Diantara pikiran yang berkecamuk tak tentu, Mile mencoba mengingat-ingat denah RS keluarganya sendiri. Ruang yang dulu bersih rapi, kini berubah gosong di mana-mana. Kebakaran itu sepertinya disengaja karena ada aroma bensin yang kental.
Mungkinkah dipakai perampok untuk melarikan diri? Mereka pasti butuh pengalihan atensi, agar orang-orang fokus menyelematkan diri.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
Tak tahan asap, lama-lama Mile pun menutup mulut dan hidungnya. Lengan kiri tak berhenti mendekap bayi merah hingga naik ke lantai lain. Mile tak bisa mengira sudah sejauh apa kebakaran ini terjadi karena titik api bermula di tengah lantai, bukannya bawah ke atas. Dia lihat, urutan ke 12 tadi terbakar duluan. Barulah merembat ke sekitarnya.
Cepat-cepat, Mile memasuki lift yang masih bagus dan kira-kira berfungsi. Dia melewati banyak lantai, serta orang-orang yang mati di tengah lobi. Tak sedikit nyawa melayang akibat peristiwa itu. Mile kadang meneteskan air mata, tapi maniknya tak boleh buram lama-lama. Paling tidak, Mile harus membawa bayi ini hingga berhasil keluar. Masalah bagaimana nasib reputasi RS-nya nanti pikir belakangan saja.
"APO! SAMMY! KATTY! DADDY DI SINI SAYANG! APO! DENGAR PHI MILE TIDAK?!" teriak Mile begitu sampai di lantai 20. Dia menutup lift lagi karena masih kurang tinggi. Mile tidak yakin ada Apo di dalam sana karena ruangan sudah terbakar semua.
Main insting sesi 2, Mile pun menelepon Apo, tapi tak pernah angkat. Lelaki itu mulai berfirasat yang tidak-tidak, tapi jika ponsel aktif, Mile masih punya harapan sang istri hidup. Apo tak mungkin terbakar begitu saja, ya kan? Si manis pasti berada di tempat aman!
"APO SAYANG! INI PHI MILE! APO!"
Akhirnya Mile keluar lagi pada lantai 28. Di sana juga terbakar, tapi api-nya masih sedikit. Mile tidak menemukan apapun kecuali ruangan kosong. Tampaknya orang-orang sudah kabur entah kemana, tapi ada suara tangisan bayi lainnya.
"Oeeeee!! Oeeeeee!! Oeeeee!!"
Banyak lagi.
Kira-kira dua atau tiga bayi. Mile auto lari kencang mengikuti suara itu. Dia menaiki tangga-tangga kamar yang amat berkelok. Benar saja, di sana ada Jirayu, Jeff, Sammy, Katty, dua babysitter, satu bodyguard, dan mereka berusaha menolong 7 pasien. Semuanya tampak lemas karena ketinggalan waktu kabur bersama yang lain. Dokter dan suster yang pingsan di dalam pun diseret kasar agar segera menjauhi jalaran api.
"KALIAN, YA AMPUN!! Ternyata bisa kutemukan juga! Apa semuanya baik-baik saja?" teriak Mile sambil membantu proses penyeretan.
"Oh, astaga, Tuan Mile! Kenapa Anda di sini? Lewat mana? Kami tidak menemukan jalan keluar!" kata bodyguard yang menggendong baby Aire. "Tadi buntu, serius! Mereka juga sempat terjebak pintu! Maaf aku tiba-tiba lupa denahnya!"
"Seriusan? Aduh ... kacau," keluh Mile. "Ya sudah, tidak apa-apa. Aku bisa memandu jalannya sekarang! Ikut saja!"
"Baik!"
Mile pun meneliti kondisi semua orang di sekitar. Setidaknya dia tahu mana yang harus didahulukan. Jirayu nyaris pingsan dalam kondisi duduk di lantai sambil mendekap Jeff yang pendarahan lagi, kedua babysitter terus berusaha menenangkan Sammy dan Katty yang rewel. Dokter mulai sadar sambil memegang kepala. Suster masih pingsan dengan luka memar di kakinya. Ketujuh pasien ngesot turun dari ranjang masing-masing. Jujur, separuh diri Mile bersyukur karena sampai di titik ini. Namun kemana pun matanya memindai, tidak ada sang istri tercinta. Jemarinya bahkan gemetar saat mengguncang bahu sang bodyguard.
"Dimana Apo?! Dimana?!"
"Tuan Natta? Ah, anu--beliau masih di lantai bawah bersama rekan saya, Tuan. Kami ingin menyusul lagi karena lost contact, tapi kondisi di sini sendiri susah. Maaf ...."
Jantung Mile serasa dibanting pecah.
