Chereads / STAY [MileApo One-Shoot] / Chapter 39 - RIPK BAB 7

Chapter 39 - RIPK BAB 7

"Meoooww ... Apooooo!" panggil Masu setelah Ta Nannakun pergi. Apo pun terkejut dan mendekat ke rumah si kucing Ragdoll. "Ini akuuu! Akuuuu! Masu Junyangdingkul. Tapi Ayah Ta memanggikku Baby Shu. Siniiiii!"

"Eh? Seriusan kau Masu?" kaget Apo,

lalu berlutut di ambang pintu tersebut.

"Iya, Masu ....!" Masu keluar dari goa mungilnya. "Aku memang turun ke bumi juga, Po. Belum lama. Ceritanya panjang tapi intinya begitu, kapan-kapan kuberitahu."

"Haaaaa?" Apo melihat badan kucing Masu separuh tidak percaya. "Wah ... jadi kau ...."

Mau tak mau, Masu pun terima diangkat Apo. Ekor kucing itu mengibas sambil menepuk pipi Sahabatnya. Masu memaparkan bahwa dialah penyebab Apo berubah. Apo juga diberitahu Masu soal catatan mantranya. "Meoow, Apo. Tapi sekarang aku tidak punya tangan. Lihat dengan paw-paw ini mana bisa menulis?" tanya Masu. "Mana variasi mantranya banyak sekali. Salahku juga karena kertas curiannya robek. Aku jadi mengarang sisa formula sihirnya."

Desahan Apo langsung terdengar. "Ah, ya ampun ...." katanya, namun mau marah pun tak bisa. Apo tahu niat Masu baik, sebab sahabatnya hanya ingin membantu. "Ya sudah, besok aku minta Ayah buku. Kau bilang saja aku harus menulis apa, cukup ingat-ingat urutannya bagaimana."

"Oke, tapi benar-benar banyak," kata Masu. "Kita harus mencoba semua mantra."

"Siap. Aku tinggal menghilangkan telinga dan ekorku kan?"

"Iya."

"Kalau begitu pakai saja tubuhku, Shu. Siapa tahu ada mantra yang cocok. Hanya saja ...." Apo tiba-tiba sedih. "Mn, b-bagaimana dengan jadi kucing lagi, ada tidak?"

"Haaa?"

Pipi Apo langsung memerah. "A-Aku maunya jadi kucing lagi saja, please. Aku mau main lagi sama Paopao ...." Dia menggendong Masu dekat, si Ragdoll pun makin terheran-heran.

"Serius, Po?"

Masu mencoba mencari kesungguhan dalam mata sahabatanya.

"Iya, sangat."

"Tapi, tapi--bukankah dulu kau ingin jadi manusia?" tanya Masu gelagapan.

Apo menggeleng. "Umn, tapi sekarang mau menemani Paopao saja. Tidak mau jadi manusia. Takut tahu ...." katanya. "Daddy bilang tubuhku ini Omega, ugh ... kemarin saja aku hampir gila karena masuk musim kawin. Shu ... tolong, ya. Aku tidak mau hamil."

Masu kehilangan kata-kata.

"Aku cinta sama Paopao, serius. Hiks ...." Tiba-tiba air mata Apo keluar. "Dia sudah 6 tahun ya sekarang. Kucing bukannya cuma sampai 15 tahun, paling lama? Aku takut melihatnya mati duluan saat jadi manusia. Hiks, hiks ... Aku mau bareng dia saja ...."

Tangisan Apo lembut sekali, padahal tak pernah begitu selama di langit. Masu pun bingung karena Apo baru jatuh cinta sekali ini. Sahabatnya terisak hingga wajahnya merah, membuat kesadarannya segera kembali. "Po ...." panggil Masu. "Aku minta maaf, ya? Ini jelas gara-gara aku ...."

"Hiks, hiks, hiks ... umnn, iya ...." Apo pun mengangguk pelan. "Aku tidak apa-apa, sih. Hanya saja takut sekali. Aku baru 17, tidak mau Dede Ayi ...." Dipeluknya Masu ke perut hangatnya. "Aku takut punya Dede Ayi ...."

Masu pun terdiam, walau sesak napas di antara lengan Apo. Dia sebetulnya bisa adu nasib karena jadi kucing betina, namun Masu tak mau merendahkan rasa sakit orang lain. Terlebih ini karena ulahnya. Tak terkira bagaimana dia harus menebus dosa, Masu akhirnya punya pemikiran kecil. "Oke, akan aku usahakan, ya Po. Mulai besok kita main sihir-sihiran," katanya. "Kalau sudah jadi manusia, nanti kubalik urutan mantranya. Siapa tahu cara itu berhasil, bagaimana?"

"Umn ... lakukan apapun yang paling mungkin, aku mau," angguk Apo. "Please, Masu. Tolong jangan buat aku begini ...."

Keluhan Apo pun tenggelam diantara malam, hujan gerimis dan angin berisik membuat dadanya semakin luka. Namun, Masu juga memberikan beberapa informasi penting, yakni semua kutukan reinkarnasi pasti hilang setelah 7 tahun. Sebenarnya sihir itu hanya mempercepat perubahan, bila Apo sudah separuh kucing malah lebih bagus lagi. Apo tinggal menunggu proses waktunya saja, walau belum pasti berapa lama. Mungkin 1-2 tahun? Masalahnya Apo sekarang berubah pikiran, Masu pun punya PR untuk mencari mantra menjadi kucing kembali.

"Eh? S-Serius?" tanya Apo sambil menyeka air matanya.

"Iya, begitu," kata Masu. "Tapi mantranya bekerja atau tidak ke kucing biasa, belum tahu. Aku tidak sempat baca informasi lengkapnya, karena waktu mencuri sudah dikejar banyak penjaga," Dia ikut mengusapi pipi basah Apo. "Jadi, ada dua kemungkinan ya, Po. Pelan-pelan. Kalau mantra manusianya sudah ditemukan, kita bisa coba juga ke Paopao pacarmu itu." Dia bicara selembut mungkin. "Kan enak, tidak perlu jadi kucing lagi. Kalian bisa bersama-sama. Hm?"

Apo seketika merona. "U-Ugh, jadi kepingin lihat badan manusia Paopao, xixi ...." kikiknya tiba-tiba bahagia. "K-Kira jadi siapa, ya? Pao juga pernah bilang dia punya nama asli, lho. Tapi kalungnya dibuang Daddy waktu ditemukan."

"Eh? Iyakah?"

"Iya, soalnya sudah jelek sekali," kata Apo. "Nah, mikirku ... kalau dia punya kalung berarti aslinya bukan kucing jalanan, dong? Apa Paopao kucing rumahan yang dibuang tuannya? Ih ... jahatnya. Mana keluarganya mati semua."

Masu pun diam sejenak. "Oh ... berarti nama aslinya cuma Daddy-mu yang tahu," simpul Masu. "Apa kau tak pernah bertanya? Siapa tahu dapat petunjuk lebih."

Si Persia putih justru duduk memeluk lutut. "Umn, masih takut ...." katanya sambil geleng-geleng. "A-Aku sempat ciuman sama Daddy di depan Paopao. Ugh, situasinya kejepit sekali. Aku tak punya pilihan lain. Untung Daddy baik, walau leherku dicekik dulu."

