Chereads / Sebuah Perjalanan di Dunia Kai / Chapter 67 - Cerita Hidup Amelia

Chapter 67 - Cerita Hidup Amelia

"Ibu, ini air hangatnya. Minumlah." Seorang wanita muda duduk disamping seorang wanita setengah baya yang terbaring di ranjang rumah sakit. "Terima kasih, Dian. Kau tak usah repot melakukan ini untukku." Ujar wanita setengah baya tersebut.

Dian mengambil sebuah bingkai foto yang terletak di atas meja yang berada di sebelah ranjang rumah sakit tersebut. "Tak apa ibu, aku sangat khawatir akan dirimu." Ujar Dian sambil memegang tangan ibunya. "Kau harus menjaga dirimu baik-baik, bu. Aku tak dapat lagi menjagamu, karena aku akan segera tinggal bersama keluarga suamiku."

Dian menatap foto yang berada pada bingkai tersebut, "Kurasa aku akan membawa foto ini bersamaku, kalau kau memperbolehkannya." Dian menatap ibunya dengan penuh arti. "Aku ingin foto kita bersama kakek dan ayah menjadi kenangan bagiku selamanya."

Wanita setengah baya tersebut mengerti bahwa anak angkatnya itu tahu bahwa hidupnya sudah tidak lama lagi. Ia tersenyum kepada Dian, "Tentu saja Dian, kau boleh membawanya." Ia kemudian membuka laci di samping ranjangnya, dan mencari sebuah foto yang dia simpan di bawah ranjangnya.

Wanita setengah baya itu memberikan foto itu kepada Dian, "Kau juga harus menyimpan ini. Ayahmu tentu akan sangat senang bila kau menyimpan foto pernikahannya dengan ibu kandungmu." Dia meraih lengan Dian dan menaruh foto tersebut dalam genggamannya.

"Terima kasih ibu. Cepatlah sehat." Dian mencium dahi ibunya, "Aku harus segera pergi sekarang, ibu. Lima belas menit lagi, aku harus bertemu dengan dokter Obgyn-ku untuk checkup bulanan." Wanita setengah baya itu tersenyum kepada Dian "Tentu saja, jangan terlambat. Aku tak sabar untuk melihat wajah cucuku." Ia membalas ciuman Dian dengan mencium dahi Dian dan memeluknya.

Dian berdiri dan berjalan menuju pintu rumah sakit. Ia melambaikan tangannya kepada ibunya yang duduk di tempat tidur. Dian tampak segan untuk meninggalkan ibunya, namun pada akhirnya ia menutup pintu ruangan tersebut.

Wanita setengah baya itu berhenti tersenyum ketika anak angkatnya pergi dari ruangan tersebut. Ia kemudian menarik sebuah foto yang tersembunyi dibawah foto pernikahan ayah Dian. "Bang Yuda, anakmu sebentar lagi akan memiliki keturunannya sendiri. Aku pun sebentar lagi akan menyusulmu dan ayahku."

Ia memandang ke angkasa, "Kurasa tugasku sudah selesai sampai disini." Ia membalikkan foto itu sambil membaca tulisan di belakang foto. 'Kenangan bersama Amel, wanita yang kucintai setelah istriku, dan calon ayah mertuaku.'

Wanita setengah baya itu menghela nafasnya. Ia mengambil sebuah kotak kecil di samping tempat ia menyembunyikan foto tersebut. Ia tersenyum dan memutar kembali ingatannya seminggu setelah foto itu diambil.

***

Seorang Pria tengah baya duduk disamping seorang wanita yang mendekati umur tiga puluh, ia terlihat sangat gelisah dan gugup. Wanita itu mengira bahwa Pria itu mungkin gugup karena kali ini dia akan pergi sendiri ke medan pertempuran bersama pasukan dari batalyon lain. Mereka sudah sering melakukan misi bersama-sama, maka tentu kali ini ia perlu menyesuaikan diri dengan partnernya yang baru.

Pria itu melirik wanita di sebelahnya dan berkata, "Amel, kau tahu 'kan bahwa aku sudah menjadi seorang duda sejak anak perempuanku lahir?" Amelia mengangguk kepadanya, "Tentu saja, Dian 'kan sering bermain bersamaku sejak ia kecil. Mana mungkin aku tak mengetahuinya. Ada apa sih bang Yuda?" Tanya Amelia kepada Yuda.

Yuda kembali melirik Amel dengan malu-malu, "Er… Kau kan sudah umur dua puluh sembilan tahun sekarang dan belum memiliki pacar." Yuda menggerakkan kakinya dengan ritme yang sangat cepat yang menandakan dia sangat gelisah ketika itu, "Bagaimana jika kau menikahi aku saja? Dian akan sangat senang bila kau dapat menjadi ibunya."

