Pada siang hari, para prajurit elit akhirnya sampai di desa Milius.
Mereka mengenakan pelat baja serba putih dengan sedikit bagian berwarna kuning. Bersenjatakan tombak merah dengan kepala emas berkilau, dan perisai bundar kecil dengan warna yang sama, para prajurit itu dipenuhi dengan kesan tangguh, agung, dan makmur.
Pemimpin mereka berada di depan dengan menunggangi kuda ber-armor emas. Ia mengenakan pakaian perwira gagah yang menyebarkan pesan akan kedudukan tingginya ke setiap mata yang melihat. Dengan tampang 50an dan mata tajam seperti milik sang elang, lengkaplah sudah ciri-ciri seorang pemimpin di dalam dirinya.
Ia membawa batalion prajurit elitnya; Pasukan Tarsia, menuju kemenangan atas tiga pertempuran di sekitar pesisir timur; daerah bernama Arus, menelan seratus nyawa dari pasukannya, namun juga merenggut tujuh ribu jiwa dari pihak musuh.
Dialah Voliar, pemimpin pasukan elit Tarsia generasi kedua.
"Berbaris!" teriaknya lantang pada pasukannya.
Dalam beberapa menit, para pasukan elit itu mulai terorganisir, membentuk barisan berjumlah lima bait yang memanjang ke belakang.
Setelah semua prajurit telah berbaris, Voliar menginstruksikan lagi. "Kita akan memasuki desa ini, pasang wajah ramah dan perlakukan mereka seperti keluargamu sendiri."
"Kecuali untuk satu orang nanti," gumamnya.
Voliar memacu kuda pelan, diikuti pasukannya ia bergerak menyusuri jalanan desa, di mana ribuan penduduk telah menunggu dengan antusiasme tinggi.
"Tarsia telah datang!!"
Seseorang berteriak, mengumumkan kepada semua orang, lautan manusia langsung mengucapkan sambutan dan ucapan selamat kepada Tarsia. Mereka dibatasi oleh sekelompok orang yang membentuk pagar, jikalau tidak mungkin tangan mereka yang melambai-lambai sudah lama menyentuh para prajurit itu.
"Mereka datang!"
"Para Pahlawan!"
"Penyelamat kerajaan!"
Voliar tersenyum puas, sedari tadi ia melambaikan tangan kepada orang-orang jelata itu. Terdapat rasa bangga yang besar akan kemenangannya di benak pria tersebut.
Barisan panjang pasukan itupun sampai pada satu tempat, di sana sang Barones menyambut mereka dengan senyuman manis, melelehkan Voliar di balik wajah datar nan sangarnya.
"Selamat datang, para penyelamat!" Milius berjalan pelan mendekati kuda Voliar.
Voliar segera turun dari kudanya dan berkata; "Bagaimana kabar anda, Barones?"
Milius menoleh ke Caesar yang berada di belakang bersama Cornelia, Cuirass, Seraval, dan puluhan pelayannya.
"Tidak pernah sebaik ini," ucapnya dengan senyum terulas. Voliar yang membaca gerakan Milius pun tersadar akan sesuatu, senyum mengembang dari garis bibirnya selagi ia mengangguk-angguk.
Pria itu menepuk-nepuk bahu Milius, "Dia sangat gagah!"
"Aku tahu."
Pria itu berbalik ke pasukannya, kemudian mengucap sepatah kata; "kalian bebas melakukan apa saja di disini. Mabuk-mabukan, makan besar, menyewa lacur, terserah! asalkan besok kalian sudah berkumpul di sini sebelum matahari berada di atas kepala!"
"Baik, pak!" balas mereka lantang dan serempak.
"Bubar."
Satu kata itu membuat seluruh pasukan meninggalkan barisannya, menyebar ke segala arah sesuai dengan tujuan masing-masing, menyisakan Voliar dan dua orang kepercayaannya di samping kiri dan kanan.