"Hah?"

Karena Masu kebingungan, keduanya pun akhirnya cerita lebih jauh. Masu juga mendetailkan proses turunnya ke bumi, tapi makin ke sini dia tak menyesal. Masu senang bisa menemani Apo, setidaknya sang sahabat tidak sendirian. Masu juga bersyukur Apo tidak marah karena dosanya. Dengan begini mereka bisa bekerja sama, Masu pun ingin berubah jadi manusia bila mantranya sempurna. Dia sama-sama takut hamil juga, jadi ini berguna untuk banyak orang. Tidak hanya Apo, tapi juga dirinya dan Paopao. Ah, masa depan rasanya memiliki gambaran yang cerah.

"Eh, eh? Tapi iPad Ayah kok bilang 7 tahun kucing berarti 44 tahun?" kata Apo pagi harinya. Sebelum Ta bangun dia sudah menggondol gadget Ta, untung sang pemilik tak menyadari itu. Apo duduk di kamar dengan ditemani Masu, mereka memakai Google seperti cara Mile membuka website. "Wah! Jadi tua dong? Kalau Paopao 6 tahun berarti sekarang 40."

"Hih?! Seriusan? Tua sekali, astaga! Coba lihat."

Masu segera melompat ke pangkuan Apo. Mereka menyimak info bersama, tapi tabel Google ternyata berbeda-beda. Banyak yang hasilnya timpang. Ada juga yang bilang kalau 6 tahun berarti 36. "Wah, benar-benar sudah tua ternyata."

"...."

"M-Maksudku, Hot Boyfriend, Po. Tolong jangan marah tadi aku hanya refleks," kata Masu gugup. Ragdoll itu mengusap mukanya sendiri. "Siapa tahu Paopao malah seperti Papa mafia. Rawrr. Ituuu ... yang muncul di TV tadi."

Apo pun tersenyum geli. "Iya. Tidak apa-apa kok kalau Pao tua. Aku suka." Dia memindahkan laman web. "Aku ingin mengajaknya jalan-jalan dan foto bersama. Xixi. Aku ingin punya banyak kenangan dengannya."

Obrolan pun terhenti karena langkah Ta terdengar di lorong, Alpha itu bicara dengan beberapa pelayan. Dia sudah harum karena sehabis mandi. Anehnya Ta tidak mengenakan seragam sekolah, melainkan pakaian kasual dengan biola di tangan. Ta dibisiki lelaki berseragam butler, remaja itu lantas tersenyum tipis. "Iya, tenang saja. Nanti les menembaknya sekalian pas siang. Aku mau belajar fisika dulu. Terlanjur fokus," katanya. "Tolong guruku suruh kemari lebih pagi biar cepat. Semoga ada waktu belanja kebutuhan Baby Natta dan Shu nantinya."

Suara mereka jelas karena Apo lupa menutup pintu. Keduanya bertatapan begitu Ta menoleh. Apo sendiri bingung kenapa dirinya gugup. IPad pun disembunyikan di balik punggung, "Ah! Ayah ... he he, he he ... pagi ...." sapanya.

"Pagi juga, tidurmu nyenyak?"

Sekali lagi ciuman itu datang ke kening Apo dan Masu.

"Iya, sangat. Kasurnya nyaman sekali, Yah," kata Apo nyengir-nyengir. "Aku suka selimutnya yang lembut. Harum juga, tapi maaf--anu Yah ... tadi pagi iPad-mu memang kuambil ...."

Ta mendengus dengan seringai kecilnya. "Iya, it's okay. Coba Ayah mau lihat apa yang kau cari."

"Ahhhhhhhhh!"

Gadget sudah diambil dari balik punggung Apo. Sia-sia si Persia meraihkan tangan, nyatanya Apo tak bisa mencapai. Ta pun mengecek histori Google-nya, dia senyum-senyum melihat trek pencarian. "Hm. Usia kucing, jenis kucing ... ayam goreng .... ??" Nadanya sempat berubah. ".... dan tempat jalan-jalan yang bagus ...."

"A-Anu, aku--"

"Kau ingin keluar kemana?" tanya Ta begitu tanggap. "Di lokasi yang seperti ini? Betulan?" Layar iPad dia goyangkan karena penuh gambar hutan.

Apo pun bingung menjawabnya. "Iya, mau. Tapi kepinginnya ajak ...." Tiba-tiba dia ragu mau bilang. Sebab kemarin Ta sudah menekankan, jika sang pemilik di rumah maka Apo harus bersamanya. Ini jadi agak menyulitkan.

"Hm?"

.... Paopao.

".... sama Ayah," kata Apo dengan senyuman kecut. Persia itu memainkan jari karena cemas, takut tidak bisa memberikan perhatian yang setara. "Umn, tapi boleh tidak, Yah?" tanyanya. "Aku suka sama pohon soalnya. Apalagi kalau dihiasi banyak kunang-kunang. Lucu ...."

Ta pun melihat foto-foto itu kembali. "Hm, boleh." Senyumnya begitu tampan. "Besok pagi ya. Jadwalnya harus kuatur dulu. Kita bisa naik kuda sekalian, lewat field tempat biasa aku belajar," jelasnya. "Di dekat situ ada hutan, tapi hari ini sudah penuh, Natta. Nanti jam 2-an kalian juga kuajak belanja."

"Meooow ...." Masu mengeong karena dagunya dielus.

"Biar kau dan Shu bisa memilih sendiri, kan? Siapa tahu barang-barangnya tak sesuai selera jika kupilihkan."

"Meoow, iya."

Ta pun pergi setelah ubun Apo dan Masu diacak-acak. Tak lama kemudian terdengar alunan biola dari arah balkon. Suaranya merdu sekali. Apo dan Masu sampai berlari mengintip penasaran. Rupa-rupanya Ta memang anak konglomerat yang sebenarnya. Bagaimana dia terpejam tampak elegan, membuat orang takkan tahu sisi receh, aneh, dan gemasnya di lain waktu.

"Wahhh, Po. Ayah Ta keren sekali, ya ...." puji Masu naik ke meja demi melihat. Leher berbulunya melongok heran, sayang momen itu tidak lama karena Dokter Peter datang. Dia bicara dengan pelayan untuk diizini mencari Apo, tampaknya para bawahan Ta sudah diberitahu soal perubahan sang Natta Tersayang. Namun orangtua Ta belum pernah pulang, jadilah rumah wilayah kekuasaan mereka hingga sekarang. Buktinya tak ada yang berani protes atau bertanya, tahu-tahu Apo disuruh mandi sebelum di check-up. Dan, benar saja. Sejak saat itu Apo dan Masu pun ikutan sibuk. Kesehatan Ta sudah kembali. Dia sering diajak kemana pun saat Ta berkegiatan, usai belanja pun mereka nonton film bersama.

Pada keesokan hari Ta pun menepati perkataannya, dia disopiri Newyear menuju ke sebuah field berkuda daerah Huahin. Apo tak menyangka di Thailand ada lapangan seluas itu untuk latihan. Dia mulai dibukakan pintu Newyear seperti Ta sendiri. Serasa jadi majikan mendadak, padahal dirinya siluman kucing.

