Tunggu, tunggu, tunggu ... situasi macam apa ini?
"Oh, hei, Bung. Kukira kau sudah mati," sapa Mossimo kepada Kinn. Lelaki itu sepertinya menyimpan jengkel, tetapi memilih tenang.

Kinn melihat lengan Mossimo yang diperban hingga ke bahu. "Harusnya itu kata-kataku." Kalau di situasi biasa, mungkin dia akan balas mengejek Mossimo. Namun, di sebelah lelaki itu ada Vegas dan Pete yang terluka juga. Masing-masing babak belur, sehingga Kinn pun merasa gusar. "Kalian tidak apa-apa?" tanyanya.
Vegas menyentakkan dagu. "Setidaknya nyawaku masih menempel," katanya. Karena perban sang sepupu lebih banyak. Itu pun melingkar miring dari bahu kanan ke perut kiri. Sepertinya bekas bacokan atau apa. "Setelah kuketahui banyak sekali pengkhianat keluarga kita."
"Phi ...." kata Pete kepada Kinn. Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi Porche menatapnya seolah memintanya agar diam dulu.
"Siapa yang pernah menyangka kita akan makan bersama?" kata Porche. Dia duduk di sebelah Pete. Sementara Kinn diantara Vegas dan Mossimo.

Jujur, setelah duduk begini, Porche pun berubah pikiran. Dia menganggap bangunan itu lebih seperti istana Disney daripada ruang makan. Dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Kinn dan Porche tidak ingin berulah. Bisa jadi tempat itu punya jebakan juga, kan? Dinding-dinding, lantai, bahkan meja mereka saja patut dicurigai.
"Kami juga bergabung dengan kalian," kata Jirayu yang mendadak keluar dengan Ken. Kedua lelaki itu turun tangga dengan tangan di saku. Mereka tampak paling sehat diantara yang lain, walau Jirayu punya bekas hajaran di kening.
"Cih ..." Mossimo tampak ingin meludah ke samping. "Aku akan mencamahmu lain kali."
"Hmph, mungkin tanganmu harus sembuh dulu baru bilang begitu," kata Jirayu. Yang sudah berani bicara semena-mena setelah memperlihatkan wajah aslinya. "Ayo, Ken. Tak perlu sungkan bergabung dengan pria tak tahu terima kasih ini."

Mossimo pun melirik Ken sinis. Namun, bukannya gentar Ken justru tersenyum tipis dengan santai, lalu duduk di sebelah kanan sang mafia Sisilia. "Istri Anda baik-baik saja," katanya. "Tadi sudah kucek kondisinya. Sekarang sedang tidur lelap seperti puteri."
"Bedebah."
Jirayu menahan tawanya meski tak mampu. Hanya lelaki itulah yang tampak sangat ceria, bahkan saat seluruh meja memelototinya. "Ngomong-ngomong, kalian harusnya berterima kasih padaku," katanya lalu menunjuk meja. "Karena koki kami takkan memberikan hidangan sesuai daerah asal kalian, jika bukan aku yang memintanya."
Ken pun menghela napas panjang. "Aku yakin mereka lebih senang kalau mayatmu yang dihidangkan, Phi," katanya. "Sekarang tutup mulutmu, dan kita tunggu saja si tuan rumah."
"Si Tuan rumah, huh? Siapa?" Vegas dan Pete seketika menyimak obrolan kedua orang itu dengan baik.
"Oh, iya. Dimana dia sekarang?" tanya Jirayu. "Apa masih belum sampai?"
"Sudah, baru saja," kata Ken. "Tapi mungkin masih berganti baju."
"Hm."
"Atau mengantar Phi Tawan untuk beristirahat--"

DEG
"APA?!"
Serempak, setiap mata di meja itu pun menatap Pete. Lelaki itu mewakili kekagetan Vegas, tetapi langsung mengendalikan dirinya.
Ken justru mengangkat bahunya pura-pura tidak tahu. "Well, kuharap tidak ada yang membalik meja makan saja sampai selesai," katanya terang-terangan. Dia mengabaikan Vegas yang masih tak menyangka dirinya hidup apalagi hadir di tempat itu. "Karena asal kalian tahu, aku ini benar-benar lapar."
Jirayu pun terkekeh mendengar ucapannya. "Benar, kita nikmati saja acaranya siang ini," katanya. "Bagaimana pun, momen sekarang sangatlah langka. Siapa tahu besok kita berperang lagi, ya kan?"




