"Yakin kau ingin menampungnya?" Vya berujar pelan.
"Entahlah."
Calden sesungguhnya juga tidak yakin akan menampung anak itu, sebenarnya ia sendiri tidak ingin menampung makhluk asing yang tidak jelas asal usulnya. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Terutama aromanya yang terasa lain, bukan seperti aroma mayat hidup atau aroma makhluk jadi-jadian. Namun yang membuatnya mau menampung anak itu sementara karena Ares. Dia tidak pernah peduli dengan hal-hal merepotkan, bahkan manusia yang sekarat dalam hutan saja dia biarkan mati.
Ares bukanlah tipe yang akan membawa sosok berbahaya ke dalam rumah. Di terlalu hati-hati, lebih ke tidak perduli tentang hal lain kecuali keselamatan penghuni rumah. Tapi kali ini, dia malah membawa seorang bocah yang entah siapa atau apa pulang ke rumah.
"Untuk sekarang kita awasi saja. Kau tau Ares bukanlah tipe yang akan membawa hal-hal berbahaya pulang. Dia pasti memiliki alasan." Calden berujar dengan tenang.
"Baiklah jika kau berkata begitu." Vya melangkah pergi, kembali ke kamarnya.
Anne baru keluar setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, di susul Vestael di belakang. Sejak tadi, Vestael mengawasi dari jauh. Baru mendekat ketika Anne keluar dari kamarnya. Membuntuti wanita bersurai kelam itu layaknya anak itik. Bukan apa-apa, hanya saja dia tidak mau mengambil resiko karena aroma anak itu sungguh mengganggunya.
"Apa tamu kita sudah sadar?" tanya Anne.
"Belum." Vya menggeleng.
Anne menghela nafas, mengangguk paham. Meski jauh dalam hati ia merasa tidak setuju dengan keputusan Ares yang membawa sosok asing ke dalam rumah. Tetapi ia telan kembali kata-katanya karena tidak ingin membuat penghuni lain khawatir.
"Kenapa tidak kita bunuh saja?" Vestael menimpali.
Seluruh mata kini tertuju pada wanita pirang yang selalu menampakkan ekspresi datar. Terkejut dan heran, karena Vestael bukanlah tipe yang akan mengajukan saran seperti itu. Biasanya dia hanya akan diam dan membiarkan yang lain mengambil keputusan. Baru kali ini Vestael memberikan pendapatnya secara langsung. Wanita yang selalu duduk diam dan membiarkan Calden dan Anne yang membuat keputusan itu kini menyuarakan ketidaksetujuannya.
"Calden bilang kita awasi saja anak ini. Lagipula, yang membawanya kemari itu Ares. Dia bahkan berani menjamin anak itu." Vya menjelaskan.
"Ares menjamin anak itu?" Anne terlihat terkejut mendengar Ares sampai berani menjamin anak itu.
"Ya." Vya mengangguk, membuat Anne sedikit terkejut dengan keputusan yang di ambil.
Bahkan Vestael sampai memicingkan matanya mendengar fakta bahwa Ares berani menjamin anak itu. Makhluk asing yang bahkan dia tidak tau jenisnya, dan Ares yang terkenal kejam itu menjamin bocah tidak jelas yang ia temukan.
"Apa yang membuatnya sampai bernai menjamin anak itu?" tanya Vestael heran.
Vya terlihat bingung juga, bahkan terkesan tidak paham dengan jalan pikiran Ares. Pria kaku yang tidak segan memenggal kepala siapapun itu berani menjamin bocah asing yang dia temukan di hutan. Namun ketika melihat tatapan bingung dan marah Ares ketika menatap bocah itu. Vya juga yakin bahwa Ares sendiri juga tidak paham kenapa.
"Entahlah, kita awasi saja dulu."
Kedua wanita tersebut menghela nafas. Vestael memandang pintu kayu yang menyembunyikannya dua makhluk yang saling diam. Ares berada di sisi kasur tempat bocah asing yang ia temukan terbaring. Mata emasnya memandang tajam sosok asing yang terbaring di ranjang. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi, namun iris emasnya tidak lepas dari sosok yang ia temukan.
Aneh, ia merasa aneh.
Kenapa ia tidak bisa membunuh anak ini, padahal dia tidak punya masalah dalam memenggal kepala siapapun yang ia temukan maish bernafas di hutan. Tetapi ketika melihat anak ini, tubuhnya seakan membeku dan menolak merespon. Tangannya bahkan enggan mengangkat senjata yang siap memisahkan kepala bocah ini dari lehernya. Tapi kenapa tangannya menolak untuk bergerak. Seakan sesuatu menahannya untuk tidak memenggal kepala bocah ini.