"Wahhh, bagusnya ...." gumam Apo dengan mata berbinar. Masu ada di gendongan Ta waktu itu. Mereka diajak memilih kuda sebelum Ta berolahraga.

"Iya kan? Lebih bagus lagi surai Jamie kesayanganku. Ayo kuperkenalkan sebentar," ajak Ta ke kandang yang berjejer rapi. Jamie ternyata merupakan seekor kuda putih. Bulunya mengkilat, tampak halus, nan indah dipandang mata. Surainya juga panjang seperti rambut rapunzel. Dari situ Apo tahu putih merupakan warna favorit Ta Nannakun, buktinya dia sendiri berbulu putih sebagai anabul pertama yang dipelihara. "Wait, Baby Shu-nya tolong digendong dulu. Aku mau ambil pengaman lutut di Pak pembina."

"Oke, Yah."

Beberapa saat kemudian Ta kembali dengan siulan, dia membuat Jamie memburu cekatan dengan lari kencang. "Fiuuiiiitttt!! JAMIIIEEEEE!!" panggilnya dengan lambaian tangan. Si kuda pun datang dengan gagahnya, Apo dan Masu sampai merasa di dunia hidup dongeng. Suara langkah kaki Jamie begitu mantab, pertanda si kuda sudah mengenali sang pemilik. Ta pun naik ke punggungnya setelah mengelus bagian kening. Dia diawasi pembina, tapi Apo tak menyangka akan diuluri tangan. "Ayo, sini," kata Ta dengan senyuman. "Naik di depanku, Natta. Shu-nya diajak sekalian, pangku dia. Kita akan keliling bersama."

"Eh?"

"Kau takut?"

Mata Apo menatap telapak tangan sang Ayah. "Umn, iya. Tapi ...." Namun dia tetap meraih meskipun ragu. "Aku, nanti tidak jatuh kan, Yah? Aku tak mau kesulitan memegangi Shu-nya."

"Ha ha ha, tidak akan," tawa Ta. "Nanti Jamie pasti kusuruh pelan kok. Ayo."

"Umn."

"Lagipula kalau kencang nanti topimu jatuh ke tanah. Ha ha ha."

Apo pun merona tipis, apalagi saat pinggang rampingnya dilingkari dari belakang. Duduknya ditata pembina begitu pun cara Apo memeluki Masu, semua agar perjalanan aman hingga kembali dari tujuan. Apo merasa kegelian, tapi dia menahannya.

"Sudah, Tuan Muda," kata si Pembina. Dengan celana gombrong dia tak tahu Apo menyembunyikan ekor di dalam, lelaki itu cukup melambaikan tangan saat Ta mengangguk pelan.

"Bagus. Natta sendiri siap?" tanya Ta.

"Ah? Iya."

Mereka sempat bertatapan sekilas, Apo pun menyadari bahwa tinggi mereka sama.

"Kuhitung mundur dari 3 kalau begitu," kata Ta.

"Um."

"Tiga ... dua ... satu ... HIAKH!"

"WHOAAAAAAAAAA!!"

"MEOOOOOWWWWW!!"

"HA HA HA HA HA HA! PEGANGAN!"

Jamie pun berlari dengan semangat. Mereka memutari lapangan dan jalan trek yang sudah dibuat. Lajunya baru pelan usai Ta memberi kode. Mereka masuk hutan bersama, Masu sendiri mencakar jaket jeans Apo, dia takut jatuh tapi tidak mau drama. Untung Masu bukan kucing betulan. Jika iya dia pasti melompat, sangking pusingnya dengan perjalanan ini.

"HAK! HAK! HAK! HAK! HAK! Beloook!!" teriak Ta sambil menarik kokangnya. Sadar atau tidak pelukannya di pinggang Apo mengerat, mereka lantas menikmati indahnya jalan setapak di dalam hutan. Bagian itu memang sudah ada rute-nya, tapi agak terjal karena masih alami. Tampaknya pekerja field sengaja membiarkan visual asli. Apo jadi ingin menemukan peri (walau tentunya mustahil).

"Meooowwww!"

Po, Apo! Lihat!

Masu menatap ke suatu arah.

"Mana?"

"Itu, yang Barat! Coba menoleh sekarang! Ada banyak kupu-kupu!"

"Huh?"

"Dan sungai!"

Apo pun mengikuti intruksi, toh Ta fokus pada perjalanan. Alpha itu memastikan Apo dan Masu tidak terjatuh. Dia bersiul setiap kali Jamie terlalu semangat. Apo dan Masu fokus me pemandangan itu, mereka menemukan kera dan burung, tapi tidak dengan binatang buas. Apa karena wilayah ini terlindungi? Bagaimana pun field didiami banyak kuda. Mereka pasti sudah aman. Sayang Apo tetap ingat Paopao pada akhirnya. Dia memang menggenggam jari Ta, namun pikirannya kemana-mana. "Pao, apa kabarmu dan Daddy sekarang? Sehat tidak?" batinnya. "Aku melihat hal indah di sini. Lain kali gantian kita, ya? Kuajak kau meski tidak pakai kuda. Jalan pun suka kok. Kangen dipuji 'Cantikku' sambil lompat-lompat di atap tetangga."

Apo diam-diam mengulum senyum. Dia menjerit saat ada burung melintas dengan kepakan sayap merah. Omega itu tak tahu nama si burung, dia sibuk memperhatikan tanpa tahu Ta Nannakun mengagumi wajahnya sedekat itu. "WHOOOAAAAAA!! TUPAI!" Dia menunjuk ke dahan-dahan dengan riangnya.

Ta pun tertawa pelan. Ketiganya baru pulang setelah menikmati rute field hingga tiga putaran sebagai penutup.

Entah berapa minggu berlalu, yang pasti Paopao tidak pernah tidak menghabiskan makanannya. Padahal dulu selalu rakus dan lahap, misal Mile membuka dua kaleng royal canin akan dihabiskan semua. Kalau ditambah pastinya pun tuntas juga, namun tidak sejak Apo dibawa pulang. Paopao sulit makan dan menyisakan wet food di mangkuk. Dia juga sering tidur untuk membunuh waktu.

Paopao tak selera dengan serial TV, menjauh dari speaker musik, bahkan kadang pura-pura tidak mendengar panggilan Mile. Dia tidak pernah keluar rumah, padahal biasanya banyak bertingkah. Mile pun mengiming-imingi ayam KFC, barulah si bayi mau membuka mulut. Dia disuapi langsung dari tangan Mile, Mile telaten. Itu adalah pertama kalinya Paopao menghabiskan banyak makanan dalam sehari. "Ha ha ha ha, Baby. Apa kau merindukan Natta?" tawa Mile sambil mengangkat Paopao ke udara. Usai mengurus marketplace dia goleran di karpet, si bayi menjadi pelampiasan lelah jika mood-nya sedang turun.

"Meooooow," sahut Paopao. Mile memang tidak paham bahasanya, tapi dia mengerti hati Pao. Mile pun menaruh si bayi ke dada, lalu membelai bulunya sayang.