"Tapi sebelum itu, maukah anda 'mencoba' kedua temanku terlebih dahulu?" tanya Voliar sambil merangkul leher kedua prajuritnya sampai mereka meringis bersamaan.
"Tidak, terimakasih, saya akan mengejarnya sampai dapat," Milius lagi-lagi tersenyum.
Keduanya mulai berjalan memasuki halaman mansiun, diekori oleh anak buah masing-masing di belakang.
"Jadi, bagaimana dengan kampanye militer anda?" Milius membuka percakapan.
"Jangan khawatir, saya hanya kehilangan seratus orang."
"Untuk para unit elit seperti kalian, bukankah itu jumlah yang cukup banyak?"
Voliar menggeser tatapan ke wajah Milius yang polos, seakan tidak merasa tak sopan mengatakan hal itu, "Benar, Barones."
"Namun," Voliar kembali menatap lurus dengan dagu terangkat, "Itu termasuk jumlah yang sedikit jika anda melihat jumlah pasukan musuh yang mencapai sepuluh ribu orang, sepuluh kali lipat dari pasukan saya, namun bagaimanapun saya tetap bisa membunuh tujuh ribu orang dari mereka dengan korban yang hanya berjumlah seratus nyawa di pihak saya. Tentu saja orang awam seperti anda akan menganggap hal itu biasa-biasa saja. "
Milius hanya terkekeh mendengar itu, ia berhenti ketika melihat seorang pelayan membawakan secangkir teh untuknya, ia pun lanjut berjalan sambil menyeduh teh tersebut.
"Lupakan dulu soal kampanye militer saya, Barones," kata Voliar. "Saya heran akan satu hal.."
Milius terdiam tidak menanggapi, lebih tepatnya menunggu dengan sabar apa yang ingin perwira itu katakan.
"Saya telah melakukan penyelidikan, Barones. Dan saya menemukan fakta bahwa pemberontakan itu bermula dari kota anda, Mileva? Padahal semua orang bilang bahwa anda adalah bangsawan yang baik, nona."
"Yah.. Pemberontakan bisa bermula di mana saja, tuan. Sebelum anda menuduh yang tidak-tidak, saya ingin anda tahu bahwa saya hanyalah satu dari sekian banyak orang kurang beruntung karena harus mengungsi dari tempat tinggalnya sendiri sebab pemberontakan yang terjadi tiba-tiba."
Voliar terdiam, dari awal ia sudah meremehkan bangsawan muda ini, ia tak tahu bahwa gadis yang baru matang itu dapat bercakap sedemikian lihainya.
"Anda benar, maaf karena saya sudah terlalu jauh." Voliar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Tidak apa-apa, semua orang melakukan kesalahan," tanggap gadis itu dengan senyuman manisnya.
"Kalau begitu saya sudah menyediakan kamar untuk anda beserta kedua teman anda, silahkan beristirahat hingga esok hari. Pelayanku akan tunjukkan kamarnya."
Ia kemudian memerintah dua pelayannya untuk melakukan apa yang baru saja ia katakan. Dua orang pelayan langsung mendekati Voliar beserta bawahannya, tanpa basa-basi langsung menuntun ketiga pria itu ke tempat yang dimaksud.
Dengan tenang Milius berbalik seraya menyeruput tehnya. Ia melangkahkan kaki ke arah Caesar, terlihat hendak menyapa pria itu. Namun di tengah jalan, cangkirnya jatuh, diikuti oleh ambruknya tubuh menawan itu di atas permukaan jalanan batu.
"Milius!"
Cornelia langsung bergegas, diikuti oleh Seraval, Cuirass, lalu Caesar, dan selang sedetik saja para pelayannya sudah mengerumuni.
Cornelia tidak mengambil jeda, ia langsung mengecek urat nadi Milius di leher, kemudian menempelkan punggung tangannya di dahi, dan mendapati dirinya bisa sedikit bernapas lega karena hasil pemeriksaan itu.
