Terlepas dari apa yang diamanatkan padanya, Gaius Julius Caesar tidak tahu akan berbuat kedepannya. Sejauh ini, ia hanya mengikuti naluri, naluri seorang penguasa yang menguasai Gaul dan menghajar orang-orang Jerman.
Dan sang penguasa Gaul serta penghajar Jerman itu kini terbaring di kasur sambil menatap kosong atap kamarnya. Dia tertarik dengan apa yang akan terjadi beberapa jam lagi, karena ujian terakhir dilaksanakan saat itu.
Ia baru saja mandi, dimandikan oleh beberapa pelayan menawan nan anggun yang membersihkan setiap senti tubuh bagian atasnya, ia sendiri yang melarang para pelayan itu untuk menjelajah lebih jauh ke tubuh bagian bawah, dan membiarkan bagian itu tertutup oleh sehelai handuk.
Walaupun begitu, Caesar masih berenergi. Ia bangkit, keluar kamar, dan berjalan-jalan menjelajahi bangunan ini, baik bagian luar maupun dalam.
Ia menemui dirinya berdiri di lorong lantai dasar dekat taman, memandangi air mancur di pertengahan taman yang bergerak secara konstan dan menenangkan, gemericik airnya terdengar sampai ke daun telinga, memberi kesan damai dan tentram, berbeda dengan kehidupan sehari-harinya dulu sebagai manusia tertinggi di Roma.
Saat menggerakkan mata, ia mendapati Milius duduk di Gazebo, bersama dua pria tua yang mungkin adalah penjaga dan pelayannya, tak luput dengan tangan kanannya yang setia; Cornelia, serta tumpukan kertas yang berserakan di sekitar tempatnya duduk.
Saat mata kedua individu bertemu, Milius duluan lah yang menyapa.
"Oh, hei Caesar!"
Caesar membalas sapaan itu dengan lambaian tangan.
"Kemarilah!"
Caesar hanya menurut karena tak memiliki alasan untuk menolak, sesampainya di Gazebo itu ia merasakan tatapan tajam dari Cornelia, bagaimanapun ia berusaha tuk menghiraukan gadis itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Milius.
"Tak ada, hanya berkeliling sedikit."
"Kau tak punya kesibukan, ya?"
Caesar mengangguk seraya menurunkan badan untuk duduk.
"Sang calon penjaga baru sedang mengobservasi tata letak rumah ini, nona, agar suatu saat jika musuh menyerang, ia bisa memanfaatkannya untuk mengalahkan musuh." Cuirass terkekeh, begitu pula dengan Milius.
"Ada gudang senjata di pojok mansiun ini, Caesar. Hanya memberitahu jikalau kau ingin berduel dengan Cuirass." kali ini Seraval yang menyampaikan candaan, Caesar ikut terkekeh supaya suasananya tidak canggung.
"Sepertinya kalian harus menunda acara duelnya dulu, karena rombongan pasukan elit kerajaan telah menumpas pemberontakan di Arus, mereka akan mengunjungi desa ini untuk menyuplai kebutuhan mereka dan akan pergi sehari kemudian, jumlahnya hanya seribu orang," Milius memberi kabar sambil menunjukkan sepotong kertas.
"Seribu orang? Tapi pemberontak dari wilayah itu jumlahnya sepuluh ribu orang!" cakap Cornelia terkejut.
"Yah.. Mereka hanya banyak berlatih, Lia."
"Bagaimana dengan lawan mereka?" Caesar spontan bertanya.
Pikiran bawah sadarnya tercolek begitu ada yang membahas hal-hal berbau militer dan peperangan. Tak heran, ia dulunya mengkomandani legiun kolosal dalam melawan suku-suku Jerman dan Gaul, ia adalah veteran sejati.
"Kau tertarik dengan hal ini ya, Caesey?" Milius tersenyum simpul.
"Musuh mereka hanyalah para anggota suku Azerim, mereka menetap di provinsi Arus, hanya sehari perjalanan ke timur dari desa ini. Mereka suku yang tidak terlalu miskin atau kaya, jadi mereka hanya bersenjatakan kapak atau tombak buatan. Tidak ada perisai, tidak ada armor besi atau helm, hanya bermodalkan kemarahan karena sang raja menaikkan pajak hingga dua kali lipat."
"Dan asal kau tahu, aku di desa ini karena mengungsi dari mereka. Tempat tinggalku yang sebenarnya berada di sebuah kota di timur, satu setengah hari perjalanan dari sini, namun sayangnya para pemberontak itu menguasainya tiga bulan yang lalu." Milius menghela napas, ekspresinya seolah berkata 'Ya Sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu.'
"Mereka menggunakan formasi atau semacamnya?" Caesar menanyakan pertanyaan kedua.
Milius menggeleng, "Tidak, mereka hanyalah penduduk biasa, Caesey, mereka tidak terlatih."
