Chereads / ALLYN / Chapter 2 - Good Start

Chapter 2 - Good Start

Tinggal seorang diri ternyata tidak terlalu buruk, benar kata teman-temanku. Tinggal di kosan hanya satu kekurangannya, kesepian. Ya, mungkin itu karena belum terbiasa. Pasti itu yang membuatku semalam menjadi susah tidur.

Setelah kepergian kedua orangtuaku, aku harus mandiri. Sebelum papa menghembuskan napas terakhirnya, beliau sempat memberikan uang hasil dari penjualan aset-aset perusahaan miliknya yang sukses itu, yang mungkin jumlahnya bisa dibilang tidak sedikit.

Aku mengela napas. Aku tidak mau buru-buru ke kampus, tapi tidak mau terjebak di kamar yang memiliki sejuta kenangan tersimpan di dalamnya.

Pada akhirnya aku beranjak dari ranjang queensize dan mulai bersiap-siap. Rintik-rintik hujan membasahi tanah. Aku membawa coat biru mudaku dan mengambil sepatu synth berwarna biru.

Untung perjalanan dari kosanku ke kampus hanya 10 menit jika berjalan kaki, jadi aku bisa berjalan santai.

Syukurlah hari ini hujan. Sudah lama kota ini tidak pernah dilanda hujan, selalu saja cahaya matahari yang muncul dan itu membuatku mudah pingsan.

Aku sampai di lobby kampus. Sepertinya aku sampai 20 menit lebih awal, karena sekarang masih pukul 9.10 pagi.

Pak Ando, satpam yang cukup akrab denganku, tersenyum saat melihatku, "Selamat pagi, Lyn."

"Pagi, Pak!" sahutku dengan semangat.

Saat aku hendak menaiki anak tangga yang pertama, Pak Ando menghentikanku. "Kenapa tidak pakai lift saja? Lift-nya sudah diperbaiki, kok."

Aku menggeleng lalu tersenyum. "Tidak apa-apa, aku naik tangga saja."

"Ya, sudah silakan."

Aku pun mulai menaiki anak tangga. Sebenarnya aku tidak mau cepat-cepat sampai ke ruanganku, jadi aku sengaja menaiki tangga untuk memperlambat.

Baru menaiki beberapa anak tangga, tiba-tiba seseorang menabrakku sehingga mengenai bahuku.

Aku menoleh ke belakang. Itu seperti Aro.... Aku hendak menunduk untuk membantu mengambil kertas yang terjatuh, namun tangannya bergerak kesana kemari mengambil kertas yang berserakan dengan cepat. Aku yang ingin membantunya pun tak sempat, kerana ia keburu selesai.

Pria tersebut melihat ke arahku. Jadi benar dia Aro. "Kamu tidak apa-apa? Ada yang terluka?"

Aku menggeleng cepat. "Oh, aku tidak apa-apa."

"Sekali lagi maaf, ya, aku sedang terburu-buru," ucapnya.

Aku mengangguk. "Iya, tidak masalah."

Ia tersenyum. "Aku duluan," pamitnya lalu berjalan pergi.

Aku tersenyum-senyum sendiri. Alvaro Alzeivano, mahasiswa jurusan seni musik semester 4. Tampan, bertubuh atletis, serta popular dikalangan para mahasiswi.

Aku menghela nafas. Empat bulan aku berusaha untuk mendapatkan hatinya, siapa sangka aku bisa bertemu dia secara langsung untuk yang pertama kalinya.

--------

Cuaca hari ini sangat dingin. Suhunya mencapai 14 derajat Celcius. Hujan hari ini memang membuat kami ini kedinginan.

Tania menggosok-gosokkan tangannya. "Baru bertemu Aro sekali saja, kamu sudah senyum-senyum sendiri seperti itu, bagaimana kalau Aro sampai memintamu menjadi pacarnya? Bisa-bisa kamu senang tak karuan."

Aku tertawa kecil. "Bisa-bisa aku dikeroyok oleh para fans-nya."

"Nah, itu tahu," jawab Tania sambil tertawa.

