Chereads / Halloween House / Chapter 2 - The House In The Woods

Chapter 2 - The House In The Woods

Bulan mengintip malu-malu di balik gumpalan awan hitam. Bintang bahkan tidak terlihat karena kumpulan awan hitam sibuk lalu lalang. Angin bertiup cukup kencang, menerbangkan daun kering yang telah gugur dari dahannya. Suara serangga dan burung hantu tidak lagi terdengar. Mungkin mereka memilih bersembunyi di dalam sarangnya. Karena malam ini tidak terasa seperti malam biasanya.

Udaranya dingin dan angin bertiup cukup kencang. Bahkan para gagak juga memilih tinggal dalam sarangnya. Musim gugur baru memasuki minggu ke dua, dan suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Aroma tanah samar-samar mulai tercium bersama hembusan angin. Sepertinya hujan akan tiba sebentar lagi, mungkin itulah alasan para binatang bersembunyi. Bahkan para manusia yang ada di kota juga mulai kembali ke rumah masing-masing. Termasuk mereka yang menghuni malam, para penjaga hutan yang tadinya berpatroli satu demi satu kembali.

Ah, perlu di ingat bahwa penjaga hutan yang di maksud bukanlah polisi hutan atau manusia yang kebetulan memantau keadaan hutan. Bukan, mereka yang di maksud penjaga hutan adalah makhluk yang sering di sebut manusia sebagai monster. Merekalah penjaga hutan yang sebenarnya. Para penghuni hutan, sekaligus penguasa malam.

Satu per satu dari mereka mulai undur diri dari pos penjagaan masing-masing. Kembali menuju sebuah rumah mewah bergaya zaman Victoria. Rumah misterius di tengah hutan, letaknya cukup dalam dan penuh dengan jalanan terjal. Sehingga agak mustahil bagi manusia biasa untuk menemukan rumah ini.

Tapi bagi mereka yang memang penghuni asli rumah ini, kembali ke sana bukanlah hal sulit. Rumah itu terlihat menyeramkan dari luar, namun di dalam cukup nyaman dan hangat. Bahkan salah satu penghuninya tengah tertidur di atas sofa di dekat perapian. Satu lagi sedang membaca buku di sofa sebelah yang tertidur, dan satu lagi tengah mengorek isi perapian dengan batang besi. Dan yang satu lagi sedang mengurung diri dalam ruang kerjanya di lantai tiga. Suasana terbilang tenang, terlalu tenang bisa di bilang. Sampai gadis kecil yang tengah mengorek perapian buka suara.

"Yang lain belum pulang?"

Pertanyaan tersebut menarik atensi pemuda berambut hitam yang tengah membaca buku. Mata peraknya menatap sosok kecil di depan perapian, sebelum akhirnya berpindah menatap jam dinding. Pukul sebelas lewat dua puluh menit, empat puluh menit sebelum tengah malam. Jika jadwal patroli berjalan seperti biasa, harusnya mereka kembali sekitar jam dua dini hari. Tetapi mengingat kejadian satu jam lalu, seharusnya mereka semua sudah kembali.

"Mungkin masih dalam perjalanan." pemuda itu berujar dengan tenang. Berusaha menghilangkan kekhawatiran si gadis kecil.

Harus dia akui, bahwa dirinya pun merasa sedikit khawatir. Tetapi begitu ingat siapa yang belum kembali, rasa khawatir itu menghilang. Hanya orang tidak waras saja yang berani mencari masalah dengan mereka. Gadis kecil tersebut kembali mengorek perapian.

Ruang tengah kembali sunyi, di antara keduanya tidak ada lagi yang buka suara. Sehingga keduanya memilih kembali ke aktivitas sebelumnya. Hanya suara kayu di makan oleh api yang terdengar. Tidak ada yang bicara lagi, sampai suara gagak dan pintu yang terbuka menarik atensi keduanya. Tiga orang wanita berjubah hitam terlihat memasuki rumah. Mereka adalah grup patroli kedua yang harusnya masih berpatroli hingga dini hari. Tetapi kembali karena perintah dari pemilik rumah.