"Ia hanya kelelahan," ucap Cornelia, "Tadi malam ia tidak tidur, dan hanya duduk di taman."
Cornelia mengelus-elus kepala gadis itu, "Ku kira dia diracuni tadi."
***
Milius membuka mata.
Dengan kesadaran yang tak genap ia melihat ke sekeliling, mendapati diri terbaring di kasur kamarnya dengan orang-orang terdekatnya di sekeliling.
"Oh... Sial.." tangannya bergerak mengusap wajah kemudian melakukan pijatan di dahi. Ia mendudukkan diri dan menurunkan kedua kakinya.
"Hei, kau mau kemana?" tanya Cornelia, "Setidaknya beristirahatlah lima menit lebih lama!"
"Aku sibuk, Cornelia," jawabnya dengan nada lirih dan lemas.
Saat ia berjalan menuju pintu, Caesar sudah berdiri di sana untuk menghadang gadis itu. "Sepuluh menit saja sudah cukup."
"Ada apa dengan kalian? Biarkan aku bergerak..!" dengan frustasi, ia melontarkan permintaan.
"Kau ingin bergerak? Mungkin sedikit berkeliling dapat membantu." Caesar menepi, ia mempersilahkan gadis itu keluar dengan gestur tangannya.
"Ayo berkeliling di desa," ajak Caesar.
"Di desa?"
"Aku sibuk, Caesar!"
"Sudahlaaah..!"
Pria itu mengacak-acak rambut Milius, kemudian merangkul bahunya. Seketika sang Barones merasakan kehangatan dari seorang rakyat jelata —Begitulah Pikirnya—, kali ini bukan perasaan panas bergairah seperti tadi malam yang ia rasakan, namun lebih ke pertemanan dan persahabatan yang amat kuat.
"Sepertinya jalan santai selama lima menit sudah cukup." Milius akhirnya setuju.
Mereka pun pergi menuju ke desa, menyusuri jalanan tanah yang diisi oleh para warga yang berlalu lalang, terkadang juga terlihat beberapa prajurit pribadinya yang bergerak ke sana kemari.
"Merasa baikan?"
Milius mengangguk.
"Bagus.."
"kadang sedikit beraktivitas dapat menyembuhkan berbagai sakit ringan."
"Ya, sepertinya begitu." gadis itu menarik ujung bibirnya ke atas. Dia melirik ke wajah gagah Caesar, hanya untuk memunculkan rona merah di pipi dan dentuman hati yang menguat, saat ia menatap lurus kembali, perasaan hangat itu masih tertahan di sanubarinya.
"Caesar.."
"Hmm.."
"Mau ke pasar? Aku akan membelikanmu sesuatu."
Caesar tak punya alasan tuk menolak, ia mengiyakan ajakan itu dengan santai; "Tentu."
Mereka berdua melangkahkan kaki menuju tempat destinasi, kecanggungan tercipta begitu keheningan melanda, lebih tepatnya, hanya Milius yang merasa canggung, Caesar di sini merasa hanya melakukan tugasnya sebagai pengawal. Lima puluh tahun pengalaman hidupnya di masa lalu tentu membentuknya menjadi pribadi yang tidak polos, tahu arti dari seorang wanita, dan beberapa fungsi krusialnya. Namun sungguh, ia hanya tidak tertarik pada Milius, ia sudah pernah menjalani hubungan tidak sah dengan seseorang, dan saat itu pula ia merasa begitu jahat pada mendiang istrinya. Caesar tidak ingin hal itu terulang lagi.
"Ah! Apel!" begitu sampai di pasar, Milius langsung menyerbu sebuah toko apel, Caesar hanya bisa mengikuti dengan santai.
"Kau mau apel, Caesar?" Milius menyodorkan sebuah apel pada Caesar.
