"Uwah…"
Gedung yang sama besarnya dengan gedung utama sekolah itu, seperti yang pernah diceritakan Mary, ternyata memang benar-benar terlihat seperti sebuah mansion yang sangat… Waw!
Pertama, bentuk bangunannya sangat mencolok. Bahkan meski Alisa sudah melihatnya lewat foto, bangunan dengan bentuk prisma itu ternyata lebih mengagumkan saat dilihat dari dekat. Dengan ukuran lantainya selalu mengecil setiap dua lantai, gedung Osis itu hampir terlihat seperti setengah istana dan setengah kue ulang tahun.
Gaya bangunannya sendiri agak aneh. Sama sekali tidak modern--mungkin karena umur sekolah yang juga seabad? Tapi di saat yang sama, bangunan itu juga sama sekali jauh dari tua.
Dengan warna dinding yang secara umum berwarna coklat susu, peletakkan jendela kacanya juga melingkar dari ujung ke ujung. Makanya meski masih di luar, Alisa sudah bisa melihat lobi yang ada di dalam--di mana sudah ada orang-orang yang sibuk beraktifitas di sana.
Tapi dari semua hal yang terlihat mengagumkan itu, yang paling mengganggu mungkin hanya pagar halamannya. Soalnya bukan cuma dipasangi dengan pagar kayu yang dililit kawat, di depannya juga ada papan bertuliskan 'DILARANG MASUK' yang ditulis dengan tinta merah lengkap dengan emoji setan.
"Geh!" Celetuk Hazel yang tiba-tiba saja berdiri di depan Alisa dan menyembunyikan tubuhnya dari wajah gedung. "Aku baru ingat kalau gedung Osis agak ramai kalau hari rapat." Lanjutnya sendiri.
"Memangnya kenapa?" Tanya Alisa. "Kakak perlu menghindari seseorang?"
"...Kau!"
"Oh iya…" Balas Alisa yang juga baru ingat reputasinya belakangan ini. "Mm, sebenarnya Mary memberikanku kacamata hitam tadi. Apa kupakai saja?"
"Ide bodoh darimana itu?" Cibirnya langsung. Tidak bisa menyangkalnya, Alisa pun langsung cemberut sejenak.
Tapi saat keduanya sedang gusar dan berpikir sendiri seperti itu, sesuatu tiba-tiba saja mengagetkan Alisa.
Ada sebuah portal sihir yang muncul di sampingnya.
Dengan cahaya yang agak kemerahan, itu jelas bukan portal milik Rei atau siapapun yang pernah Alisa lihat. Makanya saat menyadari kalau dia berdiri terlalu dekat, kaki Alisa spontan mundur-mundur sampai akhirnya dia menabrak Hazel.
Tapi bukannya mengomel seperti biasa, Hazel malah menarik tangannya untuk kembali menyembunyikan Alisa di punggungnya. "Itu kak Ello. Jangan bicara sembarangan kalau…" Hazel berusaha memperingatkan, tapi orang yang disebut sudah keburu muncul duluan.
Ada seorang laki-laki di sana. Dengan rambut coklat terang yang tertata rapi, Alisa hampir merasa takut dengan matanya yang saru dengan warna portalnya--seakan ada sinar merah di sana.
Tapi tidak sesuai dengan ketakutannya, laki-laki itu ternyata ikutan memasang wajah kaget juga. "Oh, ada orang ya? Maaf, maaf. Aku pasti mengagetkan…" Katanya langsung, meski senyumnya juga langsung melebar begitu dia melihat wajah Hazel. "Oh, Hazel!"
"Sudah lama sekali Aku tidak melihatmu." Lanjutnya ramah. "Sebulan tidak ketemu, rasanya Aku benar-benar hampir lupa wajahmu. Harusnya kau lebih sering ke gedung Osis."
"...Ya, tidak seperti kakak sering ke sini juga." Balas Hazel.