"Asal kau tahu, aku juga," kekeh Mile sambil memenceti hidung Paopao. Si kucing pun berkedip-kedip. Lalu mereka berpandangan lembut. "Tapi kau hebat sih--ha ha ha. Asal kau tahu saja, Pao. kemarin dia bahkan menolak perasaanku, padahal aku belum mengatakan apapun."

"Meooooww ...."

"Iya? Apa kau tidak percaya?" tanya Mile seolah paham arti omongan si bayi. "You're the winner here, that's cool. Bayi-ku memang perkasa. Ha ha ha."

Paopao pun mulai semangat karena diajak main seharian. Ya, walau sambil belanja dan bersih-bersih. Sore harinya dia dipanggil Mile karena dapat notifikasi dari Ta, dia sampai batal menyetrika agar Paopao ceria kembali. "Baby! Sini, Ayah Ta barusan miss-call. Siapa tahu ada kabar dari Natta-mu."

"Meooooowwww!!" Persian oren itu auto lari dari ruang tamu, dia tidak jadi main semut dan datang kepada Mile. Ekspresi wajahnya benar-benar lucu.

"Sebentar, ya. Kubuka dulu chat-nya sekarang."

"Meooowww."

Tatapan Paopao harap-harap cemas. Dia dipangku Mile agar mereka membaca pesan bersama, dan benar saja. Ta bilang harus melanjutkan pekerjaan yang dulu tertunda. Kapan hari dia memutar jadwal pulang lebih awal, padahal Finlandia masih menunggu. Oh, kali inia ada tambahan jadwal ke Urdu. Mile berpikir, hei ... remaja seumuran Ta kira-kira melakukan apa? Dia seperti tidak punya masa muda yang normal.

[Ta: Lusa pagi, jam 9. Natta dan Shu akan kuantar ke rumahmu sebelum menuju bandara. Mereka sepertinya sudah kangen Daddy-nya. Ha ha ha. Tolong, ya Phi. Natta nanti kubawakan kopernya sendiri. Kau tak perlu lagi menyobek baju seperti dulu. Terus, Shu punya tas kecil berisi pita-pita. Please, tolong pakaikanlah kalau sempat. Gampang kok, tinggal masukkan ke leher. Sudah kupilihkan desain yang tidak ribet. Kartu kreditnya ada di saku koper. Pin sudah kutulis di permukaan memakai spidol. Buat jajan. Khusus Phi akan kutransfer setelah ini. Makasih sudah menjaga bayi-bayiku]

"Bagaimana, senang? Natta akan kemari dua hari lagi. Makin lama."

"Meooooww."

"Ta bilang pergi hampir dua minggu. Jadi, mau grooming ya sore ini? Jangan mengamuk dan makan yang banyak."

"Meoow."

"Ha ha ha ha, pintarrr."

Serudukan manja pun Paopao berikan ke dada Mile. Mereka bercanda hingga sang Alpha tertawa lepas. Tumpukan baju kering bahkan berjatuhan dari sofa karena terserempet tubuh mereka. Malamnya Paopao kembali mendusel le lengan Mile, padahal murung sendirian di kasur kucing. Dia juga makan lahap, meski ditinggal kuliah. Pulang-pulang kaki Mile digulati dengan semangat.

"Iya, iya. Sebentar! Ha ha ha. KFC-nya untukmu juga. Ya ampun ... kau tertular suka ayam ya seperti pacarmu? Dasar."

Mile pun menyiapkan dua piring untuk Paopao sejak saat itu. Satu untuk ayam, satunya lagi untuk royal canin. Paopao juga mau memakai kalung dan dasi, padahal biasanya tak pernah begitu. Apa Paopao seperti dirinya dulu? Mile sempat rajin dandan juga sewaktu ada Gulf Kanawut. "Hmph. Aku merindukanmu, tapi mau bagaimana lagi ...." batinnya sambil menyisiri bulu Paopao. "Coba mendongak sedikit? Bagian lehermu awut-awutan."

"Meoooow."

"Nah begitu, tenang saja kau semakin tampan."

Geraman lembut Paopao menandakan dia senang dengan penampilan hari ini. Dia siap menyambut Apo, bahkan langsung lari saat mendengarkan suara mobil. Dia meninggalkan Mile, meski belum selesai disisir. Lompatannya kencang sekali.

"EH? PAO!"

"MEOOOOWWWWWWW!"

Suara Apo menyahut senang juga dari luar sana. "HA HA HA HA HA! BABYYYYYYYY!" teriaknya dengan tangan terentang. "AKU KANGEEEEENN! AAAAAAAAAAA!"

Wush! Dalam satu lompatan yang girang, Apo pun menangkap Paopao dari lantai kayu. Di belakangnya ada Ta yang menggedong Masu. Sopir Newyear juga memindahkan koper serta tas mereka, ukurannya cukup besar karena isinya tak hanya baju. Di dalamnya ada benda rias, skincare, stok supressant dan lain-lain. Bahkan selimut favorit Apo.

"NATTA! NATTA!"

"PAOOOOOOOOOOO!"

Mereka pun berpelukan seperti film India, membuat Mile dan Ta saling pandang dengan kekehan khas masing-masing. "Phi, tolong ya," katanya sekali lagi.

"Hm."

Masu dipindah tangankan dari Ta kepada Mile. "Ranjang khusus Shu akan datang nanti sore. Ke sini. Dia boleh kubelikan kan biar tidurnya nyaman? Phi Mile juga tidak repot mencarikan tempat istirahat sendiri. Bayi-ku harus hangat semua."

"Tentu."

"Thank you. Aku pamit dulu sekarang."

"Hm."

"See ya."

Ta pun melambaikan tangan kepada para bayinya. Dia menghilang di persimpangan jalan. Mengherankannya itu Masu, baru dirawat Ta sebentar dia sudah gemuk dan menggemaskan. Bulunya juga semakin cerah dan lebat (ya ampun habis berapa biaya perawatannya?). Mile pun menaruh Masu di meja mumpung Paopao asyik sendiri. Dia ingin bicara dengan si kucing.

"Hai, Cantik? Daddy boleh kenalan resmi denganmu? Aku Mile."

Alpha itu mengulurkan tangan.

"Iya aku juga sudah tahu," batin Masu dia pun menaruh satu paw ke sana. "Kau adalah Daddy kita semua. Mile Phakphum Romsaithong. Po-ku cerita tentangmu berkali-kali."

"Ho, pintarnya. Good," puji Mile. "Sejujurnya bajumu biasa, tapi kelihatan mahal kalau kau yang pakai. Tapi ...."

"...."

".... mukamu judes sekali. Ha ha ha ha."

Masu malah membuang mukanya. Dia memang anti-romantis, apalagi dipuji cantik di tubuh betina--hei, plis lah. Masu benar-benar krisis identitas, tapi perawatan Ta memang begitu mewah. Masu lebih suka tubuhnya bersih nan wangi, daripada bauk karena bulunya setebal itu. Dia menurut bukan karena menoleransi feminitas, tapi demi self-care dan kenyamanan diri. "Meow ...." eongnya karena bingung mau apa.