"Ya, tentu." Caesar menerima apel itu, dan menggigitnya. "Enak."
"Kan? Kan? Apel di daerahku adalah yang terbaik di seluruh kerajaan!" Milius ikut menciptakan bekas gigitan di buah itu.
Gadis itu kemudian memberikan satu koin perak pada si penjual, penjual yang merasa bahwa itu terlalu banyak pun hendak mengembalikan koin tersebut. Namun Milius dengan senyuman manisnya menolak, "Simpan saja."
Dengan senyuman bahagia dan rasa bersyukur yang dalam, pedagang itupun berterimakasih.
"Buah-buahan adalah produk unggulan dari wilayahku, selain itu aku juga memproduksi peralatan perang dan biji-bijian, seperti kacang dan gandum misalnya," ujar sang Barones.
"Dan kenapa kau memberitahuku ini?" tanya Caesar.
"Yah, memangnya salah? Aku hanya ingin memberitahumu sumber kekayaanku yang tak seberapa."
Caesar sedikit terkekeh, "Jika kita melanjutkan pembicaraan ini, mungkin kau juga akan membeberkan rahasia kesuksesanmu padaku."
"Aku tidak keberatan melakukannya."
"Aku hanya punya sedikit petuah, nona."
Milius mengangkat sebelah alisnya, "Hmm?"
"Jagalah kata-katamu, sebelum musuhmu menggunakannya sebagai pedang untuk melawan dirimu.."
Gadis itu terkekeh, "Oke.. Oke.."
"Tapi aku yakin, Caesey yang tangguh ini tidak akan menjadi musuhku," tambahnya sembari menoleh ke Caesar.
Caesar menatapnya balik, "Menurutmu begitu?"
Bangsawan itu mengangguk pelan, "Ya!"
"Semoga saja begitu."
"Dan kuharap kau benar-benar melindungiku saat aku dalam bahaya."
"Akan kulakukan demi uang."
"Oh, benar juga." Milius mengambil sekantong perak dari balik toga putihnya. "Ini bonus untukmu karena telah menemaniku."
Caesar menatap kantong itu, ia menebak setidaknya ada dua puluh koin perak di dalamnya. Begitu Milius hendak menyerahkan kantong itu, Caesar menganggap gadis itu orang yang benar-benar dermawan. Ia dapat melihat gambaran dirinya yang dulu pada Milius, bersahabat dengan rakyat jelata, dan dermawan kepada orang-orang miskin, walaupun sebagian dari itu ia lakukan untuk menggaet dukungan politik dari para penduduk Roma.
"Dasar dermawan."
Saat Caesar hendak menerima kantong itu, sebuah tangan tampak menyambarnya. Seseorang berlari melewati mereka dan mencuri kantong koin perak tersebut.
"Oh sial!" umpat Milius. Kedua orang itu mendapati seorang pria botak nan kurus berlari menjauhi mereka. "Kejar dia!"
Keduanya berlari mengejar pria botak itu, namun fisik Caesar yang telah ditempa tentu saja mengalahkan Milius dalam hal berlari, sehingga sang mantan kaisar itu meninggalkan majikannya di belakang.
Terintimidasi oleh kecepatan lari Caesar, pria botak itu menjadi panik, ia segera memaksa kakinya untuk melangkah lebih cepat.
Pria botak itu berbelok ke sebuah gang, dengan dada yang sakit ia berbelok lagi ke kiri, memanfaatkan pengetahuannya tentang ruas-ruas jalan di gang tersebut.
Dalam hal pengetahuan, kali ini Caesar kalah.
Namun Caesar menang telak dalam hal fisik, kemampuan berlarinya menakuti pria itu sehingga dia menjadi panik dan mengambil sembarang arah. Dengan jantung penuh rasa sakit, ia menemui tembok yang menjulang tinggi di depannya. Dan ketika ia menoleh ke belakang, ia dapati Caesar berdiri dengan mengenakan baju kulitnya.