"Berbeda dengan pasukan elit itu, mereka mempunyai perlengkapan lengkap, mulai dari Helm, Armor, pedang, tombak, hingga perisai. Mereka juga dilatih bertarung menggunakan formasi Phalanx," tambah gadis itu.
Caesar sedikit tersentak begitu mendengar nama formasi mereka, nama yang tidak asing di telinganya sebagai Konsul negara yang memerintah di atas tanah Yunani.
Phalanx, adalah strategi kuno yang sering digunakan oleh negara-negara di tanah Olympus itu. Sparta, Thebes, Athens, Makedonia, Epirus, tak ada satupun negara Yunani yang tak pernah menggunakan strategi tersebut.
Bahkan Roma sendiri menyalin taktik itu untuk melawan berbagai suku di Italia pada masa mudanya, sebelum para petinggi militernya mengganti dengan taktik Maniples untuk melawan suku-suku di pegunungan Itali tengah.
"Phalanx.. Phalanx.." Caesar bergumam tanpa sadar.
"Yak.. Daripada mengurusi urusan politik yang membosankan, bagaimana kalau kita langsung mengetes kekuatanmu." Cuirass mengangkat tubuhnya, ia kemudian berjalan ke tengah taman dan menarik pedang dari sarungnya.
Cornelia menyodorkan pedang miliknya, tanpa ragu Caesar menerima pedang itu dan menempatkan diri beberapa meter di hadapan Cuirass, dengan kuda-kuda siap bertarung.
"Siap?" Tanya Cuirass.
"Selalu."
Pria tua itu berjalan ke depan, pelan namun pasti. Ia kemudian mengayunkan pedang ke depan, pasti membelah kepala Caesar jika ia tidak menangkisnya dengan pedang Cornelia.
Caesar menjauhkan pedang Cuirass darinya, kemudian melancarkan rentetan serangan balik yang tak menggoreskan satupun luka di kulit pria tua itu. Namun satu serangan terakhir yang ia lancarkan saat Cuirass hendak menyerang balik membuat pedang pria tua itu terlempar.
Biarpun demikian, pria tua itu masih memiliki tangan sebagai senjata. Ia mendaratkan serangan kuat dengan tinjunya di pipi Caesar, lalu menghantam pelipisnya dengan siku.
namun sang mantan kaisar tidak mudah goyah, ia menggores kepalan tinju Cuirass yang tengah melayang menggunakan mata pedangnya. Serangan itu sangat presisi, hanya menggores dan tidak memotong, kurang jelas ke-presisi-an itu adalah kesengajaan Caesar atau kebetulan belaka, yang jelas serangan itu seolah menyentak Cuirass untuk membatalkan serangan.
Sang penjaga melekatkan pandangan pada jarinya yang tergores dan berdarah. Ia bernostalgia, sudah lama ia tidak terluka seperti ini, dan tak lama kemudian terulas senyum di bibirnya.
Ia mengambil pedangnya yang tergeletak di rumput, dengan segera ia melayangkan serangan secara membabi buta, terus memaksa Caesar untuk mundur untuk menjaga jarak.
Pertarungan menjadi intens dalam sesaat. Namun di tengah pertarungan yang intens, Caesar menemukan celah untuk menyerang. Ia menendang tumit Cuirass, sama seperti saat ia mengalahkan Cornelia.
Namun yang membuatnya tertegun adalah, pria tua itu tidak jatuh setelah itu, lebih tepatnya pijakan kakinya tidak bergerak sama sekali, seolah ia adalah bagian dari bumi itu sendiri.
Pertarungan yang sengit kembali berlanjut, kali ini Cuirass bahkan memberikan luka sayatan pada lengan dan paha Caesar, membalaskan luka yang ia terima beberapa saat yang lalu.
Bagaimanapun Caesar berhasil menemukan celah kedua, ia menahan pedang Cuirass, kemudian membenturkan dahinya ke hidung pria tua itu, dan menendang perutnya dengan tendangan lurus.
Kini Cuirass terduduk di atas rumput, pedangnya terlempar cukup jauh, dan Caesar memanfaatkan momen krusial itu dengan menempelkan sisi tajam pedangnya ke leher pria tua itu, secara resmi mengakhiri pertarungan sengit tersebut.
Plok! Plok! Plok!
Seraval bertepuk tangan, diikuti Milius, kemudian Cornelia dengan berat hati.
Tak lama kemudian Cuirass tertawa kecil dengan senyuman lebar, ia bertepuk tangan setelah itu dan berkata; "Selamat, Junior!", sebuah pesan jelas dan singkat yang menyatakan bahwa Caesar telah melewati tes terakhirnya.
***
"Aku sudah bilang padamu, berhentilah bersikap seperti pelacur!" ucap Caesar begitu ia mendapati kamar yang dihias sedemikian rupa, dengan warna merah sebagai warna dominan, dan taburan mawar di atas kasur dengan Milius berbaring di antaranya.