Mile sendiri belum akrab dengan dia, tapi keduanya memang terpinggirkan. Apo fokus dengan Paopao dan cerita soal hutan, tak Mile sangka si Persia putih dibawakan iPad oleh sang Ayah. Mereka tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Membuat Mile terus mengakrabkan diri dengan si perawan cantik. "Bagaimana kalau kuajak jalan, Shu? Aku mau menjilid tugas hari ini," katanya. "Ikut ya? Kita akan belanja mencari toko fotokopi."

"Meow?" sahut Masu.

"Kuanggap mau kalau begitu. Hmmh."

Masu pun protes kesal karen pipinya di-invasi. Bagian itu dibuat menggunakan cubitan. Dia pun mengeong berisik, walau tak diindahkan sama sekali. Paw-nya memukul hidung Mile kala wajahnya dicium. Sial rasanya risih sekali! "Meow! Berhenti woi! Tidak suka! Kau ini baru minum kopi, ya? WOY! DIBILANG JUGA TIDAK SUKA--!"

Mile malah tertawa kencang. Alpha itu terhibur sekali, lalu menyuruhnya menunggu sebentar. Mile siap-siap dan memasukkan flashdisk ke dalam saku. Lalu menggendong Masu dengan satu lengannya.

"MEOOOOOOWW!"

Sial! Woooy! Turunkan akuuuuuuu!

"Paopao! Baby!" panggil Mile tanpa mengindahkan protesan Masu. Persia oren itu menoleh, Apo berhenti menertawakan video yang mereka tonton dan ikutan terdistraksi. "Daddy keluar sebentar, ya. Jaga Natta. Shu-nya kubawa biar ada teman. Dah ...."

"Oh, dah juga, Daddy."

"Meooww."

Muka asem Masu pun tenggelam dibalik pintu. Dia dimasukkan dalam troli belanja saat Mile memilih barang. Kedua mata birunya terus mengawasi sekitar. Masu kadang juga mengendus barang yang akan dipilih Mile, dia dimintai pendapat beberapa buah yang masak.

"Mangga ini atau yang ini? Coba cium."

"...."

"Oh, yang kiri. Oke."

Padahal Masu asal mengendus, dia saja tidak yakin apakah mangganya manis.

"Sekarang ayo cari stok ayam dan snack kalian," kata Mile. "Hmm, harus banyak sepertinya. Kalau kau segendut ini pasti makanmu lebih banyak dari Paopao. Ha ha ha."

"Ih! Sembarangan ya!" batin Masu. "Aku kan gendut karena vitamin! Au, ah. Malas. Daddy orangnya tidak seru!" Masu melengos diantara tumpukan barang. Dia tak mau ditimpa kemasan, lalu kaget saat Mile menyeret trolinya mendadak ke balik rak. "Meoooowwww! Eeehhh--!" Suara rodanya gaduh sekali.

Mile juga menggedongnya dari sana, meninggalkan troli sebentar untuk bersembunyi di antara rak-rak lain. "Sssh, diam," katanya memperingati. Masu pun memperhatikan arah pandang Mile, dan ternyata ada wanita cantik yang mendorong troli ke sana.

"Hmm, anggur hijau. Suka ...." kata wanita itu sambil tersenyum. Dia mengenakan dress putih selutut, bahannya ciffon, kombinasi bunga mawar, dan bentuknya begitu lucu. Masu juga memperhatikan riasannya yang natural, padahal wanita ini sudah berumur. Minimal 35 lah, atau lebih. Dia sangat feminin dengan kulit putih halus, kuku-kukunya di-manicure hingga bening dan mengkilat. "Tambah lemon, apel, pir ... umn, mana lagi ya ...."

Langkah kakinya lincah sekali seperti bocah.

Masu lihat itu tak mengurangi aura anggun dari kaki rampingnya. Malahan bagus karena hak tinggi dan ahli berkeliaran tanpa terpeleset. Masu penasaran siapa itu, sebab Mile selalu mundur agar tertutup darinya.

"Zelena ...." sebut Mile hingga tanpa sadar meremas Masu. Alpha itu baru tenang setelah Zelena pergi, dia lalu kembali ke troli, tapi tak lanjut belanja. "Shu, kita bayar semua saja sekarang. Langsung ke tukang fotokopi. Belanjanya diteruskan lain kali."

"Meow?"

Eh?

Mile tak menjelaskan lagi dan menuju ke kasir. Dia bahkan rela berputar agar dapat antrian sedikit, lalu segera masuk mobil dan keluar gerbang. Itu pun masih terburu-buru. Mile menginjak pedal gas begitu panik. Dia baru bisa senyum setelah mengurus penjilidan tugas. "Tolong, ya. Jadi 4 bendel. Kutunggu biar tidak bolak-balik. Soalnya Paper ini harus kuserahkan ke Pak dosen besok pagi."

"Baik."

"Shu, kita jajan es krim sebentar lalu kemari lagi."

"Meooow."

Oke, Daddy.

"Kalau kau mau nanti kubelikan yang cup kecil."

Masu pun menjilati es krimnya di mobil, dia menemani Mile mendengar musik sambil mencari printer baru di toko online. Rupa-rupanya milik Mile rusak, pantas Alpha itu menjilid tugas di luar.

"Ini, Phi. Totalnya 578 baht," kata si petugas fotokopi.

"Thanks, kembaliannya untukmu saja. See ...." kata Mile sebelum pergi. Dia masih resah hingga sampai rumah. Untung Apo bertingkah konyol jadi sang Alpha langsung tertawa.

"HUEEEEEEEE ... Daddyyyy! Tadi tutup ini-nya kutarik muncrat semua ... huhu. Ayah marah atau tidak nantinyaaaa ...." Apo menangis diantara sunscreen yang berceceran pada bajunya. Bagian paha juga kena karena celana si Omega pendek. Dia mungkin bingung karena belum pernah memakainya sendiri. "Ayaahhh ... hiks, hiks ... hiks, hiks ... Ayah Natta mau minta maaf ...."

"Ha ha ha ha ha, caranya bukan begitu. Sini kuajari dulu."

"Astaga, dia makin kekanakan seiring waktu," batin Mile. "Jangan bilang Itu disebabkan perubahan ke tubuh Omeganya menjadi-jadi. Natta juga masih tunas."

Apo pun menyerahkan barang yang digenggamnya. "Hiks, hiks, hiks, ini ...." Bibir ranumnya bergerak-gerak. "Hiks, aku tadi tidak sengaja ...."

Masu dan belanjaan pun diletakkan di sisi Paopao. Dia menerima botol sunscreen yang sudah tepos. Isinya diremas hingga muncrat semua. Mile pun mengambil tisu untuk membersihkan pipi Apo. Syok membuat Apo diam dengan pikiran macam-macamnya, mungkin karena itu sunscreen baru jadi merasa bersalah. Mile juga membersihkan bagian paha dan lutut. Apo disuruh ganti baju saja. "Umn, tapi kata Ayah tidak boleh pergi tanpa ini. Aku kemarin diajari ...."

"Oh, kau mau keluar rupanya."

"Iya, Daddy."

"Sama Paopao?"

"Iya, katanya ada kedai ayam baru."

Apo terpejam saat hidungnya juga diusap. "Aku mau jajan-jajan banyak."