"Haha. Tapi setidaknya Riina sering." Katanya sambil menunjuk gadis yang tadi juga keluar dari portal bersamanya.
Dengan rambut bob yang agak bergelombang, perempuan yang semampai itu tadinya memasang senyum yang sangat manis dan ceria. Tapi begitu matanya bertemu dengan mata Hazel, lekukan bibirnya sempat terlipat aneh.
Ello tertawa pelan melihatnya, tapi akhirnya dia kembali menoleh ke arah Hazel. Atau lebih tepatnya ke arah punggungnya. "Tapi omong-omong… Itu siapa yang di belakangmu?"
"..." Mendengar itu, Alisa tadinya sudah akan pasrah keluar. Tapi ternyata Hazel malah menahannya lagi. "Siapa?" Balasnya tidak tahu diri.
"Kau punya pacar baru?"
"Enak saja!" Balas Hazel kesal. Dan setelah mendesah berat, akhirnya dia pun membiarkan Alisa memperlihatkan batang hidungnya. "Dia Angelina."
Sama sekali tidak termakan bualan itu, Ello kembali mengulum senyum kecil. "Kau yang namanya Alisa ya?"
"I-Iya, halo, salam kenal." Kata Alisa belepotan, entah kenapa jadi merasa sangat gugup saat berusaha menatapnya balik. Mungkin karena dia tinggi? Iya, pasti karena itu.
"Alisa?" Ulang Riina yang mulai melebarkan matanya. "Ah, yang minggu lalu..."
Tapi sama sekali tidak menyahutnya, Ello terus saja memfokuskan perhatiannya pada Alisa. "Wah, kau terlihat lebih manis daripada yang ada di foto. Aku tidak percaya Fiona melukai perempuan manis sepertimu…" Keluhnya kemudian seakan dia tulus menyesalinya. "Kau sudah tidak apa-apa kan?"
Merasa agak tidak enak mendengarnya, Alisa hanya mengangguk-angguk dan kembali menempel ke samping Hazel.
"Ah, maaf, apa Aku menakutimu? Maaf ya." Kata Ello yang agak panik saat melihat reaksi Alisa. Tapi karena anaknya tetap diam, Ello pun berbisik pada Riina. "Apa wajahku agak menyeramkan hari ini? Kantong mataku masih kelihatan ya?"
"Sedikit." Balas Riina seadanya.
Tidak yakin bagaimana harus bicara pada anak kucing yang malu begitu, Ello pun memilih untuk kembali memandang ke arah Hazel saja. "Haha… Padahal Aku baca artikelnya berkali-kali, tapi Aku hampir lupa kalau dia anggota di divisimu."
"Yaa, Aku juga kadang lupa." Balas Hazel asal.
Ello hampir ingin tertawa lagi. Tapi kemudian dia terpikir sesuatu. "Ah! Kalau kau juga berencana menunggu sampai Hazel selesai rapat, bagaimana kalau kau bersama Riina saja--"
"Tidak usah." Potong Hazel yang langsung menarik tangan Alisa lagi. "Dia perlu mengerjakan sesuatu, jadi lain kali saja. Kalau begitu Aku duluan." Katanya sambil kabur.
"Ah, oke. Kalau begitu sampai ketemu di rapat!" Kata Ello buru-buru. Tapi sayangnya Hazel dan Alisa terus saja berjalan memasuki gedung.
"Wah, tapi anak kelas satu itu benar-benar manis sekali." Celetuk Ello kemudian. "Kenapa dia selalu dapat anggota yang seperti itu? Bikin iri saja."
"Hm?" Sedikit mengerutkan alisnya, Riina pun menoleh. "Apa kakak baru saja menyamakanku dengan anak itu?"
"Kenapa? Artinya kau juga manis." Godanya balik.
Dengan tawa kecil, Riina hanya mendengus. "Ya, ya, tentu saja."