Chereads / ADA ANAK IBLIS BERSEMBUNYI DI SEKOLAH / Chapter 3 - BUNUH DIRI BERANTAI

Chapter 3 - BUNUH DIRI BERANTAI

Agustus 1965, Rajja selalu mengawali paginya dengan membaca koran di belakang mobil pick up menuju titik-titik jaga lalu lintas. Angin dari laju mobil meniup-niup lembaran koran.

"Ada beritaku menangkap pencuri kemarin?" Baso berbicara dengan mengantuk.

Rajja tepat membuka lembaran koran berita Baso menangkap pencuri. Rajja memperlihatkan lembaran koran itu ke Baso.

"Tidak ada fotoku, cuma foto pencuri. Sundala." Baso terlihat tidak senang fotonya tidak ada di koran. Sundala adalah kata kasar Makassar.

Rajja kembali membuka lembaran koran. "Ada lagi anak sekolah bunuh diri," Rajja.

Lamunan pagi hari Udin pecah. Udin menarik koran dari tangan Rajja. Udin begitu serius membaca berita itu. Ini adalah ketiga kalinya anak sekolah bunuh diri di tiga sekolah berbeda, di tiga kota berbeda, di negara yang sama: Indonesia.

"Mungkin karena kondisi Indonesia sekarang. Orang-orang kelaparan," Rajja.

"Anak-anak tolo, mental lemah. Bagaimana kalau mereka hidup di jaman penjajahan?" Baso berbicara cekikikan.

"Kayak kau hidup di jaman penjajahan saja!" Udin berhenti membaca koran. Udin terlihat emosi menatap Baso.

"Orang tuaku hidup di jaman penjajahan," Jawab Baso terlihat bangga.

"Semua orang tua kita hidup di jaman penjajahan," Rajja.

Polisi-polisi lain tertawa kecil.

"Apa orang tuamu lakukan di jaman penjajahan? Apa orang tuamu seorang pahlawan atau seorang pekerja romusha?" Udin.

"Diam, sundala!" Baso.

"Apa mamamu diperkosa oleh Belanda dan Jepang?" Udin.

Baso menodongkan pistol ke arah Udin, dirinya terlihat begitu emosi. Suasana di belakang mobil pick up begitu tegang. Udin terlihat santai, tetap menatap Baso dan kembali membaca koran sementara pistol diarahkan ke dirinya. Polisi-polisi lain coba menenangkan Baso dari amarahnya.

"Ada apa ribut-ribut di belakang?!" Teriak polisi yang lebih senior mengemudi mobil.

Baso menurunkan pistolnya setelah teriakan itu dan terus menatap Udin dengan penuh amarah.

***

Sore hari angin begitu kencang, daun-daun pohon berhembus-hembus. Anak-anak bermain layangan, begitu banyak layangan terlihat di langit. Layang-layang saling beradu di langit. Anak-anak melihat ada satu layangan terjatuh dari langit. Anak-anak itu langsung berlari mengejar layangan itu dari tempat berbeda. Lama-kelamaan akhirnya anak-anak itu saling bertemu karena mengejar layangan yang sama. Anak-anak itu berlomba mendapatkan layangan yang sudah mendekati daratan. Layangan itu mengarah ke tanah kosong yang ditumbuhi rumput-rumput liar. Anak-anak itu berhenti seketika, tidak ada yang berani mengambil layangan itu. Layangan itu terjatuh tepat di atas tubuh manusia yang sudah tidak bernyawa.

Dengan cepat cerita anak-anak itu melihat mayat menyebar kemana-mana. Seorang polisi penyidik sudah berada di lokasi memasang garis polisi di sekeliling mayat itu. Orang-orang banyak berdatangan menjadikan mayat itu sebuah tontonan.

Ada seorang bapak mencoba melewati garis polisi sambil berteriak. "Anakku-anakku!" Bapak itu menangis.

Polisi penyidik menahan bapak itu melewati garis polisi. "Pak, sabar, Pak. Tidak boleh lewati garis polisi."

Bapak itu marah, mendorong polisi. "Jangan larang liat anak saya!"