"Memang bayar pakai apa? Kartu dari Ayahmu kubawa."

"Ayah juga kasih aku uang kok," adu Apo. "Tuuu, di dompet putih. Banyak kertas harum yang bernama uang. Kata Ayah bisa dipakai beli jajan enak."

"Ho ... coba tunjukkan padaku."

Apo lantas mengeluarkan dompet dari pouch putihnya (lagi-lagi warna itu) di dalamnya ada uang kertas yang dilipat separuh. Mile gagal fokus lagi karena ada skincare lain di dalam, masker wajah, dan lain-lain karena Ta serius soal perawatan bayinya.

"Hm, tapi untuk awalan keluarnya denganku dulu. Nanti kuajari cara bayarnya," kata Mile. "Nominalnya kan juga berbeda-beda. Warna ini dan itu fungsinya ada sendiri. "

"Umn."

"Kalau begitu kita berempat akan makan malam di luar. Kita cari kafe yang lesehan biar enak kumpulnya. Setuju?"

"Iya, Daddy."

"Masu dan Paopao sendiri bagaimana, setuju?"

"Meooow."

"Meooow."

Kedua kucing itu pun mendekat karena dielus ubunnya. Mereka pergi pada pukul 6, Mile mengangkut ketiganya di mobil hitamnya. Apo sendiri menggemaskan karena bertopi hangat, apalagi warnanya merah jambu. Dia memesan ayam beberapa berpiring. Lalu membaginya kepada Masu dan Paopao. Di sisi lain Mile lebih suka sayuran, sang Alpha akhirnya menikmati menu-nya seorang diri. Cengirannya terlihat ketika difoto, tapi Mile membiarkan karena Apo bilang sedang belajar memakai kamera.

"Daddy, lihat sini. Lihat sini. Aku mau zoom dua kali lagi. Ha ha ha ...."

Masu dan Paopao juga mendapat bagian, lalu mereka berfoto bersama. Untuk Paopao, dia agak spesial. Sebab Apo menjepretnya berkali-kali hingga galeri iPad penuh oleh gambar sang kekasih.

"Bagus! Lagi-lagi! Lagi-lagi! Sama aku berdua saja!"

"Meoooww."

Apo pun memposisikan iPad agar bersandar di dinding kafe, lalu dia memeluk Paopao untuk selfie hingga puas. Rasanya hangat karena Paopao bulunya lebat, dia menciumi pipi si kucing seolah-olah dunia milik mereka sendiri. "Thank you! Thank you! Thank you!" katanya, entah sejak kapan meniru Bahasa Inggris. Rupanya Apo banyak belajar selama di rumah Ta Nannakun, dia merekam kebiasaan baik sang Ayah.

Di balik pot meja Mile pun mendengus kecil, dia sadar tak boleh tertarik kepada Apo. Namun, entah kenapa perasaan itu sulit diakhiri. Tangannya mengaduk selada dengan potongan seafood. Sepenuhnya sulit memahami diri sendiri hingga sekarang. "Celah? Sepertinya tak ada yang seperti itu," batinnya. "Kalian berdua sudah cocok, Pao. Walau besok aku mungkin harus mengambil waktu sendiri."

***

"Hah?! MILE!" kaget Jom dengan gagang pel yang diacungkan. Kamis malam Mile pun benar-benar mengunjungi kolam umum, dia masih mengenakan seragam Starbucks tapi tak peduli lagi. "Tunggu, tunggu, tunggu. Kau kemari sangat larut ada apa lagi? Sedang stress?"

"Iya."

Mile langsung menaruh 300 baht di dada Jom tanpa izin. Jom yang tahu kebiasaannya pun menyalakan lampu utama. Dia lanjut ngepel pinggiran kolam sambil memendam khawatir. Mile memang jarang minum-minuman keras, kecuali masalahnya memang sulit ditangani. Dia senang melampiaskan emosi di dalam air. Namun kenapa orang ini selalu tampak kurang bahagia? Batinnya. Dunia aneh-aneh saja.

Menurut Jom kehidupan Mile sudah sangat baik, apalagi dia punya rumah dan mobil sendiri. Kuliah S2 dan Mile hampir lulus. Wajah dan tubuhnya ideal. Punya bisnis, dan kerjaannya ramah lingkungan. Lantas kok masih sebegininya? Perasaan Jom melihat Mile stress belum lama ini.

"Biar kutebak, Mile. Apa ini masalah hati?" tanya Jom selagi teman lamanya berenang. Mereka memang satu sekolah waktu SMP, tapi tidak sampai dekat sekali. Namun, Jom tetap tahu lah. Apalagi Mile siswa berprestasi di sekolah mereka. "Soalnya kau bukan tipe yang memusingkan profesi. Jadi, ada gadis atau Omega yang menarik akhir-akhir ini?"

Mile yang mengambang pun tidak menoleh, dia menjaga keseimbangan agar tidak tenggelam. Alpha itu terus menatap langit-langit gedung renang yang tinggi. "Ada."

"Siapa?"

Jom mengumpulkan bak-bak bertebaran menjadi satu. Mile tampak sengaja datang setiap gedung hampir tutup. Dia mungkin butuh privasi.

"Seseorang yang manis sekali, cukup manja."

"Oh ...." desah Jom mengangguk-angguk. Lelaki itu mulai membayangkan visual pujaan hati kawannya, tapi dari deskripsi sepertinya Omega. "Terus kenapa tidak kau tembak? Perasaan biasanya kau santai masalah beginian. Bilang, jadian. Bilang, jadian. Bilang jadian--"

"Dia sudah punya pacar dan pacarnya keluargaku," sela Mile. "Aku menyayangi mereka dan sering bertemu, Jom. Tapi jika boleh minta saran, aku seharusnya melakukan apa."

"Eh? Kau punya saudara ternyata?"

"Jom, tolong. Bukan itu poin utamanya."

Jom pun garuk-garuk kepala. Dia coba memahami konteks obrolan ini, walau tak terlalu pintar di sekolah dulu. "Ya, bagaimana ya. Aku minta maaf, tapi tetap saja posisimu keliru."

".... aku tahu."

"Apalagi sampai merebutnya, wah. Keluargamu itu pasti berubah mindset padamu."

"Aku lebih dari tahu."

Meski tidak mengakui, Jom benar-benar prihatin kepada sang Alpha. Apalagi dirinya Beta. Hal memusingkan tentang gender dan genderless tak berlaku padanya, Jom menikmati kehidupan normal sebagai orang biasa. Dia pun kembali mengepel hingga selesai, sementara Mile linglung pada keesokan paginya. Mulai mengumpulkan Paper saat kuliah, pulang menggunakan mobil pelan-pelan. Mile sengaja tak ingin pulang karena dadanya sesak. Antara belum rela Gulf pergi, dihantui Zelena, pusing tugas akhir, belum lagi menekan batin sampai di rumah.

Mile takut kacau dan me-release feromon, karena Apo terlalu indah meski sudah menelan suppressant. Jika kebablasan yang dia sakiti bukan cuma si Paopao, melainkan Ta yang percaya padanya untuk menjaga sang 'Natta.' Dia pun merokok setelah sekian lama, jembatan layang menjadi tempat menyenangkan secara mendadak.

