"Pastikan kau menjaganya baik-baik." Kata Rei sambil menunjuk pajangan kaca di pangkuan Hana. "Kalau benda itu sampai pecah dan Fiona tidak keluar dari sana, Aku tidak bisa buat alasan lain." Lanjutnya pelan.
Walaupun rapatnya sedang jeda sejenak, tentu saja semua ketua divisi masih ada di ruangan. Kebanyakan mungkin sedang sibuk memberitahu anggota divisi mereka kalau rapat hari ini tidak akan selancar rapat biasanya…
"..." Masih tidak begitu senang, tadinya Hana cuma mengalihkan wajahnya tanpa menjawab apa-apa. Tapi bukan Hana namanya kalau dia tidak protes. "Kalau begitu harusnya kau tidak berbohong pada mereka sejak awal." Gerutunya pelan juga.
"Kenapa? Faktanya Aku memang sedang mengurung Fiona." Balas Rei ringan. "Aku kan cuma tidak bisa bilang kalau yang memegangnya sekarang adalah anak kelas 1, yang anehnya mau menjaganya."
"Itulah kenapa--" Hana hampir menaikkan suaranya, tapi untungnya dia segera memelankannya lagi. "Itulah kenapa kau harusnya tidak memberikannya--"
"Ehem!" Tapi sebelum Hana bisa melanjutkan omelannya, seseorang sudah menyelanya. Itu Loki. "Kalau kalian sudah selesai, bagaimana kalau kita lanjutkan saja rapatnya? Lagipula hari sudah sore." Katanya.
Karena masih ingin bicara dengan Rei, Hana spontan melipat bibirnya dengan gemas. Tapi Rei ternyata membalasnya duluan. "Benar juga. Bagaimanapun memang masih ada topik yang mengganggu semua orang kan?"
'Ba-Bagaimana ini?' Jantung Hana sudah langsung dag-dig-dug mendengar itu karena dia takut kalau semua orang akan mulai membicarakan Alisa. Tapi ternyata… Perkiraannya melenceng sedikit.
"Tentang murid kelas satu yang belakangan ini pergi ke divisi pengendalian sihir."
"..." Semua orang masih meraba-raba apa yang sedang dibicarakannya. Tapi si ketua divisi yang disebut, Hazel sudah mulai panik duluan.
"Ada rumor yang mengatakan kalau kalian memberikannya ramuan yang bisa membuatnya menggunakan sihir sampai lebih dari 7 jenis sihir." Lanjut Loki. "Bahkan sekarang anaknya juga langsung masuk ke yellowlist."
"Ah, tentang itu…" Tidak cuma riuh, semua orang di ruangan mulai jadi ramai saat mendengarnya. Soalnya sedikit-banyak, mereka juga sebenarnya sudah dengar tentang itu. Tentang murid yang list-nya naik kelas.
Tapi meski meleset, masalah itu tetap sama sensitifnya dengan masalah Alisa. Jadi dengan gelisah, Hana spontan mulai menarik-narik baju Rei dari bawah meja. 'Bagaimana kita harus menjelaskan itu?!' Pasti itu yang sedang dikatakannya pada Rei lewat telepati.
"Aku dengar kalau awalnya dia punya masalah, makanya dia pergi ke divisi Hazel." Kata Loki lagi. "Tapi apapun itu, Aku rasa tidak seharusnya kalian memberikannya ramuan yang bisa memberikannya sihir baru. Apalagi sebanyak itu."
"Aku setuju." Timpal Fero, si ketua divisi IT. "Padahal pekerjaan kita sebagai Osis adalah membatasi penggunaan sihir murid. Tapi kalau itu benar, itu justru jadi berkebalikan dengan tugas kita kan?"
Rei sempat melirik Hana sejenak, tapi kemudian dia menepak tangan Hana dari bajunya. "Aku tidak yakin kalian dengar dari mana, tapi Aku tahu jelas Ruri tidak memberikan ramuan seperti itu pada siapapun." Balasnya kemudian.
"Tapi tentu saja kalian tidak akan percaya kalau kubilang begitu…" Cibir Rei sendiri. "Jadi bagaimana kalau kalian tanya saja sama ketua divisi yang mengurusnya."