Padahal selama ini ia tidak memiliki masalah dalam membunuh siapapun yang terlihat mencurigakan. Tetapi ketika melihat anak ini masih bernafas di pinggir sungai dengan luka di dadanya. Tubuh dan otaknya seakan berhenti bekerja, seakan dia terhipnotis oleh anak ini.
"Kau sebaiknya punya alasan yang jelas kenapa kau membawanya kembali."
Ares melirik dengan malas. Vestael telah berdiri di depan pintu, melipat kedua tangannya di dada dengan tatapan datar. Meskipun begitu, terlihat jelas bahwa wanita itu menahan diri untuk tidak menghujam bocah yang tengah tertidur itu. Mata biru Vestael memandang tajam sosok yang tengah terbaring tak sadarkan diri di ranjang.
Ares membalas sengit tatapan tajam Vestael, sebelum akhirnya menjawab. "Karena aku ingin."
"Ingin?" Vestael memicingkan matanya begitu Ares menjawab.
Tentu tidak puas dengan jawaban tidak jelas seperti itu. Ingin? yang benar saja. Vestael tau betul siapa Ares, sosok iblis kejam yang tidak tau kata ampun. Dan dia menyelamatkan anak ini karena ingin. Alasan macam apa itu.
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa membunuhnya." Dan jawaban Ares sukses membuat Vestael terkejut.
Pria ini tidak bisa membunuh seorang bocah yang bahkan dia tidak kenal. Vestael hampir saja mengira Ares keracunan jamur atau kepalanya terbentur sesuatu di hutan. Tetapi melihat ekspresi rumit Ares, sepertinya yang di katakan memang jujur. Ares tidak bisa membunuh anak ini, dan itu cukup untuk membuat Vestael menaikkan pengawasannya.
"Apa maksudmu?" Vestael kembali bertanya.
Tapi pria itu tidak menjawab lagi, hanya menatapnya dengan pandangan tajam nan menusuk. Vestael menghela nafas, paham bahwa dia tidak akan mendapatkan jawaban lebih lanjut. Di paksa pun dia tidak akan menjelaskan lebih jauh maksud dari perkataannya.
"Untuk sekarang aku terima alasanmu. Tetapi jika anak itu membawa bahaya. Aku sendiri yang akan memenggal kepalamu." Vestael meninggalkan ruangan. Ares kembali menatap sosok bocah asing yang ia bawa. Masih merasakan gejolak aneh dalam dirinya, dan dia tidak tau apa itu. Ia menetap dalam ruangan, sementara yang lain kembali ke tempat masing-masing.
Dini hari hampir tiba, dan burung hantu mulai bernyanyi menyambut datangnya dewi malam. Angin berhembus lembut, menyapu ranting dan dedaunan. Semua telah kembali ke kamar masing-masing, entah itu untuk tidur ataupun sekedar rebahan. Tapi pemimpin Halloween House itu masih terjaga di ruang kerjanya. Menatap bulan dengan pandangan kosong. Ada yang berubah di dalam hutan, dan dia tidak tau apa itu. Dan kedatangan sosok asing di dalam rumah ini memperjelas kecurigaannya.
Calden menghela nafas, menyandarkan punggungnya pada kursi. Matanya bergulir, memandang ke arah bola kristal di meja yang terlihat memancarkan warna violet lembut yang tidak biasa. Bola kristal itu tidak akan bersinar jika tidak ada kejadian besar yang akan menimpa rumah ini.
"Apakah dia kawan atau lawan?" Calden bergumam.
Mata sewarna esnya menutup, berusaha mengistirahatkan diri. Namun otaknya masih memutar seribu teori dan kemungkinan. Ia tersenyum, membuka kembali matanya sebelum menghela nafas panjang.
"Ku harap kau benar, Ares." ia bergumam pelan, sebelum bangkit dari kursinya untuk menutup bola kristal di meja dengan kain hitam. Sekali lagi ia memandang ke arah bulan yang perlahan tertutup awan hitam.
Merah.
Kali ini bulan berwarna merah, meskipun bukan merah darah. Warna merah dengan sedikit warna oranye. Warna yang cukup cantik menurut Calden. Tetapi makna di baliknya tidaklah terlalu cantik. Ia hanya bisa berharap, apapun yang terjadi di luar saja tidak akan mempengaruhi rumah ini. Dia telah mengorbankan banyak hal demi mempertahankan kedamaian dalam rumah ini. Dan Calden tidaka akan membiarkan siapapun merusak perdamaian yang telah ia perjuangkan dengan susah payah.