"Namaku Apo Nattawin. Namun jika kau bertanya kenapa aku yang sekarang berdiri di tempat ini, maka jawabannya adalah tempaan di masa lalu."
Usai seks yang cukup panjang, Apo pun diam dalam pelukan Mile. Tubuhnya meringkuk dalam kondisi memunggungi, sama sekali tak mau menatap Mile.
"Sudah puas?" tanya Apo dengan suara seraknya. "Tambah lagi saja kalau ingin. Aku sudah tak peduli."
Mile memaksanya balik badan kali ini. "Aku bisa lihat masa depan, tapi tidak dengan masa lalu," katanya. "Cerita. Maka akan kudengarkan."
Apo malah makin sakit hati. "Setelah semua yang kau lakukan tadi, kau merasa masih pantas mendengarkan aku, Mile?" tanyanya. "Benar-benar tidak tahu diri."
"Lalu kemana kau menceritakannya setelah ini? Dengan Flo?"
"Kalau ya? Itu samasekali bukan urusanmu."
"Tapi kau bukan kekasihnya. Jadi apa bedanya aku dengannya? Dia juga tidak berhak mendengarkan apapun."
"Kau saja kan yang bilang? Aku bebas menentukan siapa yang membuatku bicara."
Mile pun berhenti mendebat karena Apo menangis. Matanya basah meski tak ada isakan. Menandakan seberapa sakit yang Apo rasa dalam hatinya.
Ah, bungsu Romsaithong itu pun membiarkan Apo emosional. Lantas mendekapnya ke dada. Benar-benar ada yang tidak beres, pikirnya. Andai saja kemampuannya tidak terbatas ....
Apo juga tidak bilang apa-apa pada pagi harinya. Dia hanya melipir ke kamar mandi. Bersih-bersih. Lalu makan sendirian di dapur.
Apo berdiri sambil mengolesi selai pada rotinya. Dia juga mengunyah dengan santainya, seolah tak ada beban apapun. Namun, jika Mile lihat terus menerus ... sosok itu menarik hatinya bukan hanya karena fisik. Dia punya sesuatu yang mengusik Mile. Dan itu membuatnya ingin mengorek semakin jauh.
"Begini biar lebih enak saat dinikmati," kata Mile yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Lelaki itu mengambil alih pisau selai Apo, lantas mengoleskannya lebih merata.
Apo juga tidak mengatakan apa-apa. Dia menerima roti yang dibuat Mile begitu saja, tapi Mile yakin ekspresinya kali ini bukan akting. Mile rasa--meski caranya jahat--dia berhasil membuat Apo menampakkan wajah aslinya.
Itu adalah wajah biasanya dia poles dengan senyum manis, tutur sopan, atau gila di orang yang yang dia benci. Namun, kini semua kentara sekali. Mile tidak perlu memaksanya berhubungan intim lagi, karena Apo tidak melawan ketika dicium. Dia rela menjeda gigitan roti ketiga untuk meladeni Mile, tapi setelah itu makan lagi.
Aneh ...
Sebegitu sepelenya kah skinship dan seks bagi Apo Nattawin? Tidakkah dia takut seseorang memonopoli tubuh indahnya sekali lagi? Mile sungguh tidak habis pikir.
"Apo," panggil Mile dengan nada yang lebih lembut. Dia kembali jadi sosok Romsaithong terhormat. Dan Apo pun menyahut dengan santainya.
"Hm."
"Yakin tidak mau bilang apa-apa?" tanya Mile sekali lagi. "Maksudku, ya ... aku brengsek. Tapi aku tidak berniat mempermainkan. Memangnya tidak cukup membuatmu yakin? Aku harus apa lagi agar kau cerita sedikit."
Apo pun menghela napas panjang. Dia tampak lelah dan sedikit cemas, mungkin karena baru mematikan ponsel sebelum mandi. Apakah Apo lari dari pemotretannya? Dia pasti benar-benar dimarahi.
"Aku itu pernah serius ke seseorang," kata Apo pada akhirnya. "Dia tampan, tinggi. Dan aku jadi total bottom untuknya."
Sejujurnya, Mile ingin mendengar nama lelaki tampan tinggi ini, tapi dia tak mau menuntut banyak. Apo mau bicara saja sudah bagus. "Lalu?"
"Ya, intinya itu pertama kali aku menyerahkan diri," kata Apo. Meski dalam pelukan Mile, itu tidak menghentikan dia untuk meracik kopi. "Dia menyenangkan dan murah senyum, mungkin juga lebih kaya darimu."
