Chereads / BLOODLINE OF INDIGO / Chapter 1 - BAB 1: THE BLOOD SPLATTERED

BLOODLINE OF INDIGO

Renji_Isamu
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 11.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - BAB 1: THE BLOOD SPLATTERED

Mengandung sedikit fantasi. Dimohon bijak memilih bacaan.

______________

Bloodline of Indigo

[Garis Keturunan Indigo]

by Kinnporche_STAND

"Aku melihat darah ketika menyentuh dirimu pertama kali."

[Mile Phakpum Romsaithong]

[Sayang, saat acara nanti bawa keponakanmu, Abby. Biar para tamu sekalian kenal. Tapi kalau Nona Pim sudah datang, titipkan saja pada Nanny-nya. Dia selalu berjaga di dek paling atas]

[Mae]

Mile Phakpum mengernyitkan kening saat baru membuka ponsel. Dia pun melepas suit jas yang baru dicoba, lalu menggantungnya lagi di lemari. "Hmm, cantik," pujinya pada sebuah foto gadis yang dikirimkan sang ibu.

Mile memang tidak memikirkan pasangan sejak fokus kuliah di Harvard University, Amerika Serikat. Apalagi ada kecelakaan pesawat yang menimpa Pomchay dan Pin 6 tahun lalu. Dia lebih serius karena kini jadi satu-satunya pewaris, setidaknya hingga Abby, sang keponakan yang masih kecil bisa menggantikan posisi CEO di masa depan.

Keluarga Romsaithong juga tidak pernah menanyakan persoalan pacar selama ini. Tapi setelah dinyatakan lulus, mereka berusaha mencarikan kandidat terbaik untuk jadi istri Mile suatu hari. Baik laki-laki, atau perempuan. Orangtua Mile tidak pernah membatasi kriteria seperti apa yang diinginkan puteranya. Sayang Mile jarang tertarik pada seorang pun diantara mereka.

"Tapi yang ini sepertinya tidak buruk, dia anaknya Tuan Arthanee?" gumam Mile yang memutuskan duduk sejenak di ruang tengah. Dia berhenti coba-coba baju untuk persiapan pesta di kapal pesiar. Dan itu dalam rangka merayakan kelulusan serta ulang tahunnya yang sudah dekat. Mile pun menghela napas panjang. Dia memilih menutup ponsel daripada makin terbebani. Sebab sang ibu sudah mengirimkan beberapa calon lagi.

"Uncle! Uncle! Lihat! Granny baru saja mengabulkan permohonanku!" teriak Abby tiba-tiba. Sang keponakan berlari memutari ruang tengah, lalu menunjukkan sebuah poster mungil yang sempat dipajang di kamarnya.

"Apa, Sayang?" tanya Mile sambil menerima poster itu.

Abby, si bocah umur 9 pun naik kepangkuan Mile. Anak yatim piatu itu sangat manja kepada Mile sejak sang paman pulang. Lalu nyengir bangga sambil menunjuk selebriti yang dia sukai. "Ini! Apo Nattawin! Tadi aku minta Granny mengundangnya juga dalam pesta. Beliau mau! Aaaaa! Aku senang bisa melihatnya live bernyanyi!"

Mile pun menatap lekat-lekat sosok indah di dalam sana. Dia tidak berkomentar apa-apa, karena memang baru sekali ini melihat. Jujur dia tidak perhatian dengan dunia hiburan tanah air. Segala hal yang ada di Amerika, sudah cukup memuaskannya dengan banyak show dan lain-lain. Maka meski melihat Apo langsung di kapal pesiar, Mile diam.

"Sayang, Nona Pim sepertinya sudah hadir di dek nomor 2. Tapi masih mengobrol dengan seorang kenalan. Siap-siap saja kalau nanti dia naik," kata Nathanee kepada Mile. Sang ibu mendistraksi fokus Mile dari Apo, lalu menoleh ke Abby.

"Wah! Kakak cantik! Aku tahu kakak cantik itu!" kata Abby dengan wajah sumeringahnya. Dia pun menunjuk wajah Pim yang sedang tertawa anggun, lalu balas menatap kepada Mile. "Itu kan yang mau Uncle temui? Dia pernah berkunjung ke kantor Granny."