Pacaran ... aku ingin tahu seperti apa rasanya pacaran. Aku belum pernah pacaran sejak masuk sekolah sampai sekarang. Apa aku nanti akan menjadi perawan tua?

Terdengar suara seperti seseorang sedang menyoraki. Sorakan itu berasal dari bawah lapangan.

Tania melihat ke bawah, aku mengikutinya.

Itu 'kan Visio Milano, badboy sekaligus putra pemilik kampus ini. Setahuku, jika kuliah di kampusnya sendiri, bukankah akan menjadi lebih mudah, ya, lulusnya?

Ngomong-ngomong, sedang apa, ya, Visio bermain basket di tengah rintikan hujan seperti ini? Apa dia tidak takut sakit? Dan, sepertinya para fansnya juga setia menemani Visio dengan payung yang menutupi kepalanya.

"Lyn, lebih tampan Aro atau Visio?" tanya Tania sambil melihat ke arahku.

"Aro, lah, dimana-mana." Aku menoleh ke arah Tania, lalu kataku, "Ya, memang, sih, sama-sama tampan." Aku melihat ke arah Visio, lalu menambahkan, "Tapi hatiku hanya untuk Aro."

Tania mengangguk-ngangguk lalu kembali melihat Visio.

Meskipun Visio dan Aro sama-sama tampan dan popular, tapi ada hal-hal yang membuatku lebih memilih Aro daripada Visio.

Saat hendak memasukkan bola ke dalam ring basket, tiba-tiba ia menoleh ke atas, tepatnya ke arahku.

Tunggu, apa benar ia menoleh ke arahku? Ah, tidak mungkin. Bisa saja ia menoleh kepada para fans-nya.

Kulihat segaris bibir tipisnya melengkung. Ia tersenyum samar sebelum akhirnya berhasil memasukkan bola yang kesekian kalinya ke dalam ring basket.

"Kita ke kantin, yuk, aku ingin minum yang hangat-hangat," ajak Tania.

Aku mengangguk lalu berjalan pergi bersama Tania.

--------

Hari ini kantin cukup ramai. Banyak orang yang memesan makanan dan minuman hangat untuk menghangatkan tubuh.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Tania sambil sibuk melihat-lihat menu yang terpajang di stand.

Aku berpikir sejenak. "Es buah!"

Tania menoleh ke arahku, melihatku bingung. "Lyn, kamu yakin mau es buah?" tanyanya, "hari ini cuacanya dingin sekali, loh."

Memang, sih, cuacanya dingin sekali, tapi entah kenapa aku sedang ingin yang dingin-dingin agar nanti saat pelajaran fotografi tidak mengantuk.

Aku mengangguk. "Iya, aku mau es buah."

"Baiklah," katanya. "Bu, saya pesan teh hangat satu dan es buah satu."

Ibu kantin pun mulai membuat pesanan Tania dengan cepat dan tangkas. "Silakan, " ucap ibu kantin sambil memberikan pesanan Tania.

Tania memberikan uang kepada Ibu kantin lalu mengambil pesanan dan segera duduk di hadapanku.

Aku mulai menikmati es buah. Makan es buah, paling nikmat di santap di tengah cuaca seperti ini, apalagi sebelum pelajaran Pak Noel itu.

Tania melihat ke arahku. "Apa kamu tidak kedinginan?"

Aku terus menikmati es buah sambil menggeleng. "Tidak, rasanya enak sekali."

Tania menggedikan bahu. "Terserah kamu saja," ucapnya pasrah. "Oh, ya, habis ini pelajaran fotografi, ya?"

Aku mengangguk.

--------

Satu persatu siswa-siswi memasuki ruangan dengan nomor 249A.

Aku memilih duduk di pojok jendela karena aku kadang suka bosan dengan pelajaran teori yang diberikan oleh Pak Noel. Tania duduk di sampingku, katanya agar bisa mengobrol.

Saat kelas sudah mulai penuh, Pak Noel memasuki ruangan. Beliau berjalan menuju mejanya sambil menaruh setumpuk kertas berisi materi fotografi, pastinya.

"Ada yang belum hadir?" tanya Pak Noel yang membuat seisi ruangan mendadak diam dan hening.

Pintu kelas dibuka.

--------