Chapter 103 - BAB 93

Lovely Review:

"Privasi adalah kekuatan. Semakin kau tidak pernah memperlihatkan apapun, semakin orang lain tidak sanggup menyerang kelemahanmu."

[Allard Bassile]

Setelah beberapa luka bakar tercetak, lelaki itu pun baru berhenti. Namun, bukannya dibuang ke tempat sampah, puntung rokoknya justru dihisap dengan napas yang dalam.

Ada darah yang masih tertoreh di ujungnya. Panas. Merah basah membara, tetapi seksi di mata Domenico.

"Allard," kata Domenico. "Kurasa cukup untuk sekarang. Dia bisa mati kalau kita berlebihan."

Allard Bassile pun duduk kembali kursinya. Dia memandangi tubuh kacau itu dengan mata tajam, kemudian menyeringai sebentar. "Hmph, aku penasaran sampai kapan dia akan bertahan seperti itu."

"Aku yakin tidak akan lama. Kita hanya harus bertahan sebentar."

"Baiklah," kata Allard. Lelaki itu beralih pandang kepada Domenico yang sudah mengelap jemarinya dengan tisu. Baru sang kekasih menyarungi tangannya kembali. Dia tampak bersiap-siap untuk pergi meski baru saja datang.

"Dom, bagaimana dengan situasi Mossimo?" tanya Allard tiba-tiba.

"Dia baik, hanya mungkin agak cacat setelah kutinggalkan di tempat itu," kata Domenico dengan kekehan kecil. "Semua pantas. Kan atas balasan untuk kakiku yang ditembak. Enak saja tidak ada karma. Aku akan mematahkan tangannya andai kemarin lututku patah."

Kedua mata Allard pun beralih ke bagian lutut Domenico. "Kau harusnya tinggal satu atau dua hari, biar pengawal mengurus yang satu ini."

"Tidak, aku harus memastikan tidak ada kesalahan," kata Domenico. "Karena firasatku sedang tak beres." Lelaki itu menyeringai kepada Allard sebelum mendekat untuk mencium bibirnya. "Atau kau merindukanku? Lovely ...." suaranya mengalun begitu halus.

"Hmph, iya atau tidak kau akan tetap pergi semaumu," kata lelaki itu. Topeng datarnya agak menghilang, lebih-lebih ketika Domenico mengambil kedua tangannya untuk dikecup sayang.

"Ya, ya. Akan kuusahakan cepat kembali," kata Domenico. "Toh kali ini Mossimo mungkin berpikir aku sudah mati. So, lebih mudah untuk lari kesana kemari, asal kau tahu saja."

"Kulihat kau makin mengurus. Jadi, makanlah lebih banyak mulai sekarang," kata Allard. Namun, bukannya menggubris, Domenico justru berbalik begitu saja.

"Akan kuhubungi Sam Webster dulu," kata Domenico. "Pria itu pasti sudah menungguku untuk projek yang selama ini kita rencanakan."

Tiit ... tiit ... tiiit ... tiit ....

Suara elektrokardiogram terdengar nyaring dalam ruang operasi. Namun, beda dari biasanya, kegelisahan Kim lebih dalam kali ini. Sebab Tawan bukan mayat seperti dulu. Dia hidup. Apalagi diantara banyak darah yang terburai, baru dua peluru yang keluar dari bahu dan kakinya.

"Kim? Semua baik?!" tanya Ken. Begitu masuk, dia langsung ikut membantu proses bullet surgery itu. Sebab aneh. Bila biasanya Kim dibantu beberapa perawat klona, kini lelaki itu mengurusnya seorang diri.

Selama itu, tidak banyak omong diantara mereka. Keduanya saling membantu, walau Ken sempat ragu karena lengan Kim sendiri meneteskan banyak darah. "Hei, tunggu. Kau sendiri juga tertembak?"

"Diam."

Kim hanya melirik sekilas. Dia tetap membedah kulit Tawan, lalu mencongkel satu per satu peluru yang bersarang.

"Tapi kau bisa minta bantuan. Para klona--"

"Aku tidak bisa percaya pada mereka sekarang. Ada sebagian yang berkhianat."

"Iya, tapi bukan semuanya--"

"Kau mau membantu atau mengajakku bergosip?"

Ken pun langsung diam dan meneruskan proses operasi. Mungkin, dia baru saja datang. Namun, daripada Kim yang lebih tahan melakukan semuanya, Ken malah mengalirkan air mata meski baru mulai.

Sambil menggunting jahitan, sesekali Ken mengusap matanya yang basah. Dia sebenarnya malu kepada Kim kalau sudah menampakkan perasaannya kepada Tawan, tapi sekarang memang harus hadap-hadapan.

"Tadi aku sempat panik karena kupikir para klona akan menyerang semua tawanan," kata Ken setelah operasi itu beres. Kini, dia langsung mengorek peluru Kim, meski si pasien harus menahan sakit karena obat biusnya lambat merasuk. "Tapi, ternyata mereka tidak menyerang seorang pun kecuali dirimu dan Tawan."