"Tidak, tidak, tidak ... tidak!" bentak Mile, lalu segera menepuki pipi si dokter. "Hei, kau. Bangun cepat! Bangun! Bawa semua orang di sini ke lift kode 2340, tahu kan? Tempat itu masih aman untuk kalian!"
Dokter itu pun mendesis-desis. "Hnngh, ahhh ... Pak Presdir? Kenapa Anda di sini?"
Mile malah memberikan bayi di tangannya ke dokter itu. "Tidak ada waktu untuk bicara! Cepat bangun dan lakukan apa yang kubilang! Ayo!"
"Iya, Pak! Aduh, s-sebentar ...."
"Jangan lama-lama heh! Nyawa ini taruhannya! Kedipkan matamu biar tidak buram!"
Bayi di pelukan si dokter makin menjerit kencang. "Oeeeee!! Oeeeee! Oeeeee! Oeeeeee!" Tangan-tangan mungilnya meraih udara. Mile mendorong si dokter segera keluar ruangan.
"HATI-HATI! LEWAT KANAN!" bentak Mile karena si dokter tampak seperti hangover.
"B-Baik!"
Mile menunjuk beberapa orang terdekat. "KALIAN JUGA! YANG KUAT JALAN SENDIRI SEGERA MENYUSUL DIA! WAKTUNYA TERBATAS!" teriaknya tak tanggung-tanggung. "Petugas damkar pasti memadamkan api bawah dulu ... ayo CEPAT!"
"Oeeeeeee!! Oeeeee!! Oeeeee!!"
"Oeeeeee!! Oeeeeee!! Oeeeee!!"
"Oeeeee!! Oeeeee!! Oeeeeee!!"
"Baik, Tuan."
"B-Baik! Permisi ...."
"Jangan lewati jalan yang licin! Pilih lobi kiri masih kering tanpa sedikit pun air!" Mile lalu menoleh ke para pasien yang berduyun ikut. Dua babysitter Sammy-Katty mengekor dari belakang. Namun bodyguard yang menggendong baby Aire tidak tega meninggalkan Mile. Mile sendiri malah menendang bokongnya agar menyusul. "SANA!" bentaknya.
Kini tinggal memikirkan 3 orang yang ada di dalam sana. Mile kepikiran Apo, tapi menangis pun dia tetap mendekati Jirayu.
"Hei, hei. Bertahan sebentar saja ... oke? Lelahnya ditunda nanti sekarang kalian harus bertahan hidup," kata Mile sambil mengguncangkan bahu Jirayu.
"Hhhh, Aire ...." keluh Jirayu yang bola matanya tinggal terbuka separuh. Mungkin dia sudah pusing setelah menggendong Jeff kesana-kemari. Entah sudah berapa anak tangga dia lewati demi mencari jalan.
"Bayimu sudah di bawah sana, Jirayu. Aku yang akan menggendong suster ini, jadi kau harus cepat keluar juga!" tegas Mile kesal. "AYO! SEKARANG ATAU KITA MATI BERSAMA DI SINI!" Lelaki itu menarik lengan Jirayu agar berdiri lagi. "Istrimu pun membutuhkanmu, oke? Kalian bisa!"
"Hhhh, hhh ... ya, oke--my God ...!"
Mile pun menghela napas lega setelah Jirayu tergopoh-gopoh pergi. Dia sendiri menggendong si suster pingsan, tak peduli siapa namanya. Lift sudah penuh, tapi suster itu tetap didesak masuk. Si dokter kebingungan, tapi dia tetap ditugasi menahan bahu susternya. Mile yang naik, justru memencet tombol turun segera ke lantai 1. Dia membuat semua orang terkejut karena memilih tinggal di antara lantai yang apinya makin menjalar.
"LHO, TUAN MILE! TUAN! ANDA KENAPA TAK IKUT KAMI?!!" teriak bodyguard yang menggendong Aire. "TUAN! AKU BISA MOJOK AGAR ANDA BISA MUAT DI SINI! TUAN--"
"PERGI!"
Ting!
"TUAN MILE--!!"
Pintu lift sudah keburu menutup. Mile sendiri baru mengusap air matanya setelah itu. Dia mengepalkan tangan yang tremor sangking takutnya. Fisik dan mental secara bersamaan teremas takdir yang sakit. "Aku masih harus mencari istriku, Bodoh. Dia belum kutemukan sampai sekarang ...." gumamnya dengan suara parau.
Sebenarnya, jika seseorang bertanya bagaimana kondisi perasaannya, Mile sendiri tak bisa menggambarkan. Yang jelas dia hanya merindukan Apo seorang, yang lain entah artinya apa. Kemana si manis Mile hanya ingin bersamanya--fakte itu membuat jantung Mile terus berdetak resah. Mile pun berlari turun meski pegangan tangga saja rasanya panas. Dia tidak berpegangan ke apapun lagi, setelah terbakar sekali. Udara di sekiar api bisa saja melalapnya, tapi Mile memilih mati di sini, daripada tidak menemukan Apo sampai kapan pun.
