"Tentu saja di kamar tamu yang berada di samping kamar tuan Edzhar, Nona." Gilda yang mendengar jawaban Mona tentu saja terkejut, sampai menelan ludahnya sendiri dengan mata membola. Melihat ekspresi Gilda, Mona pun bertanya, "Apakah ada yang salah dengan kamar itu?"
"Ti-tidak, tidak ada, Mona. Terima kasih sudah menolongku kemarin." Gilda tersenyum tipis dengan pikiran kacau. Mendekatkan gelas berisi susu vanila hangat ke bibir, dia berkata, "Terima kasih juga untuk minumannya ...." Mona lantas kembali ke dapur untuk menyiapkan menu sarapan khusus perintah Mateo Martinez.
"Jadi, siapa yang membawaku ke kamar Edzhar?" gumam Gilda yang menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia merasa bodoh jika memang itu yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, bagaimana kalau ada yang menjebaknya? Kalau iya, siapa? Membuang napasnya, Gilda kembali minum.
"Tidak mungkin orang-orang di sini melakukan hal gila itu," lirihnya sebelum bangun dari kursi. Apalagi saat membayangkan wajah Mateo, sepertinya sangat mustahil bagi Gilda kalau pria tua itu merencanakan hal konyol. Ia menambahkan, "Termasuk kakek, tidak mungkin ... lalu, siapa? Dan untuk apa?"Gilda terdiam sebentar sebelum bertanya pelan pada diri sendiri, ucapnya, "Mungkinkah aku berjalan ke kamarnya tanpa sadar?"
Selesai mencuci gelas di dapur, Gilda didatangi oleh sopir keluarga dari Martinez. Pria itu diperintahkan Mateo untuk mengantarnya pulang. Ia pun dengan rasa sungkan menerima perlakuan baik Mateo. Gilda begitu merasa bahwa dirinya sangat merepotkan, tapi Mateo selalu memaksanya.
"Jika kau tidak menerima perlakuan baikku, aku merasa gagal memperlakukan seorang tamu yang sudah kuanggap bagian dari keluargaku sendiri, Nak ...," ucap Mateo sebelum dia melihat Gilda masuk ke dalam mobilnya. Pria tua itu melambaikan tangan hingga mobil putihnya menjauh dari halaman rumah, dan benar-benar tak terlihat. "Kau sungguh kuanggap seperti cucuku sendiri, Gilda. Seperti kasih sayang seorang kakek terhadap cucunya, aku pun tidak rela sesuatu yang terburuk terjadi padamu."
*
Satu minggu penuh Gilda tidak pernah mengabari Edzhar apalagi bertemu. Gadis itu benar-benar tidak berani jika harus berhadapan dengan sahabatnya. Gilda takut kalau peristiwa malam itu kembali mengusik, dan membuatnya kembali kepikiran. Alhasil, dia hanya menyibukkan diri di toko roti. Edzhar sendiri juga tidak menghubunginya sampai detik ini.
Pagi-pagi sekali gadis itu sudah bergabung dengan para pekerja di ruang khusus produksi roti. Tugas Gilda adalah menimbang berat adonan roti satu-persatu dan membentuknya menjadi bulatan. Sementara dua karyawan di sekitarnya tengah mengisi adonan yang siap dihias dengan cokelat, kacang, dan berbagai topping lain. Satu pegawai laki-laki berdiri memasukkan roti yang sudah dihias ke dalam oven.
Gilda yang asyik membentuk adonan roti, mendadak dikejutkan dengan sang bibi yang masuk dan mengatakan, "Edzhar datang ke toko mencarimu." Dengan kaget Gilda berdiri. "Temuilah, sepertinya ada hal serius yang ingin dia bicarakan."
"E-Edzhar?" Dalila mengangguk. Dengan sangat gugup, Gilda berjalan ke wastafel, mencuci tangan sebelum menemui lelaki itu. "Apa mungkin Ed sudah ingat apa yang kami lakukan malam itu?" gumamnya di dalam hati sambil berjalan menuju pintu keluar.
Sampai di toko roti, pria berkemeja putih bersih itu membelakanginya. Dengan menarik napas panjang Gilda memanggil, "Ed?" Pria yang dipanggil itu menoleh. "Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya seraya menghembuskan napas dan tersenyum.
"Aku ingin mengundangmu ke acara tunangan sekaligus lamaran."
Gilda yang semula gugup, jadi bingung. Dengan dahi berkerut, dia bertanya, "Memangnya siapa yang akan bertunangan?"
"Sore nanti aku akan melamar Carla," ungkap pria yang tengah tersenyum lebar itu. "Kakek dan aku akan mendatangi keluarganya. Kakek memintaku untuk mengajakmu, karena itulah aku langsung ke tokomu."
"Untuk apa aku ikut? Aku bukan keluargamu, Ed. Aku tidak seharusnya ikut."