'Kak Rei sialan!!' Hazel langsung teriak dalam hati--meski untungnya dia masih tahu caranya memasang poker face di rapat yang dipenuhi oleh ketua divisi yang juga sama menyeramkannya.
Tapi meski kesal begitu, bagi Hazel, Rei tetap saja yang paling menakutkan. Lagipula ada Hana juga… Jadi saat semua orang memandanginya, Hazel sama sekali tidak berpikir untuk membuka kedok para anggota Vip dan teriak 'Aku tidak ada hubungannya!' atau semacamnya.
"Tu-Tunggu, sebelum ke bagian itu, sepertinya Aku harus meluruskan ceritanya dulu." Kata Hazel kemudian.
Dan setelah menarik napas, dia pun melanjutkan. "Memang, anak itu awalnya datang karena punya masalah. Dia tidak bisa menggunakan sihir apapun, tapi anehnya matanya malah bisa melihat energi sihir sampai-sampai dia jadi kesulitan melihat yang lain."
"Kak Ruri datang. Tapi ramuan apapun yang dia berikan sama sekali tidak ada yang berhasil padanya. Apalagi memberikannya sihir tambahan!" Jelasnya. "Di laporan Aku tulisnya seperti itu kan?"
"Eh? Ah." Heka sempat bingung saat Hazel menunjuk hidungnya, tapi dia segera menyahut. "Ah, iya. Karena orangnya punya gangguan penglihatan, di laporannya, Ruri sempat memberikannya beberapa ramuan selama hampir seminggu. Tapi semuanya gagal." Katanya, dan dia pun mengirim laporan yang dia punya pada semua orang.
Dan selagi mereka sibuk membacanya, Hazel menyempatkan dirinya untuk menghela napas dulu. Fiuh…
Meskipun dia sama sekali ogah untuk membantu dalam pengobatan mata Arin itu, alasan kenapa dia selalu datang ke pondoknya bukanlah karena dia penasaran apalagi iseng. Tapi karena sebagai ketua, dia juga punya tugas untuk membuat laporannya. Malah, Heka sebenarnya selalu menanyakannya setiap hari.
Tapi saat menulisnya, Hazel langsung punya firasat jelek kalau nanti pasti akan ada yang menanyakannya—karena sejujurnya yang pantas dipertanyakan memang ada banyak!
Ditambah, Rei dan Ruri juga sudah memperingatkannya kalau dia harus 'menulisnya dengan baik'. Jadi mau tidak mau, Hazel pun harus menggunakan bakat paraphrase-nya yang tidak seberapa.
"Dan, sebenarnya saat dia sembuh, kak Ruri juga sedang tidak ada." Tambah Hazel lagi. "Maksudku, andai saja langsung sembuh, mana mungkin kak Ruri mau buang-buang ramuan lainnya hanya untuk anak kelas satu yang baru dia kenal?"
"..." Mendengar itu, semuanya pun langsung terdiam dengan ragu. Soalnya bukan cuma laporannya, penjelasan itu juga kedengaran 'legit'.
Meski tentu saja pertanyaannya masih belum terjawab semua. "Tapi kalau semuanya gagal, bagaimana penglihatannya bisa kembali normal bahkan sampai bisa menggunakan banyak sihir?" Tanya Loki.
'Tsk, dia cerewet sekali.' Gerutu Hazel dalam hati. Tiba-tiba merasa aneh kenapa Rei belum melemparnya keluar jendela sejak tadi.
"Aku juga sudah menulisnya. Kakak baca yang benar atau tidak?" Balas Hazel, mulai tidak peduli dengan sikapnya.
Bahkan meski setelah ini dia juga harus berbohong seperti Rei.
"Kemungkinan besar sejak awal dia memang sudah bisa menggunakan banyak sihir. Hanya saja semuanya baru muncul setelah penglihatannya sembuh." Jawab Hazel akhirnya.
"Bahkan di situ juga ada yang ditulis oleh kak Ruri sendiri. Kalau mungkin alasan penglihatannya bisa sembuh adalah karena sejak awal sihirnya yang lain menghambatnya atau semacamnya."
"..." Semua orang kembali berpikir untuk mempertimbangkan penjelasan itu. Tapi sebagai orang yang tahu kebenarannya, Hana agak kaget melihat Hazel bisa bicara sebanyak itu--bahkan sampai mengarang sepintar itu!