Pada akhirnya, Pria botak itu kalah, Caesar yang menang.
"Kembalikan, itu uangku."
Caesar menarik pedangnya.
Lutut pria botak itu jatuh lemas, dengan wajah yang melas dan putus asa ia menggerakkan tubuh kurusnya ke belakang, beriringan dengan langkah Caesar yang makin mendekat.
Dan saat punggungnya menyentuh tembok batu itu, ia tahu bahwa dirinya telah tamat.
"Ini! Ini!" ia melempar kantong koin itu, dengan harapan Caesar akan melupakan segalanya dan pergi.
Caesar berhenti untuk memungut kantong koin itu, namun, tidak seperti yang pria botak itu harapkan, masih mengganjal keinginan di hati Caesar untuk memberinya sebuah pelajaran.
Caesar melanjutkan langkahnya.
"Aku sudah memberikan uangmu! Apa yang ingin kau lakukan??!" dengan nada histeris pria itu mengangkat kedua telapak tangannya, namun Caesar tidak kunjung berhenti.
Pria tua itu merapatkan dirinya ke tembok, menekuk lututnya ke wajah dan merangkulnya sambil bergetar hebat. Takdirnya sungguh malang.
Sang mantan kaisar mengangkat pedang, bersiap untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal.
Namun.
"Berhenti Caesar!"
Sang pengucap terdengar familiar, begitu menoleh ke belakang, Caesar mendapati Milius yang membungkuk dengan dada terpompa.
"Apa yang akan kau lakukan, hah?!" Milius berjalan cepat menghadap Caesar.
"Dia mencuri hartamu!"
"Benar! Tapi bukan berarti kau boleh membunuhnya!"
Milius mendekati pria renta itu, ia membungkuk dan menggerakkan tangannya pelan tuk menyentuhnya.
"Tidak apa, tuan.."
Pria renta itu membuka rangkulannya, memperlihatkan wajah rapuh yang masih sedikit trauma.
"Katakan, kenapa kau mencuri?" tanyanya lembut.
"Cucuku, Barones.. Ia jatuh sakit.." dengan nada bergetar ia berkata.
"Sakit?"
"Ia demam sejak dua minggu yang lalu, keadaannya memburuk beberapa hari belakangan karena obatnya habis.."
Tak lama kemudian, ia menutupi mulutnya dan terbatuk parah, dapat dilihat dengan mata telanjang bercak darah di telapak tangannya.
"Kau juga sakit?"
"Barones, tolong selamatkan cucuku! Ayahnya tewas dalam perang, ia tak memiliki ibu karena anakku memungutnya dari jalanan. Ia sudah pernah merasakan kejamnya hidup, dan aku tak mau ia merasakannya lagi." Pria tua itu menutupi kedua wajahnya dengan telapak tangan.
"Untuk sementara, pindahlah ke kediamanku, akan ku rawat kalian berdua dengan tabib pribadi ku."
"Nona, hidupku sudah tiada harapan, kumohon sembuhkan cucuku saja!"
Ia terbatuk lagi, kali ini batuknya mengecat jalanan batu dengan seteguk darah, tampaknya kejar-kejaran tadi memperburuk kondisinya.
"Nona? Ada apa?" dua orang prajurit Milius menampakkan diri, mereka biasanya berpatroli di pedesaan untuk mengurangi angka kejahatan, dan sepertinya mereka melihat Milius berlari ke tempat ini.
"Tolong antar kakek ini kerumahnya, lalu bawa dia beserta cucunya ke kediamanku, suruh seorang tabib untuk merawatnya," seru Milius.
Kedua prajurit itu memandang kakek tersebut, lalu saling pandang satu sama lain. Tak lama kemudian mereka berkata; "Baik, nona!"
Milius berdiri, dengan langkah kesal ia menarik tangan Caesar.
"Ikuti aku, aku akan membawamu ke suatu tempat."