Lelaki itu bereriak, "APOOOOOOOO!! APOOOO!! KAU DENGAR SUARA PHI TIDAK?! APOOOOOOOO!!" sambil terus memanggil di via ponsel. Berhubung terlalu banyak ledakan kecil, Mile pun fokus menelusur ruangan sambil menghindari bahaya. "Ayo angkat, Sayang. Ayolah ... Phi masih berada di sini. Phi tidak meninggalkanmu, Apo ...."
Suaranya sesekali terdengar goyang. Sebab ke mana pun Mile mencari tetap tak ada Apo di sana. Kala menemukan tabung APAR dinding, Mile pun langsung menggunakannya untuk membuat jalan. Mile menyemprotkan benda itu hingga CO2 putihnya mengudara di tengah lobi. Dia masih tak menyerah untuk masuk ke lantai tersebut semakin jauh. Saat tirai api mengecil, Mile baru bisa melihat pemandangan macam apa di baliknya, adalah Nazha yang tengah berjuang di bawah pitingan Kriss dalam kondisi leher dicekik.
"ARRRGGGHHHH!!"
Wanita itu ditinju lagi tepat pada pipinya.
"HEI! BERHENTI!!"
Di luar dugaan, Nazha justru berbalik mendadak. Dia menendang perut Kriss sambil berteriak sekuat tenaga, "AKU TIDAK APA-APA, KONT*L! LIHAT SEKITARMU COBA!" Ayunan bogemnya ditahan Kriss, tapi lengan kiri masih bisa melingkari leher sambil membanting ke lantai.
"ARRRRGHHHHHHH!!" teriak Kriss.
Lelaki itu pun dijadikan bulan-bulanan sebagai balasan. Punggungnya diduduki Nazha yang terus mengomel. "BAWA REBA, APO, LIAN! CEPAT KELUAR KALIAN SEMUA DARI TEMPAT INI!"
"Apa?!"
Mile segera belari mendekat. Benar saja ada 3 manusia yang sejak tadi mereka cari. Semuanya tertutupi barisan kursi tunggu yang terbakar, benda-benda itu bertumpuk lagi berantakan sekali. Banyak juga yang patah kakinya. Mungkin Nazha dan Kriss menggunakannya sebagai piranti senjata. Mereka masih bertarung habis-habisan demi memperjuangkan apa yang diyakini. Tak peduli darah mengalir dari mulut atau hidung, perebutan di luar otak itu terjadi padahal situasinya genting.
"APOOOO! SAYANG!"
Mile tak bisa bohong tetap si manis yang pertama dia datangi. Dia gemetar mengusap darah di paha Apo, juga luberan lain yang mengalir di sekitar perut dan kaki Reba. Pipi Lian sudah biru, sementara perkelahian di depannya dia abaikan. Mile bingung mau menggendong mana dulu, tapi Nazha ternyata tetap memperhatikan.
"ANAK-ANAK DULU, BAJINGAN!! KALAU DITANYA KHAWATIR ISTRI AKU PUN JUGA DI SINI!!!" bentaknya sambil mengayunkan tendangan lain kepada Kriss. Lelaki itu ternyata berhasil bangun. Dia dicekik Nazha agar tidak kemana-mana begitu wajahnya menghantam dinding. "BAWA LIAN! DIA YANG HARUS PERTAMA KALI! JANGAN TOLOL!"
"Ahhh, hmmhh--ck ...." decih Mile pada akhirnya. Lelaki itu pun akhirnya membopong Lian sungguhan. Namun dia masih menoleh ke Apo sebelum meninggalkannya. Ya Tuhan, Apo. Maaf ... jangan bilang kau sebenarnya hamil lagi beberapa minggu ini? Kenapa mendadak sekali?
Kaki Mile berlari sekuat tenaga. Dia melewati lorong mana pun demi memburu lift tadi. Keberadaan Apo benar-benar pacuan besar dalam hatinya. Mile hanya ingin segera kembali untuk membopong istrinya sendiri. "ADUH!" Tiba-tiba saja Mile menabraki badan seseorang. Ternyata itu merupakan damkar berseragam lengkap yang berhasil masuk kemari. Dia tampak lelah juga, dengan baju tahan api oren itu. Rautnya dipenuhi keringat hasil kerja yang nyata.
"Maaf, Tuan. Maaf. Apa benar Anda yang bernama Mile?" tanya damkar itu memastikan. "Bodyguard Anda sudah sampai di bawah barusan. Dia bilang aku harus menjemput Anda di lantai ini. Ayo turun!"
