Nina terdiam ketika melihat penampilan Robin. Ia hampir saja ingin menjerit karena ia fikir sosok Nico benar-benar kembali hidup namun ketika melihat lebih teliti lagi sebenarnya wajah Robin hanya tertimpa bayangan wajah sosok Nico yang terbayang oleh Nina sehingga ia segera berusaha menenangkan dirinya dan berkata pada dirinya sendiri jika Nico sudah tidak ada dan tidak mungkin ia hidup lagi. Lagipula Nina sendiri yang melihat ketika Nico sudah terkapar di kamarnya dengan mulut berbusa karena ia meminum obat penenang sampai habis satu botol. Nico meninggal karena overdosis.
"Halo. Aku Nico. Senang bertemu denganmu, Nona ..."
"Nina. Senang berkenalan dengan anda tuan Nico" ucap Nina. Ia mencoba tersenyum karena sesungguhnya hatinya kini tengah mengenang masa-masa cukup beratnya dengan Nico meski saat ini pun hidupnya masih terasa cukup berat, namun karena ia sudah mendapatkan pekerjaan di hotel saat ini, Nina sudah bisa merasa cukup tenang.
"Thanks ya udah luangin waktu buat ngobrol sebentar" Gabriel pun mengambil tempat duduk di hadapan Nina sementara Robin di sebelah Gabriel.
"Harusnya saya yang minta maaf karena tidak bisa menemani tuan ngobrol lebih dari tiga puluh menit"
"Gak apa-apa. Oh ya, ini ... aku bawa buat kamu"
"Ini?" Nina melihat bingkisan paperbag yang terlihat mewah yang disodorkan Gabriel.
"Itu isinya menu yang baru di ciptain di resto Xiang Nusantara. Kebetulan aku mau magang disana nanti dan ..." Gabriel menyikut Robin untuk membiarkan asistennya itu menjelaskan rencananya.
"Oh ya. Sebenarnya aku adik dari kepala chef resto Xiang dan kebetulan mendengar cerita Alex tentangmu Nona. Jadi aku ingin kamu mengulas menu ini, apakah sudah cukup cocok di lidah orang Indonesia atau tidak?"
"Eh?, a-ku?"
"Iya. Alex bilang anda memiliki selera bagus, jadi tolong berikan ulasannya nanti. Nona Nina bisa mengirimkannya ke email Alex dan dia akan menyampaikannya padaku" Jelas Robin sembari mengecek ponselnya dan membaca pesan dari Gabriel jika ia sudah harus pergi dan membiarkan dirinya berdua dengan Nina.
"Kau bisa memakannya nanti" lanjut Gabriel ketika ia melihat Nampan Nina yang masih berisi makanan dan kudapan penutup.
"Baiklah, kalau begitu saya terima" ucap Nina.
"Terimakasih nona Nina. Oh ya, aku sudah harus pergi karena masih ada urusan" ucap Robin pada Nina.
"Bro, gw duluan ya. Nanti malam jangan lupa ke resto"
"Oke"
Robin pun selesai menemani Gabriel dalam penyamarannya dan sudah memastikan jika Nina memanglah sosok yang bersama Nicolas Tristan waktu itu. Sementara itu, Gabriel mengeluarkan satu paperbag lagi dan mengeluarkan sebuah kotak makan untuk dirinya sendiri.
"Jadi, tuan Alex. Um, anda tidak apa-apa makan disini?" Tanya Nina yang melihat Gabriel mengeluarkan bekal miliknya sendiri. Ia memandang sedikit aneh karena Gabriel bisa membeli dari resto untuk dibungkus, tapi nampaknya ia justru membawa bekal makanan buatan sendiri.
"Tentu saja, kenapa tidak?. Dan, kamu bisa panggil aku Alex aja, Nina" ucap Gabriel sembari memberikan senyuman yang manis karena lesung pipinya yang cukup dalam.
"Baiklah, Alex. Um, apa kamu membawa bekal kesini?"
"Ya. Aku lebih suka memakan masakanku sendiri sebenarnya, haha. Kamu mau coba?. Aku masak stew daging sapi hari ini" Jelas Gabriel dengan jujur karena ia memang lebih suka memakan masakan yang ia masak sendiri.
"Wah. Kau bisa masak?. Hebat. Dan, sepertinya menu makan siang kita sama. Di buffet tadi ada menu stew, jadi aku mengambilnya"
"Oh. Kau benar. Sangat kebetulan. Kalau begitu, gimana kalau kamu coba makan punyaku juga dan bandingkan rasanya, stew mana yang menurutmu lebih enak. Harus jujur ya ..."