"Argh--aku tahu. Karena aku juga tidak buta," kata Kim. Dia berkeringat lebih banyak karena peluru-pelurunya sendiri yang ditarik keluar. Di sisinya, Ken memegangi lengan lelaki itu dan mempercepat segala prosedur sebisa mungkin. "Pasti Wik yang sedang ada masalah. Aku tahu, seseorang pasti menyalahgunakannya."

"Mossimo berpendapat itu Jirayu," kata Ken. Dia memperban lengan Kim dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. "Karena memang hanya dia yang tak hadir diantara kita. Juga tidak bisa kuhubungi."

"...."

"Kalian berdua baru bertengkar, bukan?" tanya Ken memastikan. "Dan pastinya sedang mengurus kekacauan di Venezia."

"Oh, ha ha," tawa Kim. "Aku tidak heran jika dia begitu."

Ken dan Kim pun berpandangan. "Kau pernah memperkirakan hal ini?" tanyanya.

Kim langsung berpakaian lagi agar tubuh bagian atasnya tidak terekspos terlalu lama. Tak peduli, padahal kemejanya masih bersimbah banyak darah yang basah.

"Sejak awal aku tidak mau memegang kata-katanya," kata Kim. "Semua sampah. Dia cuma pria kelebihan hormon yang ingin menjajahku kapan saja."

"What the fuck?" kata Ken yang melihat punggung Kim tercetak jelas pada kemejanya. "Bagaimana bisa pemikiran seperti itu masih ada di otakmu? Aku yang bukan siapapun saja tahu dia tidak main-main--"

"Terus kenapa?" Kim berbalik dan mendominasi percakapan itu dengan jarak yang semakin tipis. "Aku bukan kau. Dia juga bukan aku," katanya. "... apa dengan tidak main-main, aku harus setuju pada kalian?"

"Apa?"

"Kalian berdua tidak pernah melihat sudut padangku," kata Kim. Yang tampak ingin meninju, tapi dia tahan karena Ken bukan termasuk orang yang boleh dia lukai tanpa alasan jelas. "Jadi, diam. Atau kau saja yang serahkan bokong untuknya."

BRAKH!!

Begitu usai berdebat, Kim pun mendorong ranjang Tawan agar berpindah ke ruang perawatan. Di sana dia juga tidak mengizinkan satu pun klona membantu. Semua ditangani dengan caranya sendiri, walau setelahnya hanya diam duduk di sebelah Tawan.

Kim tahu, perlakuannya selalu keluar batas. Dia paham itu bisa juga menyakiti. Tapi, maaf. Baginya, lebih baik dapat bernapas sebagaimana biasa, daripada membiarkan orang lain menakhlukkan dirinya.

Sebab meski bisa menahan sentuhan Jirayu, Kim tidak bisa membuang ingatan tentang hutan, kabut, suara-suara hewan liar di sekitar, dan bagaimana dinginnya berada di dalam sana.

Tujuh hari tujuh malam.

Dirinya belum genap 10 tahun.

Sendirian.

Dan terus berlari dari seorang pria pembawa pisau.

"Mau kemana kau, Bocah? Kau takkan bisa pergi dariku."

Wajah yang tidak lagi bisa diingat Kim dengan jelas. Namun, dia bisa memastikan pria itu sudah memiliki kerutan di wajah, dan bagaimana caranya menyeringai dengan gigi-gigi yang sudah berdarah.

Semua berkat bekas tinjuan Kim sebelum dia melarikan diri, juga bagaimana langkah-langkah lebar itu terus mengikutinya.

.... lari! Lari! Lari! Lari!

Tidak ada siapapun.

Tidak ada seorang pun.

Hanya dirinya dan pria itu.

Pria yang sebelum Kim merenggut kematiannya sempat melakukan perenggangan anal dengan jari sambil menjilati celana dalam kecilnya di depan mata.

"Kau adalah milikku, Kim. Milikku. Milikku. Milikku. Milikku. Milikku. Milikku. Milikku. Milikku. Milikku--"

"ARRRGGHHHHHHHHH!!"

Kim pun berteriak tanpa kendali. Dia menghancurkan banyak barang di sisi Tawan yang masih pingsan, bahkan meninju-ninju dinding tanpa peduli memar.

Membuat darah muncrat tipis di sana, berbekas, lalu mencakarnya sebelum tertawa-tawa.

"HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!"

Percayalah, itu hanya terjadi sepuluh detik. Setelahnya, Kim kembali waras meski wajahnya datar sekali. Seperti sihir emosinya cepat mendingin. Otaknya beku seperti tak bisa dipakai berpikir, dan hanya wajah pucat Tawan yang masih tersisa dalam memori gelapnya.

"Oh, hai, Little Pie. Kenapa ada di sini?  Di mana orangtuamu?"