"Kau menyuruhnya untuk berkata begitu?" Bisiknya pada Rei. "Tidak, tunggu, lagipula sejak kapan kalian mengatur laporannya sampai serinci itu?? Bahkan sampai Ruri juga."
"...Tidak sepertimu, Aku punya hal yang lebih penting daripada mengkhawatirkan anak kelas satu yang aneh." Jawab Rei yang malah mencibirnya. "Dan Ruri, yah, lebih mudah diajak bicara daripada…" Tidak melanjutkannya, Rei hanya membuang wajahnya.
"Tapi tetap saja!" Hana sudah akan mengomel, tapi dia juga tidak berada di posisi yang bisa protes!
Di sisi lain, Loki sendiri sudah hampir kehabisan argumen setelah mendengar Hazel mengatakannya seperti itu. Sejak awal dia sudah tidak menyangka kalau ramuan Ruri sebenarnya gagal semua. Tapi kalau Hazel menjelaskannya serinci itu, dia jadi tidak bisa membantah banyak.
Jadi hal yang bisa dia tanyakan cuma tersisa satu. "Kalau begitu pemicunya apa?" Tanyanya lagi ke arah Hazel. "Kalau semua itu benar, tetap harus ada pemicunya kan? Tidak mungkin dia bisa sembuh sendirinya."
"...Tapi dia memang sembuh dengan sendirinya." Balas Hazel yang sudah kehabisan ide--karena memang cuma sejauh itu yang dia karang di laporannya. "Dan seperti yang kubilang tadi, waktu itu kak Ruri sedang tidak ada. Jadi yang pasti bukan karena ramuan apapun."
Semuanya sempat terdiam dan memandang Hazel dengan ragu. Tapi bukannya Loki, Ten yang ada di sebelahnya malah menceletuk duluan. "Hei, mana meyakinkan kalau kau mengatakannya seperti itu?"
"Tsk, persetan." Umpat Hazel sambil menendang kaki Ten. Meski setelahnya dia juga langsung putar-putar otaknya sendiri untuk mencari penjelasan lain.
Dan saat dia melirik ke arah Rei karena kesal, dia jadi terpikir sesuatu. "Mm, secara teknis dia memang sembuh sendiri. Tapi kalau ada pemicunya… Kurasa karena dia kaget saat melihat vudu kak Rei?" Katanya.
Semua orang spontan kembali riuh mendengarnya. Tapi sejujurnya perasaan Hazel juga agak tidak enak saat mengatakan itu. 'Kronologinya jadi agak kacau, tapi apa boleh buat!'
"Tunggu, itu justru malah semakin aneh." Balas Loki.
"Iya. Kenapa juga ada vudu Rei di pondokmu?" Tanya Layla juga.
"...Itu karena kak Hilda! Soalnya waktu itu dia membawakan makanan ke tempatku." Balas Hazel lagi.
Karena orangnya tidak ada, mereka memang tidak bisa meminta kepastiannya. Tapi bahkan tanpa bertanya, mereka juga sebenarnya sudah tahu kalau Rei pernah memberikan vudu penjaga khusus pada Hilda--mengingat dulunya dia sering diganggu Fiona.
"Terus, kenapa bisa aktif?" Tanya Vivy kemudian. "Apa kali ini Fiona juga muncul?"
"Yaa, itu…" Hazel bisa saja jawab iya. Tapi entah kenapa dia merasa kalau karangannya akan jadi terlalu merepotkan kalau sampai nama Fiona ikut-ikutan muncul, jadi…
"Soalnya anggota baru di tempatku ada yang pakai pin bintang… Yang itu…"
"Hah?" Mendengar penjelasan aneh itu, semua orang sudah siap-siap akan protes lagi.
BUK! Tapi tiba-tiba saja Aria memukul mejanya. "Ah, benar! Alisa yang itu kan?" Katanya. "Aku memang ingat dia pernah bilang kalau dia menyukai pinnya dan tidak mau melepasnya."
"...Yaa, itu kedengaran seperti dia." Sahut Hazel.
Dan keheningan pun menandai debatnya sudah berakhir.