Semenjak peristiwa dalam ruangan Marco, Icha semakin menutup diri pada laki-laki itu. Ia akan selalu menghindar ketika bertemu Marco. Kecuali kalau sedang dalam kelas. Tidak mungkin ia menghindar. Sebisa mungkin ia bersikap tenang dan santai. Walaupun ia masih belum berani menatap Marco.
Wulan tidak pernah menaruh curiga pada Icha. Karena selama mereka bersahabat hampir tiga tahun ini, Icha memang selalu menghindar dari laki-laki yang menyukainya. Ia masih ingin sendiri dan fokus pada sekolahnya. Itu yang selalu ia katakan. Makanya Wulan tidak heran jikalau Icha sedikit cuek pada Marco, sedangkan semua siswi di sekolah itu selalu ribut bercerita tentang Marco.
Marco pun mengajar seperti biasa. Ia seakan-akan lupa apa yang terjadi pada Icha. Ia masih tetap menatap Icha dengan datar. Tanpa ekspresi. Tatapan itu yang kadang membuat Icha sakit di hatinya. Tatapan tanpa rasa. Itu kata Icha. Sedangkan Icha selalu menatapnya dengan rasa.
Dua minggu lagi Icha akan mengikuti ujian nasional. Ia harus benar-benar fokus belajar menghadapi UN ini. Apalagi mengingat cita-citanya yang ingin kuliah di Jakarta. Ya, Icha ingin sekali menjadi seorang sekretaris profesional.
Mengerjakan segala administrasi kantor, itu hobinya.
Icha dan Wulan sedang menikmati es krim di kantin sekolahnya. Dua minggu masa penantian UN, siswa dibebaskan dari semua pelajaran dan belajar mandiri. Jika tidak menyiapkan diri dengan baik, ya resiko. Icha menikmati
es krim dengan buku di tangannya. Icha tidak pernah menyia- nyiakan waktunya. Di mana pun ia berada, buku akan ada selalu di tangannya.
"Cha... Udah beberapa hari ini Pak Marco nggak kelihatan ya. Kemana ya?" Tanya Wulan penasaran. Icha melihat Wulan.
"Nggak tau... kok nanya aku." Jawab Icha santai sambil menjilat es krimnya. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada buku bacaan. Wulan hanya mengangkat kedua bahunya tanpa membalas Icha.
"Aku jadi nggak semangat belajar ni... Si tampan udah nggak ngajar kita lagi sih." Tiba-tiba terdengar suara di samping meja Icha dan Wulan. Beberapa siswi sedang asyik menikmati bakso sambil bercerita tentang Marco.
"Emang dia kemana sih? Kan kalau guru-guru lain biar pun nggak ngajar tapi tetap di sekolah. Beliau kayaknya nggak deh. Kapan ada jadwal aja baru muncul." Timpal siswi yang lain.
Icha dan Wulan masih menguping saja.
"Iiih kalian... masa nggak tau sih. Beliau itukan anak dari pemilik yayasan sekolah ini. Ya wajar ajalah ngajar sesuka hati." Icha kaget dan melototkan matanya pada Wulan. wulan pun ikut kaget.
"Oh iya? kata siapa?" Tanya siswa yang lain.
"Kata Ibu Tari lah. Kalian kalau mau tahu tentang Pak Marco, tanya aja ibu Tari. Si Miss Google itu apa sih yang dia nggak tahu... Apalagi soal guru tampan itu." Timpal siswi lain yang membuat mereka tertawa lucu. Wulan juga ikutan tersenyum lucu.
"Kayaknya beliau juga nggak ngajar lagi setelah ini. Nggak tau napa."
Mereka masih asyik bercerita tentang Marco.
Icha terdiam. Pikirannya mulai kacau. Nggak ngajar lagi? Berarti nggak akan ketemu dia lagi? Ucap Icha dalam hati. Sedikit sesak rasa hatinya. Tapi ia pun harus tahu diri.
Bukankah lebih baik mereka tidak bertemu? Dengan begitu ia segera bisa melupakan rasa itu. Rasa yang juga memang tidak tahu aturan datangnya.
"Ke kelas, yuk." Ajak Wulan lemah. Icha hanya mengangguk dan segera pergi dari situ.
"Pak Marco kayanya hanya mau bikin heboh deh di sini... bayangin aja ngajar hanya tiga bulan, itu pun kalau ada jadwal. Kalau nggak dia nggak datang."
Ujar Wulan sewot sembari berjalan ke kelas.
"Ya udah... mau gimana lagi? Tadi kamu dengar sendiri kan apa kata mereka. Anggap aja dia yang punya sekolah ini, ya bebaslah mau ngapain aja." Icha berusaha menjelaskan walaupun hatinya juga sedikit resah karena menghilangnya sang pujaan hati.
Ah, lagi-lagi sang pujaan hati. Kenapa harus ada rasa ini sih? Sangat tidak nyaman. Setelah rasa ini ada, dia pun menghilang. Adilkah ini, Tuhan?
Icha menarik napas panjang.