Wanita pertama yang berambut hitam melepas tudung jubahnya. Membersihkan debu yang menempel pada jubahnya dan melepas sepatunya. Dua lagi yang datang bersama masih enggan melepas sepatu. Yang berambut pirang memasang wajah datar, dan satu lagi berambut merah bermuka masam.

"Pinggangku sakit." keluh wanita berambut merah sambil melempar sepatu boot nya.

"Pinggangmu keropos lagi?" tanya yang berambut pirang.

"Kau kira aku nenek-nenek?"

"Aku tidak bilang begitu."

Kedua wanita itu terlibat adu mulut yang cukup sengit, meski tidak bisa di bilang adu mulut. Karena hanya si rambut merah yang sejak tadi mengomel. Suara keributan tersebut memancing sosok yang sejak tadi mengurung diri di ruang kerjanya turun. Pria berambut putih dengan mata mint itu akhirnya turun.

"Kalian baru kembali sudah ribut. Tidak bisa lepas sepatu dulu kemudian cuci tangan dan kaki?" dari arah tangga menuju lantai dua. Sosok pria berambut putih dengan mata biru pucat turun.

Suara gagak dan pintu yang terbanting membuatnya turun dari ruang kerja, dan sudah di sambut oleh dua orang rekannya yang sedang berdebat di depan pintu masuk. Sosoknya yang tinggi menghampiri ketiga wanita di depan pintu.

"Vesta yang mulai!" yang berambut merah menyahut.

"Aku tidak melakukan apapun." Vestael—wanita berambut pirang yang terlibat adu argumen dengan si rambut merah memasang wajah datar.

"Kau yang memancing!"

"Sudah, jangan ribut lagi. Vya, sana cuci kaki dan tanganmu. Vesta, kau boleh kembali ke ruanganmu." wanita berambut hitam yang sejak tadi diam akhirnya ikut bersuara.

Dua wanita itu tanpa di suruh dua kali bubar teratur. Vestael pergi ke kamarnya, dan Vya—wanita berambut merah, pergi ke kamar mandi di lantai dua. Wanita berambut hitam itu menghela nafas, sedangkan dua orang yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan memasang wajah datar.

"Kau juga istirahatlah, Anne."

"Terima kasih, Calden."

Anne, wanita berambut hitam yang sepertinya lelah dengan kelakuan dua rekannya tersenyum. Ia mengangguk dengan anggun sebelum akhirnya naik ke lantai dua.

"Mereka berisik." gadis kecil yang sejak tadi mengorek perapian berkomentar.

Calden tertawa, pria dengan surai seputih salju itu beranjak menghampiri tiga orang di ruang tengah. Matanya kemudian jatuh pada sosok gadis mungil yang tengah tertidur. Dia tertidur begitu pulas, bahkan suara cempreng Vya tidak dapat membangunkannya.

"Kau tidak tidur, Mia?" Calden bertanya

"Aku malas, nanti saja kalau matahari sudah muncul." Mia menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari perapian.

"Dan kau. Kenapa tidak tidur, Zen?" kali ini pertanyaan itu di tujukan pada pemuda berambut hitam yang asik membaca buku.

"Sedang tidak ingin." Zen menjawab dengan santai. Mata peraknya kembali terfokus pada buku di tangannya.

Calden tersenyum, mengambil tempat di sebelah Zen sambil memperhatikan stau lagi yang masih betah mendengkur. Gadis kecil itu sudah tertidur sejak sore hari dan belum menunjukkan tanda tanda akan bangun.

"Kau sendiri kenapa tidak istirahat?" kali ini Zen yang bertanya.

"Masih banyak yang harus ku urus. Aku tidak sebebas kalian." Calden tertawa.

