberi kode untuk mendekat padanya. Ia kemudian berjalan mendekati gadis itu dan duduk disebelahnya.
"Kenapa kau menyuruhku kesini?"
"Menurutmu untuk apa? Tentu saja untuk melihat pertandingan basket."
"Aku tidak tahu kalau kau ternyata tertarik dengan basket."
"Semua orang kesini bukan karena mereka tertarik basket, tapi ada hal yang lebih menarik."
"Apa maksudmu?" Seora mengeryit tidak paham dengan ucapan Hana.
"Lihatlah kesana.."
Seora mengalihkan pandangannya kedepan mengikuti kemana arah tatapan Hana. Bisa ia lihat, didepan sana dua tim sedang bertanding beradu skill basket dengan sengit. Saling berebut untuk mencetak poin. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian semua orang. Ia melihat Yoongi yang sedang mendrible bola dan berlarian dengan gesit. Yoongi berhasil mencetak poin berkali-kali, Seora bahkan bisa melihat saat Yoongi tersenyum manis kepada rekannya saat ia berhasil mencetak poin. Keringatnya bahkan membanjiri seluruh wajahnya menjadikan ia terlihat sangat menawan. Tidak heran jika semua orang rela berlari kesini untuk melihat lelaki yang mereka puja. Bahkan bukan hanya Yoongi, tapi Jimin dan Taehyung juga ikut bermain.
Tapi pandangan Seora justru terhenti pada sosok lelaki yang juga satu tim dengan mereka, Jihoon. Bukankah mereka saling bermusuhan, bagaimana bisa mereka berada di tim yang sama. Bahkan Seora sempat melihat bebrapa kali Yoongi memberikan tatapan sinis pada Jihoon. Seora semakin dibuat bingung dengan hubungan dan masalah yang ada diantara mereka.
"Seora-ya, apa kau mau ikut setelah ini?"
Seora menoleh pada Hana yang kini tengah menatapnya. "Kemana?"
"Biasanya setelah memenangkan pertandingan, tim basket akan pergi minum untuk merayakannya. Kau ikut ya, temani aku."
"Kenapa kau kesana? Kau kan bukan anggota tim basket."
"Itu acara bebas, semua orang boleh datang dan ikut merayakan. Kemarin-kemarin aku selalu pergi sendiri, sekarang karena ada kau jadi kau harus ikut denganku."
"Tidak, aku tidak tertarik."
Bukannya tidak ingin pergi, tapi Seora memikirkan bagaimana canggungnya jika ia berada disana. Ia bahkan tidak mengenal dekat orang-orang itu. Belum lagi disana ia akan bertemu dengan Yoongi. Dan tentu saja dengan Jimin, orang yang sebisa mungkin ia hindari. Ia pasti juga akan dimarahi Seokjin jika pulang terlalu larut malam. Terlalu banyak resiko yang akan ia dapatkan jika ia pergi.
"Ayolah Kim Seora, kau tidak kasihan padaku? Temani aku sekali ini saja, ya?"
Seora memutar bola matanya malas. Ia hampir saja muntah melihat raut wajah Hana yang dibuat memelas sembari merengek seperti itu. Ia berpikir sekali lagi. Ia sebenarnya tidak tega untuk menolak ajakan Hana, tapi ia juga takut jika sesuatu akan terjadi disana.
Seora menghela napas, "Huh, baiklah aku ikut."
***