Pagi hari dengan sinar sang penguasa siang mulai memasuki setiap balai dari peraduan. Menghangatkan dikala dinginnya pagi sudah menguasai awak sedari subuh tadi. Kini jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit membuat dingin semakin lenyap ditelan sang surya.
Awal hari yang begitu menyegarkan untuk memulai sebuah rutinitas. Senin. Benar, ini merupakan hari dimana beberapa orang berpikir akan menjalani hari yang begitu membosankan karena persepsi yang sudah terpatri pada penantian menuju hari bebas.
Namun, berbeda dengan gadis cantik yang memiliki nama Aliesha Casia Bellanca itu. Ini merupakan hari pertamanya menuju jenjang perkuliahan di semester awal. Walaupun jurusan yang ia tempuh bukanlah kehendaknya, akan tetapi sudah memasuki dunia perkuliahan saja sudah menyenangkan baginya. Ketika tidak terkekang seragam, hanya membawa satu buah notebook sebagai catatan, ditambah memiliki sepeda motor pribadi yang bisa ia gunakan untuk bersenang-senang keluar kemanapun ia inginkan.
Mungkin orang-orang akan mengomentari….
"Kau tidak memiliki pendirian. Dunia perkuliahan tidak semudah itu untuk dijalani dan kau akan menyesalinya kelak"
Benar. Mungkin penyesalan itu akan datang nantinya, namun gadis muda dengan karakter aktif nan ceria itu tak ingin ambil pusing dengan pemikiran para dewasa yang sudah melalui berbagai pengalaman kelam. Memang apa salahnya? Di dunia ini bukan dirinya seorang yang hanya mengikuti takdir. Cukup jalani saja, takdir kedepannya siapa yang tahu? Salah jurusan bukan berarti tidak akan sukses bukan? Jadi mengapa harus repot-repot? Setidaknya ia lolos untuk masuk perguruan tinggi favorite. Mengalahkan beberapa orang yang tidak lolos rasanya sungguh membanggakan, walau mungkin ketika tes ia hanya asal menjawab.
"Ayah. Ibu. Aku akan berangkat sekarang" teriak Alies dari ruang tamu. Terburu-buru karena mata kuliah pertamanya akan dimulai 30 menit lagi. Tampak begitu rusuh ketika mencoba mengaitkan tali tote bag pada pundak kecilnya, lalu beralih pada tali sepatu yang belum tersimpul rapi setelah berhasil memastikan pundaknya menahan tote bag agar tak terjatuh.
Begitupula dengan kedua orang tua nya yang tak kalah sibuk. Seorang wanita paruh baya sedang menyiapkan putra kecilnya seragam sekolah yang baru menempuh sekolah dasar tahun ke tiga. Sedangkan ayahnya, berlarian kecil menyusuli Alies yang hendak menaiki sebuah motor baru untuk berangkat.
"Biar ayah antar" tawar sang ayah tergesa-gesa menggunakan sandal. Namun, sebelum benar-benar terpasang, Alies lebih dulu menyela, membuat pria paruh baya itu merelakan sebelah kakinya tak beralas menginjak lantai yang dingin.
"Tidak perlu. Aku akan berangkat sendiri" tolak gadis dengan rambut sebahu kecokelatan yang berlapis helm cokelat tua, warna yang hampir terlihat menyatu dengan helaian rambut berkilau miliknya.
"Memangnya kau tahu arah menuju kampus?" tanya Pak John ragu. Khawatir jika putrinya akan salah jalan dan berakhir tersesat. Karena jujur saja, sedari sekolah dasar hingga sekolah menengah, pak John sangat jarang memberikan izin pada putrinya untuk berpergian, jadi Alies hanya melalui harinya di sekolah atau hanya meringkuk di dalam kamar menonton beberapa drama favorite. Pun jika sekolah, dirinya selalu rutin mengantar Alies menuju sekolah.
"Tentu saja" ucapnya sembari menoleh ke arah sang ayah, memberikan tatapan percaya diri. "Aku berangkat dulu" setelah memamerkan senyum manis, tangannya perlahan menarik gas dan mulai meninggalkan rumah beserta ayah yang mengantar kepergian putrinya dengan tatapan terlewat khawatir.
