Chapter 2 - SMA BELANDA

Nama sekolah ini Pettarani. Nama Pettarani diambil dari salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari bangsawan suku Makassar dan Bugis bernama Andi pangerang Petta Rani. Anak-anak sekolah, guru-guru, dan orang sekitar lebih biasa menyebutnya sekolah Belanda karena bekas gedung penjajahan Belanda. Bangunannya begitu khas, sangat berbeda dari sekolah-sekolah lain. Di tiap ruang dipenuhi jendela-jendela besar. Di antara jendela-jendela itu kacanya ada pecah dan ada yang sudah rusak dimakan usia. Di bagian depan sekolah terdapat dua menara di sebelah kiri dan kanan. Kedua Menara itu tempat favorit murid-murid ketika jam istirahat, melihat jalanan di luar sekolah atau melihat sekolah ini yang begitu megah. Pohon-pohon besar yang sudah tumbuh puluhan tahun menyejukkan sekolah ini, tapi membuat sekolah ini menakutkan. Aroma pohon-pohon tua itu tercium jelas di pagi hari, apalagi setelah hujan lalu diembus angin. Ada tangga di setiap sudut sekolah, berjumlah empat. Tangga-tangga itu untuk mempermudah murid dan guru memilih tangga karena sekolah ini begitu luas.

Mayat anak kurus itu sudah diangkut ambulans. Darahnya masih basah di lapangan sekolah. Teman-temannya berniat membersihkan darah itu. Tidak ada yang begitu dekat dengan anak kurus itu di kelas. Anak kurus itu adalah korban perundungan di kelas. Yaya baru saja kembali dari toilet membawa ember berisi air penuh. Mungkin Yaya satu-satunya yang cukup dekat dengan anak kurus itu. Itu pun mereka dekat karena mereka berdua sama-sama korban perundungan. Yaya bertubuh gemuk dan pendek. Teman-temannya memanggilnya battala. Battala bahasa Makassar dari gemuk. Yaya mulai menyirami darah temannya, gumpalan darah itu menyebar memudar bercampur air. Lapangan sekolah menyerap darah itu, walaupun sudah disiram berkali-kali tetap berbekas.

"Katanya kalau darah orang mati diperasi air jeruk nipis, hantunya akan gentayangan," Fadil anak yang paling tinggi di sekolah yang selalu menganggu anak kurus itu di kelas.

"Nenekku juga pernah cerita begitu, " Sambung temannya, namanya Anto.

Mereka berjalan menjauh dari darah itu setelah Yaya selesai menyiram. Mereka naik ke lantai 3, menuju kelas mereka berada. Tidak ada tanda-tanda guru memasuki kelas. Mereka berdiam di depan kelas tempat di mana temannya terjatuh. Mereka melihat ke bawah membayangkan rasanya terjatuh dari lantai 3. Anto yang biasanya tertawa dan melucu hanya terdiam.

"Hari ini kau diam sekali, Anto, " Fadil.

"Mungkin saja Wahyu bunuh diri karena kita," Anto.

"Kenapa kita? " Fadil bingung.

"Hampir tiap hari kita ganggu dia, " Anto.

"Masa cuma karena itu bunuh diri, " Fadil.

"Mamaku bilang orang bunuh diri masuk neraka, " Ike. Salah satu teman mereka.

"Kenapa? " Anto heran.

"Karena dia mendahului kehendak tuhan. Dosa bunuh diri lebih besar daripada membunuh orang, " Ike berceramah.

"Saya lebih percaya polisi tadi, mungkin Wahyu didorong. Tidak ada surat bunuh diri ditulis Wahyu, " Fadil.

"Io, tidak ada surat bunuh diri, " Ike.

"Siapa yang dorong kira-kira? " Anto.

"Didorong setan Belanda, " Canda Fadil.

Ike membalasnya begitu serius "Io, didorong setan juga bisa. "

Mereka saling bertatapan, terdiam sejenak, lalu kembali menatap ke bawah di mana Wahyu terjatuh. Air yang disiram oleh Yaya sudah meresap di lapangan. Mereka masih bisa melihat ada kemerah-merahan bekas darah Wahyu di lapangan itu.

Seminggu berlalu setelah kematian Wahyu, begitu banyak murid kesurupan tiap hari. Kesurupan sebenarnya ada hal yang wajar di sekolah gedung peninggalan Belanda ini, tapi sejak kematian Wahyu, murid yang kesurupan begitu banyak sehingga mengganggu kegiatan belajar. Seorang murid perempuan tersenyum lebar menakutkan, matanya melotot, lalu menangis dan berteriak. Teman-teman sekelasnya mengelilinginya, kebanyakan cowok. Murid-murid perempuan ketakutan, ada yang meninggalkan kelas. Guru agama memakaikan murid kesurupan itu mukena, lalu memulai membaca ayat-ayat Al-Quran. Fadil mengajak teman-temannya keluar dari kelas. Dirinya sudah bosan melihat orang kesurupan seminggu ini.

"Sudah seminggu setan Wahyu masih gentayangan," Canda Fadil.

"Tidak lucu orang mati kau jadikan bercanda," Anto.

"Mamaku bilang tidak ada orang mati yang gentayangan. Itu jin," Ike.

Mereka bertiga bisa mendengar teriakan orang-orang kesurupan dari kelas lain. Dari lantai satu ke lantai ke tiga, sekolah ini dipenuhi dengan suara teriakan orang-orang kesurupan. Guru agama begitu sibuk berpindah-pindah kelas meruqyah satu-persatu murid kesurupan.

"Kenapa Jin menggila setelah kematian Wahyu?" Fadil.

"Karena orang-orang ketakutan setelah Wahyu mati. Jin lebih gampang merasuki orang kesurupan," Ike.

Yaya anak yang berbadan gemuk pendek juga keluar dari kelas, berjalan menunduk melewati Fadil dan kawan-kawan.

"Oi battala! Uang. " Fadil memalak.

Yaya berhenti. "Tidak ada."

Fadil memeriksa mulai dari saku baju hingga saku celana. Fadil tidak menemukan uang. Fadil tidak berhenti begitu saja, mencoba mencari di kaos kaki Yaya. Yaya terlihat begitu panik.

Fadil menarik uang dari kaos kaki Yaya. "Kau bohong, battala!"

"Itu uang makanku," Yaya memelas.

"Kau itu sudah battala, jangan banyak makan lagi!"

"Kasih kembali uangnya, kasihan dia." Anto sudah mulai kesal melihat tingkah Fadil. Anto menarik uang Yaya dari tangan Fadil.

"Sejak kapan kau kasihan dengan battala?" Fadil.

"Sejak Wahyu bunuh diri." Anto berhenti sejenak berbicara. "Kau kayak anak iblis tidak punya perasaan!" Anto sudah tidak bisa menahan emosinya.

"Jaga mulutmu!" Fadil mendorong keras Anto.

Ike memisahkan teman-temannya yang sudah mulai memanas. Anto berjalan meninggalkan Fadil dan Ike mengikuti Yaya berjalan. Di lorong tangga sekolah yang panjang, suara kesurupan bergema-gema menemani langkah Yaya dan Anto menuruni tangga.

"Anto, kau sudah baca koran hari ini?" Yaya mencoba mengajak Anto berbicara.

"Saya tidak pernah baca koran. Memang kenapa?" Anto.

"Ada bunuh diri di sekolah lain. Dia juga loncat dari sekolah," Yaya.