"Siapa nama kamu?" Tanya Marco tanpa melihat Icha. Ia sibuk dengan laptopnya.
"Icha... " Jawab Icha singkat.
Marco menatap Icha. Yang ditatap masih asyik menatap lantai.
"Icha?" Ulang Marco sambil mengerutkan keningnya. Ia menatap Icha tanpa senyum. Icha terdiam. Jantungnya terasa mau lompat dari tempatnya. Marco bangun dari duduknya dan berjalan ke arah Icha. Tangannya dimasukkan dalam saku.
Baju biru muda dibuka 2 kancing atas, dilipat 2 sisi tangannya sampai mendekati sikutnya. Icha menutup mata. Napasnya sedikit tertahan.
"Saya lagi bicara sama kamu. Kenapa kamu menatap lantai? Apa lantai itu lebih menarik dari saya?" Tanya Marco tepat di hadapan Icha. Bahkan napas segarnya bisa tercium oleh Icha.
Aduh, apa ini? Aku harus apa, Tuhan? Tolong, aku!
Icha menatap Marco setelah mengumpulkan keberaniannya
"Maaf, pak. Eeh, ini tugas-tugas kami, pak. Maaf, saya meletakkan di meja." Icha berusaha tenang dan hendak beranjak ke meja Marco untuk meletakkan buku-buku di tangannya. Marco menahan lengan Icha.
"Lihat saya!" Perintah Marco tenang. Icha menarik napas pelan dan mengangkat kepalanya. Tingginya hanya sampai dada Marco. Ia menatap wajah dingin nan tampan itu dengan diam. Ia yakin wajahnya sudah pucat seputih kapas.
"Kenapa harus menatap lantai?"Tanya Marco masih dengan tatapan yang sama.
"Nggak papa, pak... " Jawab Icha pelan. Hampir tidak terdengar. Marco bisa membaca gerakan bibir Icha.
Marco memandang bibir Icha. Cantik. Gumam Marco dalam hati. Dalam sepersekian detik mereka saling menatap. Bahkan wajah mereka sangat dekat sekali.
Terdengar suara pintu ruangan Marco diketuk dari luar. Icha tersadar. Ia segera melangkah ke meja Marco dan meletakkan buku-buku tugas kelasnya. Tanpa melihat Marco, Icha pamit. Ia menarik napas lega.
"Permisi, pak." Ucap Icha sedikit menunduk dan langsung berbalik badan. Icha membuka pintu dan bertemu dengan Ibu Tari. Guru genit yang dengar-dengarnya selalu menebar pesona pada Marco.
"Permisi, bu." ucap Icha ketika Ibu Tari menatapnya heran. Guru genit itu bergeser sedikit memberi jalan bagi Icha.
Setelah Icha menjauh, Ibu Tari masuk ke dalam ruangan Marco dan menutup pintu.
"Siang, Pak Marco. Ini sudah jam pulang, kenapa bapak belum pulang?" Tanya Ibu Tari dengan nada yang dibuat-buat. Marco menarik napas panjang. Ia merasa itu pertanyaan yang tidak penting, kenapa harus ditanyakan? Bisakah ia bertanya sesuatu yang lebih penting lagi? Buang-buang waktu saja.
"Katakan ada apa?" Marco balik bertanya dengan nada datar dan terkesan sangat dingin. Ia pun malas menatap guru centil ini.
"hmmm... saya hanya mau mengajak bapak makan siang. Saya... "
"Saya tidak lapar. Saya harus ke kantor sekarang. Ada hal penting yang harus saya kerjakan. Kalau tidak ada yang penting, silahkan keluar!" Semakin dingin suara itu membuat Ibu Tari sedikit bergidik ngeri. Maksud ingin mendapat perhatian dari guru tampan ini, malah ia dibuat merinding olehnya. Ibu Tari segera keluar dari dalam ruangan itu tanpa pamit. Wajahnya tampak kesal dan marah.
Marco tidak peduli. Marco mengambil buku-buku yang dibawa Icha tadi. Ia mulai memeriksa satu persatu. Tapi, ingatannya kembali pada siswa manis tadi.
"Icha... " ucap Marco pelan sambil membayangkan bibir pink tipis tadi. Bibir itu sangat menggoda. Ucapnya dalam hati.
Bibirnya sedikit melengkung samar. Ia segera menggelengkan kepalanya agar melupakan wajah itu. Ingat, ia sudah punya Valencia! Ia sangat mencintai model cantik itu.
Sedangkan Icha... jangan ditanya lagi apa yang terjadi dengan dirinya. Semakin galau. Rasa itu malah semakin dalam. Ia terdiam tanpa suara sampai ke rumahnya. Wulan heran dengan sahabatnya itu. Tapi, Wulan diam dan menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.