Sebenarnya, pak John sudah mengajak Alies mengunjungi universitas untuk melihat-lihat keadaan. Pun sepanjang jalan ia terus mengingatkan putrinya untuk mengingat setiap jalur yang dilalui. Bukan hanya satu, setiap jalur yang bisa dilalui untuk menembus universitas sudah ia tunjukkan. Walaupun begitu, ia tetap saja khawatir, jika saja putrinya tak mampu mengingat itu semua. Di tengah lamunnya yang masih menatap luar pagar rumah sejak kepergian Aliech, sang ibu menghampiri dengan menggandeng pergelangan mungil Dino di tangan kirinya.
"Aliech sudah berangkat?" tanya wanita berwajah tegas namun penuh pengertian itu. Menatap ke arah sang suami dan luar gerbang secara bergantian.
"Sudah"
"Kalau begitu tolong antar Dino ke sekolah ya"
"Baiklah"
***
"Hahh sepertinya aku sudah melewati jalan ini tadi" usai berangkat dari rumah 10 menit yang lalu, kini entah bagaimana gadis itu hanya berputar mengitari jalan yang sama. Padahal dirinya sangat yakin bahwa sudah melewati jalan yang benar. Namun, mengapa tak kunjung sampai juga? Pikirnya.
Ia mulai merasa kesal, ditambah waktu terus berjalan. Jika terus-terusan saja seperti ini, ia akan telat masuk kelas dihari pertamanya. Alies mungkin tidak terlalu perduli jika nilai atau point nya dikurangi seperti system di sekolah menengah dulu. Namun, jika mendapat omelan dari dosen di depan teman kelas, bukankah citranya akan hancur? Ia sangat membenci jika first impression yang ia dapat kacau begitu saja. Tak bisa dibayangkan jika itu terjadi, tentu sikap acuh tak acuhnya akan membuat semua orang menjauh. Maka dari itu ia ingin mencoba menjadi seseorang yang ramah dan elegan di segala situasi. Hitung-hitung membangun kepribadian baru di lingkungan baru pula.
Kali ini ia melewati jalan yang seketika membuat kebingungannya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Jalan yang memiliki dua belokan saja ia lewati dengan beberapa kali percobaan, menelusuri satu persatu melalui prasangka atas lintasan memori pudar. Kali ini malah dihadapi dengan jalan lingkar yang memiliki beberapa lorong untuk dilalui. Demi matahari yang mulai membakar permukaan kulit halusnya, ini merupakan hal tergila yang pernah ia lalui dalam sejarah hidup. Entah Tuhan yang tidak membiarkan rencananya berjalan lancar, atau otaknya yang terlalu bodoh untuk mengingat arah jalan.
Dengan menyisakan sedikit percaya terhadap diri, ia mencoba untuk menuruti kata hati untuk melalui satu putaran. Kali saja mengingat jalur mana yang harus ditempuh. Sepanjang perjalanan, matanya tak henti untuk menerawang setiap jalur, begitupula dengan otaknya yang terus memutar memori dengan keras. Terlalu fokus ternyata membuat kekacauan lain tanpa ia sadari. Motor yang ia kendarai terlalu pelan dan tak beraturan hingga membuat pengguna jalan lain terganggu. Zigzag? Mungkin lebih parah dari itu.
Suara klakson kini sudah memenuhi jalan, pun Alies tanpa rasa bersalah terus berkendara semaunya. Tidak memperdulikan keributan di belakang dan tatapan sinis yang ditunjukkan, karena sebenarnya ia tidak sadar bahwa dirinya lah yang mendapat teguran, alih-alih orang lain. Hingga dimana ia tiba-tiba menghentikan tarikan gas motor di pertengahan jalan lingkar. Pengguna jalan semakin dibuat geram, karena ini merupakan pagi di hari kerja, semua orang tergupuh menuju tujuan masing-masing.
"Hei kau gila? Kenapa berkendara seperti itu?" teriak pengguna motor yang menarik rem mendadak karena hampir menabrak bagian belakang motor milik Alies. Sedangkan gadis itu terkejut karena tiba-tiba mendengar teriakan tepat di sampingnya.
"Kau yang gila. Memangnya kenapa jika aku berkendara seperti ini? Apa jalan ini milik ibumu? Hahh dasar" teriaknya balik. Tak terima karena terkejut membuat konsentrasinya buyar begitu saja. Padahal sebelum itu otaknya hampir saja mengingat jalan yang pernah di tempuh bersama sang ayah. Lalu ia mengangkat pergelangan tangan guna menatap jam yang melingkar indah disana. Jam sudah menunjukkan bahwa dirinya telat 5 menit dari jadwal. Kecamuk dalam dirinya semakin menjadi, bagaimanapun caranya ia harus cepat sampai di kampus. Persetan dengan first impression yang diimpikan, lebih tidak mungkin jika ia absen di hari pertama. Kesan dari teman sekelas akan lebih buruk nantinya.