Penyidik itu tetap menahan bapak itu yang terus mendorong. "Bapak bisa merusak tempat kejadian. Pembunuh anak bapak akan susah ditemukan. Bapak bisa melihat anak bapak kalau sudah dipulangkan di rumah," Polisi penyidik.

Bapak itu sudah berhenti mendorong. Nafasnya tidak beraturan melihat mayat anaknya dari kejauhan. Anaknya yang tidak pulang semalam ternyata ditemukan tak bernyawa.

***

Seminggu berlalu setelah mayat ditemukan oleh anak-anak bermain layangan. Seorang pria duduk berhadapan dengan polisi penyidik di kantor polisi.

"Kenapa kamu bunuh dia?" Polisi penyidik sangat yakin dia pembunuhnya.

"Saya tidak bunuh dia! Dia teman saya!" Pria yang diduga pembunuh.

Polisi penyidik itu tersenyum. "Di dalam penjara cukup banyak tahanan yang bunuh teman. Tapi itu bukan temanmu, saya tahu hubunganmu dengan dia."

"Maksud bapak apa?! Saya tidak bunuh dia. Bapak jangan asal tuduh," Pria yang diduga pembunuh.

Polisi-polisi baru banyak menonton, mereka sangat senang menonton interogasi pelaku kejahatan.

"Ada beberapa saksi mata, dia terakhir keluar dengan kamu." Polisi penyidik.

"Iya, Pak. Tapi kita berpisah waktu pulang," Pria yang diduga pembunuh.

"Pisau yang dipakai pisau baru. Di dekat kejadian pembunuhan ada toko alat-alat dapur. Saya singgah bertanya di sana. Anak pemilik toko bilang di malam hari ada 2 pria yang datang ke tokonya. Ada satu yang masuk membeli pisau. Anak itu tidak mengingat ciri-ciri orang yang masuk membeli pisau. Tapi dia sangat mengingat dengan orang yang menunggu di luar memakai baju pink. Sama dengan baju mayat yang ditemukan. Kau tidak berpisah waktu pulang." Polisi penyidik itu menatap kedua bola mata pria yang duduk di depannya dengan penuh keyakinan.

"Itu orang lain..." Pria itu sepertinya sudah kehabisan kata-kata.

"Berhenti berbohong. Ada sidik jari di pisau itu. Penyidik akan menyamakan dengan sidik jarimu. Sebenarnya penyidik sudah tidak butuh sidik jari lagi. Saksi mata dan bukti sudah cukup. Kau akan ditahan sekarang, sundala!" Penyidik itu berdiri meninggalkan pria itu sambil memerintahkan membawanya ke penjara.

"Apa motifnya dia membunuh?" Penyidik lainnya bertanya.

"Cemburu. Cinta sesama jenis," Penyidik.

"Tanda-tanda kiamat," Penyidik lainnya.

Udin berjalan mendekati penyidik itu. "Pak Rum, bisa minta waktunya sebentar?"

"Kenapa?" Pak Rum.

"Tentang bunuh diri berantai. Kenapa tidak ada penyidikan?" Udin.

"Karena bunuh diri. Polisi sudah melarang untuk memberitakan jika ada anak sekolah bunuh diri lagi. Berita itu sepertinya sebagai pesan untuk melanjutkan bunuh diri," Pak Rum.

"Tapi saya tidak yakin di sekolah Belanda itu bunuh diri," Udin.

"Kenapa kamu tidak yakin, detektif," Canda Pak Rum.

"Tadi pagi ada lagi bunuh diri lagi di sekolah Belanda," Udin.

"Ada lagi? Saya baru tahu," Pak Rum.

"Saya bertanya kepada anak-anak sekolah tidak ada satu pun yang melihat dia lompat. Sama dengan kejadian pertama, tidak ada satu pun yang melihat. Tiba-tiba temannya terjatuh dari atas." Udin begitu emosional bercerita.

Pak Rum mendengar Udin dengan serius. "Mereka berteriak atau tidak?"

"Saya tidak tahu, Pak. Saya tidak bertanya tentang itu," Udin.

"Saya akan ke sekolah Belanda besok." Pak Rum berjalan meninggalkan Udin.