"Eh?. Aku boleh mencoba bekalmu?"
"Boleh dong. Aku justru senang jika ada yang suka dengan masakanku"
"Terimakasih. Oh ya, ngomong-ngomong. Apa kamu mau menjadi chef di sebuah restoran?. Sepertinya pertemuan kita dimulai dari makanan. Apa kamu kuliah jurusan tata boga?" Tanya Nina dengan sedikit penasaran.
"Um, ya. Sebenarnya aku memiliki impian membuka restoran sendiri tapi aku masih harus banyak belajar sebelum membukanya. Masih ada banyak bahan makanan dan menu dari berbagai negara yang ingin ku coba" jelas Gabriel yang sebenarnya sudah memiliki banyak resto mewah bintang lima yang dibangunnya di Indonesia dengan berisi para juru masak yang profesional dari berbagai negara.
"Begitu ya, semoga impianmu tercapai, Alex"
"Kamu sendiri bagaimana?. Kamu kuliah jurusan apa?"
Nina terhenyak dengan pertanyaan itu. Sebenarnya Gabriel sendiri juga sudah tau jika Nina tak lagi kuliah. Ia sudah mendengarnya ketika wawancara saat itu, tapi Gabriel penasaran apakah Nina masih ingin kuliah atau tentang impiannya. Gabriel ingin mengetahui banyak hal tentang Nina.
"Maaf Alex, aku sudah tidak kuliah lagi. Um, aku memiliki masalah pribadi yang cukup rumit ... jadi-"
"Oh. Maafkan aku. Aku tidak tau ... kufikir kamu masih kuliah dan juga merupakan mahasiswa jurusan tata boga. Tidak perlu pedulikan pertanyaanku" potong Gabriel.
Nina pun merasa sedikit down. Ia berfikir "apakah Alex bisa akrab denganku dari awal karena ia mengira aku kuliah di jurusan yang sama dengannya?, makannya dia tidak terlalu peduli dengan pekerjaanku. Apakah dia akan menjauhiku setelah tau aku bahkan sudah putus kuliah?" Batin Nina. Ia termenung sesaat. Padahal ia merasa menyenangkan mengobrol dengan Alex karena mereka nampaknya memiliki selera mirip. Tapi sepertinya, Nina harus kehilangan Alex setelah ini.
"Tapi kamu memiliki selera bagus. Apa kamu tidak ingin lanjut kuliah?. Maksudku, kamu masih memiliki impian yang ingin kamu capai kan?"
"Um ya. Sebenarnya aku tertarik dengan jurusan perfilman dan ingin menjadi sutradara dan membuat film sendiri ... tapi, kurasa aku belum bisa mewujudkannya" Nina berkata dengan sedikit bingung. Lagipula ia juga sudah memiliki Giselle yang harus ia perhatikan lebih utama daripada memikirkan tentang impian-impiannya yang satu persatu sudah ia kubur. Ditambah, saat ini ia juga harus fokus bekerja untuk membayar hutang di holet Lotus. Nina tidak memiliki waktu untuk berangan-angan tentang mewujudkan impiannya.
"Wow. Diluar dugaan. Kukira kamu tertarik dengan dunia kuliner karena seleramu bagus"
"Makanan adalah hal yang berbeda. Bisa dibilang ketertarikan makanan hanyalah hobiku. Jika aku sedang bosan, aku akan membuat dapur menjadi laboratorium percobaanku hehe"
"Oh. Kau pasti memiliki banyak bakat!"
Keduanya pun mengobrol cukup akrab walau Nina selalu terdengar canggung dan ragu-ragu untuk berbicara dengan sedikit jujur tentang dirinya pada Alex, namun semakin lama Nina merasa ia bisa cukup terbuka berbicara tentang dirinya meski ia tidak bisa membuka masalah yang ia miliki.
"Bagaimana stew-nya?"
"Keduanya enak dan memiliki rasa masing-masing, tapi kurasa stew di buffet lebih sesuai dengan seleraku sementara stew milikmu masih sangat terasa oriental?"
"Haha kau benar. Aku lebih terbiasa memasak makanan chinese tapi aku tengah berusaha memadukan dua rasa yang berbeda dari budaya masakan chinese dan indonesia, atau mungkin lebih banyak lagi. Aku ingin mencoba memasak banyak menu dengan memadukan banyak rasa dari berbagai negara"
"Kalau begitu kau harus semangat belajar memasaknya!" Ucap Nina. Ia merasa ikut terbawa suasana sosok Alex yang terlihat begitu berambisi dan 'hidup' seperti api yang berkobar. Dan Nina pun merasa kehidupannya yang terasa hambar kini terkena sedikit percikan api yang membuatnya semangat. Ia merasa masih dapat mengejar mimpinya setelah selesai dengan melunasi semua hutangnya.