"Aku cinta sama Paopao, Daddy. Aku sayang. Tapi dia sering menyuruhku sama Daddy. Aku marah, serius. Tapi Daddy sendiri, bagaimana? Tidak suka aku sungguhan kan?"

Mile pun mengepalkan tangan mengingat hal itu. Dia menatap pantulan kota Bangkok di bawah jembatan. Ada kanal besar di sana. Mile lihat riak airnya tenang sekali, otak intrusifnya tiba-tiba menginginkan dirinya jatuh--lompat!

"Bodoh, aku sudah hampir sukses ...." desah Mile kepada diri sendiri. Dia berlari dari Zelena sejauh ini, maka jangan ada hal kecil menghancurkan impian di depan mata. "Aku sebaiknya pulang--"

"Mile Phakphum Romsaithong?" tanya suara lembut yang familiar. Mile pun terkejut melihat Zelena berdiri di depan mata, wanita itu baru memarkirkan mobil di belakang mobilnya. "Is dat you? Really?" Dia langsung berlari kecil ke arah Mile.

"Hah? Mama?"

Mile refleks mundur beberapa langkah. Dia tak menyangka dress cantik Zelena bisa dilihatnya lagi, padahal tadi siang sudah mati-matian sembunyi.

"Mile! Ya ampun, Mile! Aku benar-benar tidak menyangka! Jadi selama ini kau di dalam negeri? Why? Kupikir kau pergi entah kemana ...."

Rokok pun Mile jauhkan karena dorongan hati. Dia tak bisa melihat ujungnya membakar dress Zelena. Apalagi mengenai kulitnya. Mile paling tidak sanggup memukuli perempuan, dia hanya terkesiap saat Zelena memeluk erat. "Ma, tidak. Bukan seperti ini caranya--"

"Hihihi, astaga. Aku kangen sekali ...."

kata Zelena. Dia yang tampilannya semakin muda, Mile sampai tidak menerima fakta bahawa wanita itu adalah ibu tirinya. Padahal dulu riasannya berwarna-warni, namun kini semakin handal dan natural. Zelena juga harum parfum mahal. Dada Mile sampai berdesir, tapi trauma membuatnya beku sesaat. "Apa kabarmu sekarang, Sayang? Baik? Kenapa tidak pernah telepon Mama?"

"Ma--"

"Mama bingung karena sejak kau pergi tak ada yang Mama masakkan. Rumah sepiiii ...." keluh Zelena dengan pelukan semakin erat. Mile bingung karena jembatan itu banyak orang, mereka pasti tampak seperti sepasang kekasih daripada anak dan Mama tiri. "Aku selalu menunggumu pulang ...."

"...."

Mile pun berusaha menenangkan diri, rokoknya jatuh. Namun napasnya tak berhenti tersesak. Parfum wanita ini sungguh memabukkan, dia risih. Mile memang masih dikalahkan traumanya. "Ma, Sorry." Dia akhirnya bisa mendorong. "Aku tidak bisa begini, oke? Aku bukan Mile-mu yang waktu itu. Mama fokus ke Ayah saja."

Sang Beta langsung terdiam. ".... kau baru saja menolak Mama? Really?" tanyanya langsung sakit hati. "Bahkan setelah aku cerai dengan Ayahmu, kau pun masih tidak melihat Mama?"

"Apa? Kalian cerai?"

"Dan bahkan hal seperti ini kau pun tidak tahu?" tuding Zelena. "Kemana saja kau, Mile? Sebegitunya tak peduli sampai Ayah dan Mama tak kau tengok sekali pun," katanya sambil menunjuk dada sang Alpha. "Kurasa hatimu itu sudah tidak ada iya, kan? Mama bahkan melahirkan anakmu kau pun TIDAK PERNAH TAHU!"

"Hah?"

Seperti disambar petir, Mile pun tergugu di tempat. Dia memandang mata Zelena, ingin tak percaya tapi emosi sang Beta nyata.

Apakah seorang artis porno menguasai bidang akting juga? pikir Mile mencoba kalem.

Ingat kejadian website waktu itu, sudah jelas yang muncul di iklan adalah Zelena. Mile tahu walau hanya separuh tubuh yang tampak. Mungkin Zelena termutilasi pun dia bisa mengenali. Baginya, tubuh wanita ini terlalu nyata. Mile terdiam, padahal kepalanya pusing. Dia pun sesak napas, tapi berusa menariknya perlahan. "Atas dasar apa Mama bilang begitu? Aku punya anak? Itu bahkan sudah 6 tahun lalu!"

"Oh, ya ... dan sekarang anak kita pun hampir umur 6," kata Zelena. "Tinggal beberapa bulan lagi, Mile. Padahal kau sendiri yang dulu ingin punya adik bayi ...." Dia mengusap air mata yang mendadak turun. "Hiks, dan sekarang sudah kukabulkan kau pun masih begini. Apa kau pikir Ayahmu itu akan mengerti? Dia dan kau sama saja kalau tak pernah melihat sudut pandangku ... hiks, hiks, hiks .... percuma aku mempertahankannya hingga sekarang. Astaga, aku memilihmu ternyata anak dan Ayah sama saja pada akhirnya. Hiks ... hiks ... hiks ... aku sudah salah menilaimu ...."

Tangan Mile pun mulai tremor. Bercanda atau tidak kabar ini terlalu besar, apalagi dia memang tak tahu situasi rumah hingga sekarang. Mile pikir Kitt dan Zelena baikan setelah dirinya tinggal, tapi kenapa-- "Tidak mungkin, Mama bohong," kata Mile. "Mana ada anak segala dalam hal ini. Padahal baru saja Mama bilang rumah sepi. Sepi apanya kalau ada anak? Mama, tolong akun bukan anak 17 tahun yang bisa kau tipu lagi--!!"

"TAHU APA KAU SOAL SEMUANYA?! HAH?!" bentak Zelena. "Rara kubawa ke rumah kakek-neneknya! Di Pattaya!" katanya. "DAN KENAPA SEPERTI ITU, OKE ... KUJAWAB! Apa kau pernah berpikir aku tidak punya uang lagi?! Kitt marah karena aku hamil bukan anaknya. Masih mending juga dia tak kuberitahu kau ayahnya Rara! BRENGSEK KAU MILE PHAKPHUM! Aku memperhatikanmu, tapi tidak kau pikir sedikit saja! Hamil, melahirkan, dan merawatnya hingga sekarang ... aku butuh sering keluar untuk bekerja. TAPI APA?! Kau ini ... Mama selalu butuh kehadiranmu tapi tidak ada ...."

"...."

"Hiks, hiks, hiks, Mile ...." Zelena mulai meremas kemeja depan Mile dan merosot ke bawah. "Apa kau tidak ingin sekali pun melihat wajahnya Rara? Pulang sebentar, ya? Rara selalu bertanya siapa ayahnya ... hiks, hiks, hiks ...."

Meski tangannya menggigil, Mile pun mendorong Zelena sekali lagi. "Minggir."

"...."

"Anggap aku tak punya hati, terserah," kata Mile benci. "Kalau pun itu memang anakku, itu salah Mama sendiri. Aku tidak pernah ingin tidur dengan Mama."