Hmm, jadi si Pim ini hubungannya memang baik dengan Keluarga Romsaithong. Pantas dia diajukan paling sering, daripada calon yang lainnya.

"Baik, Ibu," kata Mile.

Malam itu, tepat 3 hari sejak kepulangan Mile. Pesta yang direncanakan keluarganya pun digelar begitu mewah. Kapal pesiar atas nama Romsaithong berlayar di lautan Koh Chang, Bangkok Timur. Dan tamu undangan kira-kira menginap 4 hari di atas hotel mengapungnya.

"Hmm, Uncle tidak mau coba-coba kue? Aku mau ambil beberapa!" kata Abby tiba-tiba menawari. Dia menoleh kepada Mile, tapi Mile hanya menggeleng.

"Tidak perlu, aku sedang tidak ingin makan," kata Mile.

Abby pun nyengir dan melambaikan tangan padanya. "Okelah kalau begitu! No prob! Aku mau ke sana dulu. Ingin cokelat yang bentuknya angsa-angsa kecil ....."

"Ya, ke sana saja. Hati-hati," kata Mile.

"Siap grak!"

Abby pun pergi dengan langkah-langkah menggemaskan khasnya. Sang keponakan tampak menikmati beberapa kue, sementara Mile terdistraksi gosip samar di sekitarnya.

"Oh, jadi itu si bungsu yang dibicarakan. Tampan ya. Sayang dengar-dengar punya OCD." (*)

(*) Obsessive Compulsive Disorder atau disingkat OCD adalah bentuk masalah kesehatan mental yang membuat pengidapnya mempunyai pemikiran dan dorongan yang tidak bisa dikontrol. Biasanya sangat perfeksionis. Tidak mau menyentuh sembarangan benda, orang lain, dan risih jika melihat sesuatu berantakan.

"Eh? Iyakah. Pantas saja pakai sarung tangan. Jabat tangan saja masih tetap dikenakan," timpal tamu lainnya.

"Yah, sayang. Ingin kudekati tapi sepertinya bikin malas. Mana enak punya pacar yang tak mau menyentuh? Mau pelukan saja tak bisa."

Mile hanya senyum tipis mendengar hal itu. Dia memang sengaja berpura-pura, sebab tidak aman jika bersentuhan dengan sembarangan orang. Oh, mungkin ini agak aneh. Tetapi Mile punya keistimewaan. Dia bisa melihat masa depan mereka selama kira-kira 10 detik, dan itu sangat mengganggu. Jika ditanya kenapa, dia sendiri pun tidak tahu. Tapi dulu kakeknya juga bisa begitu.

Kata Nathanee, Mile bisa mencontoh kakeknya jika ingin hati-hati. Karena itulah dia mengenakan sarung tangan di tempat umum, dan melepaskannya jika sepi atau berada di rumah.

"WAH! AJAIB!" kata Abby tiba-tiba. Suaranya membuat siapa pun tertarik menoleh, tapi bocah itu hanya fokus pada sosok di depannya.

Itu adalah Apo Nattawin. Sang penyanyi yang baru membawakan dua lagu, lalu turun untuk menyapa si bocah. Dia tampak mengobrol dengan Abby dengan wajah yang ceria. Sementara Abby dihibur dengan trik sulap ringan.

Permainan sembunyi koin! Dengan meminta Abby menggenggam logam mungil yang diberikannya, Apo pun menepuki tangan si bocah tapi malah menemukannya di balik kerah. Mungkin karena terlalu suka. Abby pun meminta Apo mengulanginya beberapa kali, tapi tetap selalu terhibur.

"Tuan Romsaithong, permisi," kata seorang waiter tiba-tiba. Lelaki itu memang membawakan sampanye, tapi dia tidak sedang menawarkan minuman. Mile pun mendekatkan telinga karena akan dibisiki, lalu dia menyimak sebaik-baiknya.

"Ada apa, hm?"

Si waiter pun berbicara sepelan angin. "Nona Pim bilang nanti tidak perlu basa-basi. Beliau hanya ingin bicara to the point. Jadi, bisa Anda menemuinya sekarang? Katanya tidak punya banyak waktu."