Seperti kata Ken, Kim baru menutup pintu ruang ganti kamarnya sendiri. Lelaki itu mengenakan suit corak garis warna abu. Tapi tidak langsung keluar.
Bagaimana pun Tawan akan ditinggalkannya seorang diri. Padahal lelaki itu masih terjaga, tampak agak bosan setelah masuk ruangan kembali, tapi Kim sudah memutuskan
tidak mengajak.
"Aku tidak akan lama," kata Kim setelah mengunjungi kamar Tawan. Di sana ada lima klona yang berjaga di sekitar ranjang. Tiga membawa senjata, dua yang lain merupakan pelayan yang siap melaksanakan kepentingan lelaki itu. "Tolong jaga dia untukku."
"Baik, Tuan."
"Nn?" Tawan tampak menatapnya penasaran. Meskipun begitu, dia tidak beranjak dari ranjang dan tetap anteng selama para pelayan mengganti bajunya dengan piama.
"Nanti kutemani makan di sini," kata Kim. Lelaki itu meraih pipi Tawan sejenak, lalu mengecup bibirnya pelan. "Apa Phi juga merasa lapar?"
Tawan berkedip-kedip karena cukup kaget dengan kecupan yang lain. Napas lelaki itu tertahan, dan ketegangannya nyata setelah lidah Kim masuk ke dalam mulutnya.
"Unnmm--"
Kim meremas jemarinya yang meremas seprai. Dia membuat mereka saling bertaut, lalu terkekeh melihat raut syok Tawan sebelum berbalik pergi. "Tapi jangan memaksakan diri," katanya. "Jadi, semisal mengantuk, Phi bisa langsung tidur siang saja, mengerti?"


Sebenarnya tidak ada yang berat jika hanya menunjukkan diri. Kim tak masalah dengan reaksi apapun yang dikeluarkan para tahanannya, bahkan meski Vegas akan mengamuk. Sebab bagi Kim, apapun unsur masa lalunya, semua siap dibuang semenjak projek klona ini dimulai.
Keluarga, rumah, tanah air ... Kim merasa kehidupannya baik-baik saja di sini. Di Italia.
"Tuan," panggil seorang klona tiba-tiba. Kim pun berhenti berjalan sebelum memasuki ruang makan. "Ya?" Dia berbalik untuk menerima sebuah iPad kerja milik Freya sang manajer selama dirinya menjalankan profesi sebagai musisi.

"Apa Anda sudah tahu soal ini?" tanya si pelayan klona. "Nona Freya memilih tidak membiarkan Anda berhenti menyanyi. Atau, umn ... lebih tepatnya dia dan saudari-saudarinya." (*)
(*) Klona yang lahir bersama Freya. Kira-kira 20 lebih tiap kali masa kelahiran.
Kim pun diam sebentar. "Oh ...." katanya. "Lalu untuk apa kau menunjukkanku benda ini?"
"Katanya Anda harus tetap hidup." Si pelayan klona juga tampak sedih karena baru kehilangan para sahabatnya. Dia tidak sanggup mengingat Freya dan yang lain benar-benar meledak hancur setelah tidak melaksanakan perintah selama 24 jam. "L-Lagipula, Tuan Tawan sekarang sudah ada di sisi Anda. Karena itu Anda harus bahagia. Jangan biarkan kami kehilangan "orangtua", kumohon."
Kim pun menerima benda itu, walau kemudian mengembalikannya lagi. "Hm, simpan dulu ke tempatku," katanya. "Aku akan mengaturnya sendiri jika nanti situasinya tidak berubah."



"Selamat datang, Tuan Kim Theerapanyakul ...."
Barisan para klona pun menunduk ketika Kim muncul dari balik pintu. Mereka memberikan hormat cukup lama, baru kembali tegak setelah Kim duduk di kursi utama.
Benar-benar tak ada yang ramah. Semuanya menahan napas, dan meja seketika dingin dengan berbagai macam ekspresi tertekan. Namun, meski situasi itu amat sulit dipahami, Vegas dan Pete tetap diam karena itu langkah tebaik sekarang.
"Apa aku harus memberikan sambutan?" tanya Kim. Dia mengedarkan pandangan kepada semua orang di meja, tapi tidak ada senyuman kemenangan di bibirnya. "Atau tidak perlu saja. Kita bisa langsung menikmati hidangannya lalu anggap tidak pernah terjadi apapun."
Porche pun menanggapi sang adik ipar. "Menurutku begitu tidak masalah," katanya. "Biar kujelaskan pada mereka nantinya. Apapun. Dari awal hingga akhir. Itu pun kalau kalian sanggup dengar cerita detailnya."
"Bagus," kata Kim. "Kuanggap kalian setuju saja."

"Tapi, kuharap kau tidak melupakan Laura, Adik Ipar," kata Porche lagi. Yang membuat Mossimo dan Kinn refleks menatap lebih jeli padanya. Hei, jangan bilang pernah ada yang terjadi diantara mereka berdua! Pikir para lelaki itu. "Bagaimana pun Laura itu korban karena kau memperalat dia."
"...."
"Jadi, aku minta secara pribadi. Jika kau ingin menghukum kami, lakukan saja. Tapi kecualikan dia diantara semuanya," pinta Porche bernegosiasi.
Kim pun melirik Mossimo dan Jirayu. "Walau anggapan "korban" itu tak sepenuhnya benar, tetapi tidak masalah," katanya. "Akan kubicarakan ini dengan orangku dulu sebelum memutuskan harus melakukan apa kepada kalian."
Diam-diam Porce mengepalkan tangan di bawah mejanya. Meskipun begitu, dia tetap menjawab mantab. "Oke, terima kasih."
Detik berikutnya, secara ajaib mereka pun mulai makan dalam keheningan yang mencekam.
Bersambung ....