Zen paham, karena belakangan ini memang agak aneh. Hutan jadi lebih sunyi, bahkan burung hantu dan serangga enggan bersuara. Para gagak yang biasa bertengger di pohon kering sekitar rumah, kini pergi meninggalkan sarangnya perlahan. Seakan mereka merasakan adanya perubahan yang mengharuskan untuk bermigrasi. Calden yang bertugas mengurus keseimbangan hutan di buat khawatir dengan perubahan hutan yang cukup mendadak.

"Apa terjadi sesuatu?" Zen bertanya.

Calden diam. Sejujurnya di juga tidak tau apa yang terjadi di hutan. Lebih tepatnya belum tau pasti apa yang terjadi. Ia tidak mau membuat panik penghuni rumah ini. Meski tandanya sudah terlihat jelas, Calden hanya ingin benar-benar pasti. Karena firasatnya mengatakan, kalau akan terjadi sesuatu yang melibatkan para penghuni rumah.

"Aku belum yakin. Tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga."

"Pokoknya kalau ada masalah itu salah Calden." Mia berkomentar. Tetapi pandangannya masih lurus menatap perapian.

"Kenapa jadi salahku?"

"Salahmu yang tidak becus mengurus hutan."

Sebelah alis Calden berkedut, ingin sekali menggeplak bocah satu ini. Tapi jika dia lakukan Mia akan menangis dan mengadu pada Anne. Jika sudha begitu dia lagi yang akan di salahkan. Daripada kena marah Anne, dia lebih memilih diam dan menelan kembali sumpah serapahnya.

Zen sendiri hendak membuka mulut, namun pintu depan mendadak terbuka dengan keras. Gadis kecil yang sejak tadi tidur bangun karena terkejut. Bahkan Mia sampai melempar batang besi yang dia gunakan untuk mengorek perapian karena terkejut. Di depan pintu, sosok dengan rambut hitam dengan mata emas berdiri. Tubuhnya di lumuri darah dan di tangannya menggendong sosok pemuda yang tidak sadarkan diri.

"Ares, dia siapa?" Calden bangkit, menghampiri Ares yang masih berdiri di depan pintu.

"Aku menemukannya di pinggir sungai." Ares menjawab dengan tenang.

Calden melirik sosok yang terlihat seperti remaja yang baru berusia tujuh belas tahun. Tubuhnya basah, namun tidak ada luka yang terlihat. Berbeda dengan Ares yang hampir sebagian besar tubuhnya di tutupi darah. Zen mengintip dari belakang, menjaga jarak dari Ares dan sosok misterius yang di bawanya. Mata peraknya memandang sosok di gendongan Ares dengan pandangan menyelidik.

"Dia bukan manusia."

Suara cempreng menyapa Indra pendengaran mereka, dan sosok mungil dengan rambut coklat sudah berdiri di sisi Calden. Rin, gadis yang sejak tadi tidur memandang sosok di gendongan Ares dengan tatapan tajam. Mata merahnya bersinar terang, tangan kecilnya menggenggam tangan Calden dengan erat. Calden bisa merasakan, bahwa gadis kecil di sisinya ini tidak menyukai tamu tak di undang mereka.

"Itu alasannya aku membawanya kemari. Baunya tidak seperti manusia." Ares berujar kembali. Masih dengan nada datar yang sama.

"Baiklah, kita bawa dia masuk dulu." Calden akhirnya memperbolehkan Ares masuk, setelah interogasi kecil.

Ares membawa masuk sosok asing yang di temukannya. Calden dan Zen mengikuti dari belakang, menuju ke lantai dua. Sementara Rin di minta kembali ke ruang tengah bersama Mia. Kedua gadis kecil itu sekarang sibuk mengorek perapian dan bermain dengan arang.

Kedatangan tamu mereka membuat tiga wanita yang baru kembali keluar dari kamarnya. Aroma asing yang mendadak masuk ke rumah membuat mereka penasaran, terlebih karena aroma ini terasa berbahaya. Bahkan Vestael yang terkenal acuh ikut keluar dan menunggu di depan kamar tamu. Bau asing yang tidak ramah, dan mereka semua tidak menyukai itu.