"Hai Nina, maaf ganggu waktu kalian, tapi jam istirahat kita udah abis. Ayo kerja lagi" sela Jason yang tiba-tiba datang sehingga pembicaraan Nina dengan Gabriel terhenti karena kedatangannya.
Nina lantas langsung melihat jam di tangannya "oh, kau benar. Terimakasih sudah mengingatkan" ucap Nina pada Jason.
"Sama-sama. Aku duluan ya" ucap Jason yang berlalu melewati mereka berdua sembari memberikan lirikan tajam ke arah Gabriel yang juga sedari tadi sudah menatap tak suka kedatangan Jason.
"Haruskah ku pecat orang itu?!" Batin Gabriel.
"Tuan Alex, ah maksudku. Alex. Aku harus kembali kerja sekarang dan ... um, kita bisa melanjutkan obrolan ini di chat jika kau tidak sibuk nanti malam?" Ucap Nina yang rasanya enggan mengakhiri pembicaraannya dengan Gabriel, namun ia harus bekerja tentunya. Ada nada kecewa ketika ia harus mengakhiri obrolan mereka.
"Tentu. Kita bisa mengobrol lagi nanti malam, sampai nanti" jawab Gabriel yang juga merasakan hal yang sama dengan Nina, namun ia pun juga masih memiliki segudang pekerjaan yang harus diurusnya, terutama rapat yang tertunda kemarin sore karena ia tak datang.
Gabriel pun hanya dapat melihat kepergian Nina setelah itu ia pun kembali ke ruang suitnya di lantai paling atas. Gabriel nampaknya sudah memutuskan untuk tinggal lama di suit presidential itu hanya untuk memperhatikan Nina. Ia tidak ingin melewatkan sedikitpun kegiatan Nina di hotel lotus walau yang ia lihat pun hanyalah rutinitas Nina yang membersihkan lantai atau hal lainnya yang berkaitan dengan posisinya sebagai office girl.
"Tuan Gabriel. Rapat anda akan dimulai lima belas menit lagi, jadi tolong berhentilah melihat laptop anda sekarang" celoteh Robin pada Gabriel yang sejak kembali ke suit tidak fokus dengan pekerjaannya dan justru memperhatikan live cctv yang memperlihatkan kegiatan Nina di hotel.
"Aku tau" jawab Gabriel dengan acuh. Dengan nafas berat, Gabriel menutup laptopnya dan bersiap untuk rapat hari ini. Ia harus membicarakan tentang pembangunan resort baru di pantai dan sata ini ia tengah mencari, pulau mana yang bisa ia gunakan untuk membangun resort itu?. Bali tentu menjadi salah satunya.
Di tempat lain. Nina tengah sibuk membersihkan loby hotel dengan begitu cekatan karena disana ada banyak pengunjung hotel yang keluar masuk dan berjalan kesana kemari untuk urusannya.
Nina mengambil papan tanda lantai basah dan menaruhnya di bagian yang baru saja ia pel secepat mungkin agar keringnya juga cepat. Tapi sayangnya seseorang nampaknya berjalan tak melihat langkahnya. Wanita paruh baya bersetelan rok pendek dan jas abu-abu gelap itu hanya fokus dengan telepon dan jam yang terus ia lihat di tangannya seolah ia sudah terlambat untuk menghadiri sebuah acara. Dan akhirnya sesuatu yang tak diharapkan terjadi.
Seharusnya Nina tidak salah, namun karena statusnya yang hanya seorang office girl, ia pun terkena ledakan amarah wanita yang terpeleset itu.
"Wanita jal*ng sial!. Bajuku kotor dan aku sudah terlambat untuk rapat!. Kau harus bertanggung jawab!" Tukas wanita itu.
"Ma-maafkan saya, Nyonya!" Ucap Nina dengan suara bergetar takut. Dalan hidupnya ia sangat jarang menerima amarah seseorang seperti itu sehingga Nina menjadi sangat terkejut dan hanya bisa menahan air matanya sembari terus menunduk minta maaf.
Tanpa disadari oleh keduanya, sepasang mata tajam Gabriel memperhatikan mereka. Kebetulan ia sedang berada di loby untuk menerima seorang tamu penting yang akan hadir dalam rapatnya yang harus ia berikan permintaan maaf karena kemarin sempat membuang waktunya.