Kemudian dengan cepat menarik kembali gas motor yang dikendarainya usai meyakinkan diri akan pilihan jalur yang harus dilewati. Namun, alih-alih melewati setengah putaran lagi menuju jalur di belakang, gadis itu malah berbelok di tempat - melawan arus. Detik itu pula, sumpah serapah dari para pengendara yang melewatinya sudah tidak terkendali. Teriakan dan klakson berbagai kendaraan sudah memenuhi antero jalan lingkar. Acuh tak acuh, tidak ada setitik perasaan bersalah pun muncul pada benak gadis kecil itu. Terus melanjutkan perjalanan menurut keyakinannya sendiri.
Sedangkan itu, mobil kepolisian yang sedang berpatroli berhenti dipinggir jalan usai mendengar keributan. Terlihat polisi paruh baya duduk pada kursi pengemudi. Menurunkan kaca jendela mobil guna memantau keadaan di luar.
"Ada apa?" tanya seorang polisi yang berada di sampingnya.
"Sepertinya ada keributan di luar" jawab paruh baya tersebut sebelum menoleh ke arah rekan patroli di samping."Aku akan turun melihat" usai mendapat anggukan, kemudian ia bergegas keluar dari mobil. Mencoba mencari sumber kekacauan, karena jalanan tampak macet sekarang.
"Ada apa lagi ini" gerutu polisi tersebut sembari meneruskan pantauannya pada jalan raya. Hingga tiba-tiba, kedua obsidian itu menangkap seorang gadis kecil pengendara motor Yamaha Fino Sporty varian Creamy Grey sedang melawan arus di tengah keramaian. Ia menganga tak percaya dengan kedua mata yang membulat penuh. Benar-benar gila. Baru pertamakali sejak ia menjajakan diri sebagai pihak kepolisian, melihat orang yang begitu berani melakukan ini.
"Hah" hembusan nafas kelewat tak percaya. "Entah dari gua mana gadis ini berasal" dengan penuh hati-hati, polisi tersebut menerobos masuk melalui celah motor yang memenuhi jalan. Mendekati Alies yang memasang tampang tanpa dosa, sibuk memamerkan kata permisi di tengah pengendara motor dan mobil yang mengarah padanya.
"Hei gadis kecil. Apa yang kau lakukan?" tanya polisi itu dengan berkacak pinggang heran.
"Eh ada pak polisi. Pak, bisakah anda membantu ku? Singkirkan mereka sebentar, aku harus ke kampus sekarang. Aku benar-benar sudah telat masuk kelas" ucapnya sembari memamerkan senyuman canggung. Memohon agar polisi tersebut memberinya jalan barang sejenak. Berbeda dengan polisi itu, tak ada sedikit pun senyum yang terlampir di wajahnya. Terlanjur kesal dengan ucapan polos gadis di depannya kini.
"Bawa motormu ini ke pinggir sekarang" perintah polisi tersebut.
"Tidak pak" tolaknya cepat. "Bukan ke pinggir jalan. Tapi aku ingin menuju kampus" jelas Alies. Menyangka jika polisi sudah salah tangkap akan perkataannya.
Aku ingin ke kampus. Bukan menongkrong di pinggir jalan-singkatnya seperti itulah yang ada di benak Alies ketika polisi tersebut menyuruhnya menuju pinggir jalan raya.
"Saya tahu. Tapi menyingkir dulu dari tengah jalan" tegas sang polisi.
"Aku sudah bilang bapak polisi. Aku harus ke kampus sekarang"
"Ck. Anak ini benar-benar.."
Di tengah perdebatan yang dilakukan kedua ekstensi tersebut, seorang pria tinggi dengan badan kekar ideal terbalut seragam kepolisian begitu rapi berjalan mendekat. Bak terkena hipnotis, semua orang yang berada disana tiba-tiba sibuk mengambil kesempatan melirik penuh semangat. Klakson yang sedari tadi memenuhi jalan kini tergantikan dengan sebuah pujian akan ketampanan sang polisi muda.
"Ada apa?" tanya polisi tersebut setelah mendekat pada rekannya yang sedari tadi bersama seorang gadis pengendara motor di depannya.