Sosok yang dulunya belum menjalin hubungan dengan Kinn Anakinn. Sosok dengan senyum malaikatnya pada umur 21. Sosok yang tidak tahu dirinya siapa. Dan sosok yang tidak Kim tanya namanya saat menggendong keluar dari bak truck kandang Siberian Husky.

"...."

"Ooh ... tidak mau menjawab, ya? Tapi kau kurus sekali. Mau mencoba bekal buatanku?" tawar Tawan dengan senyum lesung pipitnya. "Hohoho. Diam dua kali berarti iya."

"...."

"Baiklah. Ayo. Walau aku tidak tahu sejak kapan kau ada di dalam truck ini. Ha ha ha," tawa Tawan. "Gilss. Menggantikan sopir tetangga sekali saja dapat hadiah bocah menawan. Memang almanakku hari ini apa? Kau bahkan lebih menggemaskan daripada Little Pie-ku di rumah."

Mungkin, Tawan tidak ingat kejadian hari itu. Mungkin, Tawan juga tidak bisa mengenalinya setelah memasuki kehidupan Kinn Theerapanyakul (apa waktu itu rupanya terlalu buruk dan kotor?), yang pasti, Kim takkan pernah melupakan lelaki ini, meski setelah makan bersama dia ditinggalkan di kantor polisi untuk pelaporan anak hilang.

"Dah, Little Pie. Salam buat ibumu di rumah ...."

Padahal, harusnya ucapan Tawan sangat menyinggung. Apalagi sang ibu sudah meninggal karena melahirkan Kim. Namun, hari itu dia samasekali tidak memikirkannya.

Tok tok tok ....

Tiba-tiba, wajah Porche muncul dari sisi pintu. Oh ... Kim ternyata lupa menutupnya karena tadi terlalu emosional.

"Apa?"

Melihat darah di dinding dan seberapa berantakan barang-barang di dalam, Porche pun berjalan masuk dengan langkah segannya. "Aku mau bicara denganmu sebentar."

Kim duduk lagi setelah menendang vas pecah yang menghalangi jalan. "Kupikir kau sudah kabur karena ada kesempatan ...."

Porche pun duduk di sebelah lelaki itu. "Harusnya, tapi aku takkan pergi selama kau dan aku tidak bermasalah."

"...."

"Maksudku, buat apa melarikan diri dari orang yang bukan musuhku? Kau dan aku kini keluarga."

Kim pun berdecih pelan. "Langsung ke intinya saja. Buat apa kau kemari menemuiku," katanya sambil menyelimuti Tawan. Ah, tadi kenapa bisa sampai lupa?

Dari perban yang di lengan Porche pun memandang raut wajah sang adik ipar dari samping. "Kim, bisa kau izinkan aku untuk memiliki akses terbatas?" pintanya. "Kinn, Mossimo, yang lain juga kalau perlu. Kami akan di belakangmu untuk melindungi yang masih bisa dikendalikan."

"Buat apa? Aku masih bisa melakukannya sendiri," jawab Kim. Dia bahkan tidak memandang Porche sedikit pun dalam pembicaraan itu.

"Bisa kali ini saja? Kau kan berwenang melepaskan akses kapan pun," kata Porche. "Jadi, mau percaya atau merubah pendirianmu di tengah jalan ... itu semua adalah kebijakanmu."

Kim pun terdiam kali ini.

"Dan jangan pikir situasimu baik-baik saja, Kim. Apalagi soal yang di Venezia," kata Porche. "Kau tidak bisa menutupi apapun sekarang ...."

Bersambung ....

Sebenarnya, sekitar tahun 2018 (kalau tidak salah?) Italia sudah menjalankan peringkusan mafia atau sindikat kejahatan seperti Nosa Costra demi keamanan pemerintah. Banyak bandar yang ditangkap. Namun, untuk timeline kejadian FF ini sengaja gak kuperjelas, biar kalian berimajinasi sendiri kira-kira kisah ini dimulai kapan.

Oh, iya, yang dialami Kim itu mengakibatkan PSTD (post traumatic stress disorder) yang cukup parah karena itu sampai membuatnya berperilaku seperti penderita bipolar kadang-kadang. So, jangan heran kalau dia tertawa terbahak-bahak 10 detik, lalu kembali ke titik stress yang paling rendah.

__________

Satu fakta lagi, saya adalah seseorang yang pernah mengalami pelecehan--ringan--di masa kecil, tepatnya sekitar umur 9 tahun. Walau enggak separah Kim yang sampe dikejar di hutan dan jadi sasaran addicted pelaku. Itu saja sudah meninggalkan trauma yang dalam bagi saya. Dan saya ingat banget kejadiannya sampe sekarang.

So, anggap saja author adalah Kim dalam FF ini. Karena perasaan saya benar-benar masuk ke dalam karakter dia saat menulis bagian itu.

Salam,

Ren.