"Kenapa kau sangat kaku, hah?"
Milius berdiri, melangkah pelan ke arah Caesar kemudian menggenggam tangannya. Dengan gerakan yang tidak tergesa-gesa ia menarik Caesar ke tempat tidur dan mendudukkannya di tepian.
"Caesey yang manis.."
Tangan gadis berusia 20an itu bergerak menyapu bahu dan leher Caesar, kemudian mengelus-elus kepalanya, dengan maksud memberi perasaan hangat sebanyak yang ia bisa.
"Kenapa kau sangat kaku.. Hah..?" Milius mengulang pertanyaan yang sama, ia memeluk erat-erat tubuh kokoh itu sekuat yang ia bisa.
"Lihat aku, Caesar.."
Ia menaruh kedua telapak tangan di pipi Caesar, lalu menolehkan kepalanya menghadap wajah cantik nan menggoda itu.
"Ini kali pertamaku, tahu?"
Yang Caesar lihat saat ini adalah sebuah wajah merona yang semerah apel, yang penuh nafsu, dan sangat-sangat menginginkannya. Kecantikan gadis itu bahkan bisa disandingkan dengan Cornelia, bahkan lebih tinggi lagi, itu adalah tingkat kecantikan yang berada di level lain, dan Caesar mengakui itu.
Namun ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya.
"Aku sudah pernah menikah dan memiliki seorang anak."
Pernyataan itu menyentak Milius, perlahan ia melepaskan setiap sentuhannya dan bergerak menjauh.
"A-..apa?"
"Namun keduanya mati, Milius."
Nada bicara Caesar menurun, menjadi tenang dalam waktu yang singkat.
"Pernikahan muda.. Ya? Kau dijodohkan orangtuamu dengan wanita yang lebih tua darimu, begitu? Pasti sangat berat ya." Milius tiba-tiba kehilangan semangatnya.
"Momen ketika mereka masih hidup, adalah momen paling membahagiakan dalam hidupku, tapi mereka sudah mati, dan di sinilah diriku."
Caesar melekatkan pandangannya ke wajah Milius, tatapannya tampak serius, namun juga mengandung sedikit kesan sedih.
"Kau sangat cantik, Milius, lebih dari semua wanita yang pernah kutemui. Tapi maaf, setiap kali kau menggodaku, setiap kali kau berusaha merayuku, terbayang wajah istri dan anakku di depan mataku."
Muncul beban berat di hati Milius, ia rasa beban itu hanya akan hilang jika ia meminta maaf.
"Aku mungkin sedikit memaksa.. maaf, Caesar." Milius menunduk dengan rasa bersalah, "Kau hanya.. Sangat-sangat indah dan menawan, kau membuatku berdebar-debar, Caesar, kau hanya membuatku ingin memilikimu sepenuhnya."
"Kau sangat tampan, itu saja."
Caesar terkekeh, mencairkan suasana yang tadinya cukup sedih. "Ya memang aku sangat tampan, aku sendiri heran kenapa aku sangat tampan," ia melanjutkan tawanya.
Milius ikut tertawa bersama, dipikir-pikir ini kali pertamanya melihat Caesar melepaskan tawaan, ini adalah momen berharga dalam hidupnya.
"Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk melakukan ini semua. Ini pertama kalinya aku mengejar seseorang juga pertama kalinya ditolak mentah-mentah." Milius menggerakkan kaki turun dari kasurnya.
"Teh? Kopi mungkin? Atau susu?" tawarnya.
"Kopi mungkin lebih baik."
Milius segera menumbuk beberapa butir bijih kopi dan menuangkan air panas dari teko ke gelas.
Selagi gadis itu mempersiapkan kopi, Caesar berjalan menjelajahi barang-barang mewah di kamar tersebut. Terdapat belasan artifak yang tersusun rapi di atas laci dan lemari pendek, di sisi lain juga ada koleksi perhiasan dari berbagai jenis material yang tertanggal di leher patung torso mini, namun yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah peta besar yang memenuhi bagian tengah dinding.
"Ini.. Peta dunia?" tanya Caesar.
"Umm.. Ya!"
Terdapat satu benua besar dengan banyak negara di dalamnya, di luar benua itu juga terdapat banyak pulau yang menjadi tempat berdirinya negara-negara kepulauan.
Terdapat beberapa negara yang diberi warna; Voretamia dengan warna biru, Azaria dengan warna ungu, serta Metasia dengan warna coklat, Caesar menebak bahwa negara-negara itu adalah mereka yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Voretamia.
"Katakan padaku, Milius."
Milius langsung menoleh dengan rasa heran.
"Bukankah.." Caesar menunjuk peta itu seraya menatap sang Barones, "Bukankah lebih baik kalau seluruh benua ini di beri warna merah?"