"Oh ...."

Sopan sekali wanita ini? Mile pun mengangguk lalu menemui Pim. Namun, meski tadi penasaran, dia langsung paham saat baru duduk di meja mereka.

"Halo, Mile. Selamat datang di Thailand," kata Pim. Dan seperti pesan yang dia berikan, Mile langsung mendengarkan permintaan wanita itu.

"Ya, katakan."

"Oke, intinya nanti tolak saja aku," kata Pim. "Bilang alasan jelek pun tidak masalah, asal jangan rusak reputasi bisnisku dengan kalian."

"Hm, jadi kau sangat serius dengan pacarmu?" kata Mile yang refleks ikut to the point. Dia melirik cincin pasangan di jari wanita ini. Juga liontin inisial yang dikenakan di leher. Huruf P dan D. Pertanda Pin seorang dominan dalam hubungan percintaannya, dan kemungkinan pasangannya bukan laki-laki.

"Sangat. Dia cantik dan aku mengenalnya sejak senior. Mana mungkin kubiarkan lepas setelah selama ini? Lama-lama keluargaku pasti mengerti," kata Pim.

"Tepat, kan ...." batin Mile. Dia pun menyetujui permintaan itu, lantas mendengarkan kisah singkat tentang gadis bernama Davikah. Oh, luar biasa. Pim bahkan berani membawa kekasihnya menginap di kapal ini, dan sekarang Davikah menunggunya di kamar hingga pesta selesai.

"Baiklah, kuanggap masalah ini sudah selesai," kata Mile setelah obrolan itu berakhir. "Senang berbisnis denganmu, dan kuharap kalian nanti bahagia."

"Thanks, Phakpum," kata Pim dengan senyuman manisnya. Dia pun pamit pergi dengan langkah-langkah anggun, sementara Mile menghela napas.

Well, Mile tidak masalah samasekali. Dia santai menghadapi perjodohan-perjodohan dari keluarga, dan tak pernah berharap banyak.

"UNCLEEEEEEEEE!! LIHAAAAT!" jerit Abby yang mendadak lari ribut dari kejauhan. Dia menggandeng Apo paksa hingga langkahnya tergopoh-gopoh, lalu menarik sang penyanyi di depan Mile. "Hahh ... hahh ... hah ...."

Mile pun menatap dua wajah manis di depannya bergantian. "Hei, ada apa ini? Kenapa?"

Abby pun menarik-narik Apo semakin dekat. "Ini! Phi Natta! Dia kalah tebak-tebakan denganku! Jadinya harus dihukum!" katanya.

"Ah, maaf. Harusnya tidak begini," kata Apo dengan senyum segan di bibirnya.

"Hm?" Mile pun menatap sang penyanyi dengan raut yang bertanya-tanya.

Apo tiba-tiba menadahkan tangan. "Coba ulurkan tanganmu. Aku akan menunjukkan trik sihir ...." katanya dengan senyum menahan malu. Ho, pasti Abby yang menyuruhnya begitu. "Ini akan pakai media, Tuan. Aku punya koin yang sangat ajaib."

Mile pun menahan geli di dasar perutnya. "Hm, terserah. Memang seberapa ajaib sihirmu itu," katanya.

Namun, Apo tampak ragu saat memandang tangannya. "Tolong bisa lepas dulu sarung tangan Anda? Trik-nya gagal kalau pakai kain setebal itu."

"Oh ... oke," kata Mile. Dia pun melepas satu meski sama ragunya, tapi Abby terlanjur menatap dengan mata yang berbinar-binar. Seolah-olah bocah itu bilang, "Lihat! Idol-ku hebat kan Uncle? Uncle benar-benar harus tahu ini!"

Dan saat Apo sudah menggenggam tangan Mile, sejauh 10 detik peristiwa ke depan masuk dalam kepalanya.

DEG

"Sial! Ada penembak jitu di balik pilar ke empat!" batin Mile dengan mata yang menegang. Seketika wajah Apo berganti kilasan potret berdarah-darah, semua karena badan lelaki ini jadi perisai Mile yang menjadi target utama.

"MERUNDUK! APO!"

DOR!! DORRR!! DORR!! DORR!!