"Tidak! Bukan hanya aku saja di lantai ini. Masih ada orang!" kata Mile.
"Hah? Berapa?"
"Tiga? Tidak tahu sih pastinya jika ada orang lain lagi. Tapi tolong, Pak. Apa kau ke sini sendirian? Mana rekanmu?Istriku pendarahan dan ada wanita juga yang tertembak di dalam. ...." kata Mile sambil memperbaiki posisi Lian pada gendongan.
"Tidak bisa, Tuan. Hanya saya. Personel darat kami kurang, sisanya masih di perjalanan!" kata damkar itu.
"Apa? Bedebah!"
"Tapi saya bisa membantu yang ini keluar dulu. Anda ambil saja yang lain untuk ditaruh sini! Saya akan kirimkan bantuan dari udara."
"Oke!"
Lian pun beralih tempat. Damkar itu membawa si bocah turun, sementara Mile kembali ke tempat semula. Niatnya ingin segera membopong Apo, tapi lagi-lagi batal karena ada suara tembakan. Mile pun melindungi tubuh si manis hingga terkena bahunya sendiri--dor! Dor! Dor!
"Arrgggggghh!!"
Dalam tiga tembakan, Mile pun meraung diantara darah yang bermuncratan sampai ke wajah.
"KRISS KONT*L! BERHENTI!" bentak Nazha yang berdiri tidak jauh dari Mile. Dia angkat tangan karena pistol miliknya dijambak rebut. Ekspresi cadas wanita itu dihiasi gosong arang, tapi menghentikan Kriss untuk melawan. "Mereka tidak ada hubungannya dengan semua ini, oke?! Biarkan pergi! Gila ya? Semuanya di antara kita bertiga saja!"
Kriss mendekat dan menampar-namparkan moncong pistolnya ke kening Nazha. "Oh, really?" katanya jengkel. "Kau kira berapa bulan sejak ayah Mile memegang perusahaan kembali, huh? Hanya karena dia koma, sudah mengacaukan pekerjaan pamanku. Ayahku disalahkan atas semua delay proyek-nya, aku digampari karena dianggap tidak berguna, cih! Padahal siapa dia, hah?! Lelaki itu juga tidak semumpuni ayahnya! JALANG! TERUS KENAPA AKU TERUS YANG KENA?! Orang lain enak ya, boleh bahagia-bahagia saja atas semuanya?"
"Apa? Tolol!! Kenapa malah mengaitkan semuanya dengan perusahaan pamanmu? Gila kau!"
"YA KARENA MEMANG ADA KAITANNYA! CUH!"
Nazha langsung meninju muka tampan di hadapannya. Dia sebal sekali dengan muka sombong itu. "Lain kali kau harus tahu siapa lawanmu," katanya.
Mile lihat, wanita itu tak peduli lagi karena masalah rumah tangga mereka sudah kemana-mana. Dari yang awalnya kecemburuan batin, malah bertumpuk dengan kedengkian sosial. Namun karena baru balik kerja di perusahaan, Mile sendiri tidak tahu persis apa masalahnya. Yang pasti, dia sekarang paham kebakaran RS dan pencurian lukisan tiba-tiba ini sebenarnya terencana. Apalagi ditambah dengan perebutan Reba. Ibarat kata setali 3 uang, atau satu dayung 2-3 pulau terlampaui. Kriss kemungkinan bekerja sama dengan para perampok itu untuk membalaskan dendamnya.
Mile akhirnya tidak membiarkan Nazha berkelahi sendirian. Dia ikut menerjang Kriss dari belakang, tepat saat dua damkar menerobos lewat kaca balkon hingga pecah berantakan. Tali yang terhubung di kaki helikopter pun turun berayun-ayun. Mereka berhasil menemukan Reba dan Apo, walau keduanya sama-sama sudah sepucat ikan mati.
"Lapor! Kode K210 berhasil mencapai tujuan, ganti!"
"Kode K211 juga berhasil sampai tujuan, ganti!"
"Bagus," sahut sang inspektur di seberang sana. "Sekarang angkut semuanya menuju brankar! Cek kondisi mereka dulu, dan pastikan tepat waktu sebelum penjemputan sesi berikutnya."
"Baik, Pak!"
"Baik!"
"Sekarang pemadaman jalur udara dihitung mundur," kata sang inspektur dengan tenangnya. Di atas sana, lelaki itu mengenakan seragam lengkap dan walki talkie siaga. Tatapannya sangat lurus seperti tak pernah diterjang masalah apapun. "Bersiap."
Mile sama sekali tak mendengarkan semua itu, dia hanya fokus menghajar Kriss setiap lelaki monster itu nyaris mencabik-cabik lawannya seorang diri. "AAAAAARRRGGGGHH!" raungnya seperti lolongan serigala malam.