Karena dihimpit maju, tubuh Zelena pun terseok-seok mundur. "M-Mile ... kenapa kau jadi menakutkan begini ...."

"Dengar ya, Ma. Aku sudah capek dengan kehidupan. Aku jengah," kata Mile. "Terima kasih untuk Mama sudah mengajariku banyak hal, baik dan buruk, apapun itu sudah kuterima." Suaranya menjadi berat pada kata per kata. "Jadi jangan protes kalau aku berubah seperti ini. Dasar kau pelacur rendahan ...."

"Mile ...."

"Mama adalah pelacur yang sungguh pelacur, sadar tidak? Mama adalah jalang yang sebenarnya ...." bisik Mile tepat di telinga Zelena. Padahal dalam hati dia ingin berteriak, tapi Alpha itu sudah memutuskan untuk menerima segala cara. Asal bukan kekerasan, maka dia akan lakukan. Mile berpegang teguh tidak mau membogem Zelena, meski ada asas feminitas yang menggelontorkan sifatnya sebagai makhluk bermoral.

"Tolong jangan buat aku berbuat lebih jauh dari ini, Ma. Aku sudah bingung harus lari darimu kemana lagi," batin Mile sebelum mundur. Dia lihat Zelena begitu pias, tak peduli kata-katanya tadi fakta atau tidak. Mile memutuskan mencari tahu sendiri setelah ini--

"Kau yakin melakukan ini pada Mama?" tanya Zelena tiba-tiba. "Kau pasti akan menyesalinya." Wanita itu mengepalkan tangan diantara lalu lalang pengendara jembatan, dress-nya berkibar lembut karena diterpa angin.

".... ya," kata Mile, benar-benar ingin menutup hatinya. "Jadi jangan harap aku jadi lacurnya Mama lagi. Maaf. Aku sudah senang dengan hidupku sekarang."

"Jadi kau mencintai orang lain?"

Seketika jantung Mile berdebar.

".... apa?"

"Oh, tebakanku benar ya ...." Air mata Zelena turun kembali. Dia tidak histeris seperti tadi, tapi makin terluka dengan omongan Mile setiap detiknya. "Pantas, tidak bisa mendengarkan kebenaran. Dasar ayah tidak bertanggung jawab," hardiknya. "Kau boleh benci aku, tapi harusnya jangan anak-mu. Sudah pasti kau pun berdosa karena memutuskan hal salah."

Tangan Mile terkepal di sisi tubuh. ".... terserah."

"Mama pastikan Rara akan dapatkan ayahnya lagi. Lihat saja."

"...."

Mile pun melihat langkah anggun Zelena menuju mobil, atau lirikan matanya sebelum membuka pintu. Jujur Mile berdebar kala Zelena semakin jauh, tiba-tiba saja dia takut bahwa si 'Rara' itu benar-benar nyata--tidak mungkin!

"Semua orang, bilang padaku bahwa itu tidak mungkin ...." gumam Mile diantara berisiknya ban mobil Zelena yang pergi.

***

"Lagi-lagi. Waaahhhhhhh!" seru Apo di lantai kamar Mile Phakphum. Dia, Masu, dan Paopao duduk melingkar. Ketiganya sedang memelototi buku mantra Apo yang didikte Masu. "Bagus! Bagus! Sekarang kumis kucingku bisa muncul dan hilang! Ha ha ha! Keren!" Dia bertepuk tangan sebelum membuka halaman yang lain.

Hari ini Masu berusaha kerasa mengingat mantra, walau hasilnya samasekali belum berarti. Setidaknya Apo bisa menemukan secercah cahaya, pertanda formula sihir ini tinggal dicari terus-menerus. "Sekarang simbolnya seperti kotak," katanya.

"Iya?"

Apo pun menggambar kotak.

"Terus ada segitiga terbalik yang menimpanya."

"Hu-um?"

Apo terus mengikuti intruksi.

"Nah, sebelahnya lagi gambar bunga lotus. Simbolnya seperti pintu kerajaan kita, Natta. Cukup mahkotanya saja. Tidak perlu tangkainya. Kasih titik."

Apo pun berusaha memahami. "Oke, oke. Aku coba dulu sebentar ...."

"Hm."

Ketiga ekor mereka mengibas-ngibas. Sebab semuanya excited dengan apa lagi yang terjadi. Ya, walau prosesnya begitu lambat. Apo dan Masu baru mengoleksi 4 mantra, yakni menghilangkan paw, kumis-kumis, bulu badan, dan taring kucing dari dalam mulut. Satu mantra saja bisa berhari-hari, apalagi Apo harus didikte simbol mantra-nya satu per satu. Bila mantra isi 3 baris simbol, berarti harus bekerja keras. Hmm ... toh Daddy mereka belum pulang juga. Kegiatan ini cocok untuk membunuh waktu, meski lapar sekali mendera perut.

"Oke, sudah. Seperti ini?"

Masu pun mengoreksi setelah buku Apo dibalik ke arahnya. "Bukan, bukan. Coba hapus lagi dan ulangi?" pintanya. "Natta, bunga lotusmu itu kekecilan, tahu. Gambar aslinya masih lebih besar ...."

"Iiih, iyakah?" Apo refleks mencebikkan bibir. "Hmph, kesaaaaal. Tapi tenang pasti kuulangi lagi." Dia nyengir sambil menghapus mana saja yang keliru. Paw Masu di-tap-tap menuju kertas. Dia selalu mementori Apo agar tidak salah tulis.

"Nah, iya. Iya! Begitu, Natta. Bagus! Sedikit lagi pasti jadiiii ....!" kata Masu ikut sumeringah. Padahal itu baru simbol ke 15, masih banyak yang harus dibikin hingga bisa berfungsi.

Namun Paopao sering diam karena tak paham konteksanya, Persia oren itu hanya mengawasi jalannya usaha mereka semua. "Meow, Natta. Tapi kalau sudah capek istirahat lho. Ini sudah jam 11," tegurnya.

"Eh? Iyakah?"

"Hmmm, iyaaaa."

Apo malah celingak-celinguk ke sekitar. "Wah, iya." Dia menonton jam beker yang berdiri di atas nakas. Merasakan ada yang aneh bila sang Daddy tidak di rumah. "Tapi Daddy kok belum pulang, ya. Ada apa ...." katanya. "Aku jadi ingin ketemu."

Paopao pun ikut menoleh kesana kemari. Dia memastikan semuanya aman, hingga ada gebrakan di teras halaman--brakh!

"MEOOOOOWWWWWW!!"

.... suaranya seperti binatang mengamuk. Ketiganya pun buyar demi melihat apa yang terjadi.

"DADDYY!"

"MEOOOW!"

"MEOOWW!"

"MEEOOOWWWWWW!"

Tolong tunggu aku sebenataaaaaarrr!

Ternyata itu benar-benar Mile, namun sang Alpha tak secerah biasanya. Saat datang dia mengobrak-abrik meja tamu. Mile tidak mengindahkan tiga kucing yang memperhatikan dirinya di depan mata. "ARRRGGGHHH!" teriaknya. "Aku benar-benar sangat lelah ...."

Bersambung ....