"Ho ...."
"Tapi bukan karena itu aku bersyukur," kata Apo. "Hanya saja, dia itu benar-benar tipe-ku."
"...."
"Maksudku, kau tahu kan rasanya pacaran dengan tipe-mu?" kata Apo yang berusaha memperbaiki perkataan. "Seperti impian yang sungguh tercapai. Senang. Bangga--aku tidak malu menggandengnya kemana-mana."
Oke?
Mile cemburu, tapi dia tetap mengangguk-angguk. "Lalu? Kenapa kau tak ingin terikat lagi? Suka switch? Dia menghinamu atau bagaimana?"
DEG
Apo pun terbeku meski sejenak. Takaran gula dalam sendoknya sampai tertumpah-tumpah. Tapi Mile segera menggenggam tangannya.
"Aku benar?" tebak Mile.
Apo pun mendecih karena tak nyaman, tapi Mile segera mendekap pinggangnya semakin erat.
"Mile ...."
"Oh, ayolah. Sudah sampai sini malah tidak menuntaskannya," bujuk Mile. "Memang kenapa kalau itu benarnya? Yang dia hina malah kusukai. Jadi biar kupungut lelaki cantik ini. Tinggal menunggu mau atau tidak saja."
Apo pun meletakkan sendok karena sudah emosional. Oh, shit. Kenapa sih Mile Phakpum bisa menarik sisi rapuhnya keluar? Padahal Apo tipe yang benar-benar malas membicarakan diri sendiri.
"Ya, itu salah satunya. Tapi, kau pikir aku yang dulu seperti ini?" kata Apo, mendadak nadanya seperti membentak-bentak. "Aku itu suka gym, Brengsek. Badanku berotot dan sempat bertato. Kadang, aku juga berjemur di tepi pantai untuk semakin hitam--tapi dia tidak sejalan denganku."
"Hoo ...."
"Kau palingan juga benci denganku yang waktu itu. Maksudku, siapa sih yang suka buntalan batu? Bajingan keras kepala sepertiku pantas diselingkuhi."
Mile pun paham kenapa Apo sangat berubah. Selanjutnya cerita Apo seperti yang dia kira, karena selingkuhan tersebut kata Apo cantik sekali. Dia manis, cocok menjadi total bottom yang sebenarnya.
Sayang, terlambat bagi Apo untuk merebut hati sang kekasih. Dia dibekuk pada seks sebelum putus. Dan dilarang klimaks meski ditumbuk hingga lumpuh. Oh, jangan lupakan juga. Si brengsek menghina Apo yang percuma memiliki tampilan jantan, tapi nyatanya suka dimasuki dalam lubangnya (padahal asal dia tahu, Apo hanya begitu untuknya selama ini).
Apo pun sakit hati karena rasa seriusnya diinjak-injak, dan dia tak pernah lagi melakukan seks dalam hubungan resmi. Kalau pun mau one night stand, ya sudah ... ayo. Namun, maaf-maaf saja. Kejadian tujuh tahun lalu sudah cukup memberikan pelajaran besar.
"Apa? Tujuh?" tanya Mile yang super kaget.
"Iya, kenapa? Aku memang tidak peduli kalau menikah muda," kata Apo. "Setidaknya pada waktu itu. Tapi asal kau tahu saja, tatapanmu itu takkan merubah apapun. Stop it."
"Bullshit, aku tetap akan menyebutnya cinta monyet yang kekanak-kanakan," kata Mile. Dia tak peduli Apo menegang karena tersinggung, malah menggamit dagu indahnya. "Tapi, ya. Bagus. Berkat itu kau sekarang bisa kupeluk. Jadi, kenapa tidak? Dia pasti menyesal kalau meninggalkanmu setelah berubah."
Apo pun menahan napas, tapi jangan sampai jatuh lagi pada mulut seorang yang suka berkata manis. "Sudahlah, minggir," katanya seraya melepaskan diri. "Aku mau telpon manajerku dulu, dia pasti bingung mencariku." Mile pun membiarkan Apo berlalu, tapi tidak menyia-nyiakan waktu. Lelaki itu mengeluarkan ponselnya sendiri karena geram, lalu menghubungi seseorang yang cukup diandalkan dalam kondisi seperti ini.
"Halo, Nodt ...."
"Ya, Tuan?"
"Bisa kau carikan aku masa lalu Apo Nattawin?" pinta Mile. "Dan catat semua teman kencannya selama ini."