"Inspektur Felix. Gadis ini melawan arus jalur lingkar hingga menimbulkan kemacetan. Tapi tidak mau disuruh menyingkir" jelas pak Thery yang sudah tampak kewalahan mengurusi Aliech.
Penjelasan yang sangat mudah dimengerti. Tanpa menanggapi lebih jauh lagi, kepalanya menoleh ke arah Aliech yang tengah sibuk memantau pengendara dari arah berlawanan, tidak perduli dengan dua anggota kepolisian yang sedang berdiri menghakimi. Perlahan pria yang disebut Inspektur itu pun menjajakan kedua kakinya mendekat ke arah Alies. Melampirkan wajah datar bersamaan tenggeran kedua pergelangan tangan pada masing-masing saku celana.
"Silahkan menepi" ucap singkat Inspektur Felix usai menghentikan langkahannya tepat di samping Alies.
Alies yang sejak awal tak perduli, seketika menoleh, mendongak menuju arah suara yang tiba-tiba merambat dingin ke seluruh tubuh. Bahkan bulu halus tekuk nya mewakili bagaimana dayuan itu manyeruak tak karuan, seolah-olah dingin menjalari unsur epidermis. Menyipitkan kedua pasang mata, menelisik setiap inti wajah yang terhalang sinar sang surya.
Menyadari gadis kecil pembuat onar kesulitan membuka mata karena terik matahari, kaki nya mengambil satu langkah menuju samping. Menghalangi sinar yang memancar langsung pada obsidian cokelat terang dihadapannya.
"Tolong singkirkan motormu sekarang" lanjut Inspektur Felix yang masih membujuk kelewat tenang, walau sebenarnya sedari tadi ingin sekali menggendong gadis kecil ini bersama motornya menuju sisi jalan.
"Tidak bisa" Alies menggeleng cepat. Semakin mengeratkan genggaman pada starter motor miliknya.
Inskpetur menghela nafas kasar. Gadis dihadapannya kini benar-benar keras kepala, tak memberinya pilihan lain selain membuatnya menurut tanpa banyak tingkah. Kemudian dengan tenang mengambil satu langkah lebih dekat lagi, menyisipkan kedua tangan lebarnya pada sisi pinggang gadis itu tanpa aba. Lalu betapa mudahnya pria itu menggunakan kekuatan otot mengangkat tubuh kecil Alies dan meletakkannya pada jok bagian belakang.
Sedangkan gadis dengan tubuh terbalut ripped jeans berpadu T-Shirt putih polos itu membulatkan kedua mata penuh kejut. Terdiam kaku dikala tubuhnya terangkat tanpa beban menuju jok belakang motor cantik miliknya, mati-matian mencerna peristiwa di luar kapasitas otak. Bagaimana tidak? Pandangan dan fokusnya sedari tadi hanya ia tumpahkan pada lalu lalang jalan, lalu tiba-tiba dirinya terasa melayang layaknya gendongan ayah ketika usianya baru menginjak 3 tahunan. Andai ia berada di masa itu, betapa akan menyenangkannya, bahkan tak ingin dilepas barang sejenak.. Namun sekarang? Bukankan kejadian seperti ini dianggap pelecehan? Pihak kepolisian menyentuh tubuh seorang gadis yang masih virgin. Haruskah Alice melaporkannya pada pihak berwajib?
"HEI. APA YANG KAU LAKUKAN?" teriak Alice usai sadar dari lamunan kejut. Masih menganga tak percaya dan memasang wajah penuh intimidasi.
Walau dengan berbagai omelan dan teriakan yang begitu nyaring dari gadis kecil di hadapannya, Inspektur Felix masih memasang wajah dingin kelewat tenang. Walau mungkin ini pertama kalinya ia bertemu dengan pengendara muda yang tak kenal takut, bukan berarti dirinya harus kehilangan kendali sampai harus memberikan ekspresi berlebihan seperti rekan di samping yang sudah menganga lebar menyaksikan peristiwa tak terduga.
Sudah lama ia tak melihat sang Inspektur menyentuh seorang gadis, sejak kekasih di masa lalu yang terlewat menyakiti perasaannya. Namun, dengan situasi mereka yang sedang menjalankan tugas, entah dia harus bahagia atau khawatir.
"Jika tidak bisa diajak bekerjasama, haruskah aku bersikap lembut?" timpal Inspektur dengan tatapan yang begitu tajam. Seakan-akan memberikan pilihan 'diam atau akan ku lempar kau lebih jauh menuju sudut dunia'