"Kakek sudah menganggapmu sebagai cucunya, Gilda." Edzhar dengan senyum tampannya mengambil salah satu tangan Gilda dan meneruskan, "Jadi, ikutlah ... aku juga akan senang kalau sahabatku datang di hari baikku. Kakek yang sudah mempersiapkan acara mewah ini, pasti beliau mengundang banyak orang."
Gilda ber-oh ria. "Berarti acara lamaran kalian tidak privasi?" Edzhar menggeleng dengan senyum lebarnya.
"Bagaimana? Kau akan datang, 'kan?"
Mendengar pertanyaan Edzhar dan melihat senyum cerah terpatri di wajah lelaki itu, entah mengapa tiba-tiba ada perasaan sedih yang bersarang di dalam hati Gilda. Hatinya terasa aneh, seperti ada rasa tak rela Edzhar melangkah ke jenjang yang lebih serius bersama Carla. Jauh di lubuk hati Gilda, ia tak suka, dan tidak terima. Meski begitu, Gilda tetap mengangguk karena masih sadar bahwa dirinya cuma sahabat.
"Aku tidak bisa menolak kalau kakek yang mengajakku," ucap Gilda kemudian yang membuat Edzhar terkekeh. "Salah kalau aku melarangmu melamarnya, Ed. Kita bukan sepasang kekasih, dan ... malam itu adalah kesalahan yang memang tidak pantas kita lakukan ...," sambung Gilda di dalam hati.
"Ah, aku lupa ... sebentar, kau tunggu di sini. Ada sesuatu untukmu dan tertinggal di dalam mobilku, akan aku ambilkan."
"Oke," jawab Gilda sambil mengangguk.
Edzhar balik badan dan berlari kecil keluar dari toko roti Gilda. Pria itu kembali dengan membawa sebuah paper bag. Sembari memberikannya pada Gilda, dia berujar, "Itu untukmu, kakek yang membelinya, tapi aku belum melihat isinya."
Gilda menerima paper bag yang disodorkan Edzhar padanya, dan bertanya, "Apa ini?"
Edzhar mengangkat bahu, tak tahu. "Sepertinya gaun untukmu yang harus kau pakai nanti sore," dugaannya dengan mengelus pundak Gilda. "Baiklah, aku harus pergi. Kau harus datang, Gil. Aku tunggu kehadiranmu sore nanti," pesannya yang dibalas Gilda dengan anggukan dan senyuman. "Tampillah dengan sangat cantik, supaya kau bisa menemukan laki-laki terbaik di acaraku nanti." Sesudah mengatakan itu pria yang memakai kemeja putih lengan pendek itu benar-benar beranjak dari toko roti Gilda. Meninggalkan Gilda yang memandangi paper bag dari Mateo.
"Itu apa?" tanya Dalila yang keluar dari ruang produksi dan menghampiri Gilda. Matanya tertuju pada tas berbahan kertas di tangan sang keponakan. "Baju?"
Gilda mengangguk. "Sepertinya gaun untukku, Bi. Aku lanjut kerja dulu," pamitnya dan melewati sang bibi. Ia tak langsung bekerja, tapi masuk ke ruangan khusus untuknya dan sang bibi yang biasanya digunakan untuk beristirahat dan menghitung hasil penjualan. "Aku jadi penasaran seperti apa gaun pilihan kakek untukku ...," gumamnya sambil meletakkan paper bag tersebut di atas sofa. Sesudah itu ia beranjak pergi dari sana dan masuk ke ruang pembuatan roti.
*
Gaun maxi berwarna merah tampak gemerlapan karena dipenuhi payet di bagian dadanya sampai perut, dan di sekitar pinggang. Gilda yang datang dengan tampilan memukau itu pun menjadi sorotan para tamu. Tak jarang para pria muda di sana mencuri pandang ke arahnya, dan Gilda yang berjalan dengan tidak nyaman, netra cokelatnya mulai mencari-cari tempat paling sepi.
"Kau sendirian, Nona?" tanya seorang pria yang tiba-tiba sudah berada di sisi kiri Gilda, dan perempuan itu lantas menoleh, lalu menganggukkan kepala. Tanpa Gilda duga, pria tampan itu mengulurkan tangan kanan pada Gilda sembari melanjutkan, "Kendrick Jonas Hernandez. Kau sendiri siapa?"
Gilda terdiam sebentar seraya melirik tangan itu, yang membuat ujung jarinya semakin maju ke arah Gilda. "Violetta Gilda," jawab Gilda yang mau tidak mau memberikan senyum ramah untuk pria tinggi di hadapannya ini.
"Kau yakin tidak datang bersama pasanganmu?" Belum sempat Gilda menjawab, pembawa acara di sana menyapa para tamu dan acara pun sudah dimulai. Gilda lantas diajak Kendrick ke salah satu meja yang tersedia untuk dua orang, karena yang tersedia di acara itu hanya dua tipe meja, meja untuk empat orang dan dua orang saja. Kebetulan yang tersisa hanya tipe meja dengan dua kursi. "Kau yakin tidak datang bersama pasanganmu, Nona Violet?"