Yuda memalingkan wajahnya dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Tangannya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya dan segera menyodorkan kotak kecil tersebut ke hadapan Amelia.

Amelia melihat kotak kecil tersebut dan mengetahui pasti apa yang ada di dalamnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya menuju cincin hijau muda yang tersemat di jari manisnya tersebut. Saat Amelia menatap cincinnya, Amelia mengingat dengan pasti bahwa ia pernah menikah dan merasakan sebuah cinta yang dalam kepada seseorang yang bahkan tidak pernah ada di dunianya.

Yuda menatap Amelia yang sedang melihat ke arah cincin yang dipakainya. Yuda mengetahui bahwa cincin itu tidak pernah lepas dari jari manis Amelia sejak pertama kali ia temukan sepuluh tahun yang lalu di saku baju Amelia. Yuda kemudian berkata kepadanya, "Kau tak perlu menjawabnya sekarang. Aku akan menunggu jawabanmu setelah aku pulang dari misi kali ini. Kau dapat mempertimbangkan keputusanmu sampai aku pulang nanti."

Yuda menelan ludahnya untuk sesaat. Ia berharap bahwa Amelia akan menerima lamarannya. "Bila kau tidak yakin dengan perasaanmu, setidaknya pertimbangkanlah untuk menjadi seorang ibu untuk Dian. Kurasa dia sangat membutuhkan sosok seorang ibu, dan untukku, aku yakin bahwa hanya kaulah orang yang dapat mengisi tempat itu."

Amelia memandang kotak kecil tersebut, ia kemudian menoleh ke arah Yuda seraya menjawab, "Baiklah, aku akan mempertimbangkan lamaranmu dan menyampaikannya kepada ayah. Kurasa bukan sebuah ide buruk apabila aku dapat merawat Dian bersama dengan ayah dan bang Yuda."

***

Senyum Amelia pudar ketika ia mengingat kembali kepulangan bang Yuda dalam keadaan tidak bernyawa. Yang kembali ke hadapannya hanyalah sebuah pusara yang tidak lagi dapat berbicara pada Amelia.

Biarpun Amelia berniat untuk menolak lamaran Yuda karena ia masih mencintai Sean sampai detik itu, Amelia sama sekali tidak mengharapkan kematian Yuda. Ia ingat dengan pasti bahwa saat itu ia menangis dan berteriak sejadinya "Bagaimana aku dapat menjawab lamaranmu, apabila kau pulang seperti ini?!" Ujar Amelia di hadapan pusara tersebut.

Ayah Amelia menenangkan Amelia dengan menepuk-nepuk pundaknya perlahan-lahan. Ia memberikan sebuah saran kepada Amelia "Bagaimana jika kita mengadopsi Dian untuk menjadi anakmu? Kau ingat harapan Yuda sebelum ia pergi, dan kau juga tidak menentang ide itu bukan?" Ia merangkul Dian yang baru saja beranjak remaja di samping pusara ayahnya.

Amelia menoleh kepada Dian yang menangis dan memandang dengan pandangan yang kosong. Amelia kemudian merangkulnya dengan tangan gemetar, "Dian, kau tidak perlu khawatir. Mari kita bersama-sama menjadi sebuah keluarga. Kau dapat menyandarkan dirimu padaku, aku akan berada disini untukmu."

Pada detik itu, tangisan Dian meledak dan ia memanggil Amelia ibu untuk pertama kalinya. Ayah Amelia merangkul kedua anggota keluarganya dan mengelus kepala keduanya, ia berbisik diantara keduanya, "Kita akan melalui ini bersama-sama."

***

Amelia menyandarkan kembali punggungnya ke ranjang rumah sakit di ruangan tersebut. Ia memandang keluar jendela dan kembali tersenyum. Pada akhirnya, cincin yang berada di kotak kecil yang disodorkan Yuda tak pernah tersemat di jari manisnya sama sekali.

Amelia memberikan cincin tersebut kepada anaknya sebagai cincin pernikahan Dian. Amelia menatap cincin hijaunya sekali lagi, 'Apakah kau tahu Sean? Sepanjang hidupku sebagai Amelia, aku tak pernah sedetik pun menyesali semua yang terjadi. Aku sangat merindukanmu, dahulu, sekarang, dan kuharap aku dapat bertemu lagi denganmu apabila aku meninggalkan tempat ini nanti.'

Kelopak mata Amelia terasa semakin berat. Perasaan sakit di perutnya yang selama ini menghantui dirinya, tiba-tiba memudar. Untuk beberapa saat, Amelia merasakan sebuah ketenangan batin yang selama ini dia inginkan.

Kedua suster yang datang ke ruangan tempat Amelia dirawat melihat Amelia yang tertidur dengan tenang, "Bu Amel, bangun bu. Sekarang waktunya kita cek tekanan darahnya ya? Bila tekanan darahnya berada dalam batas normal, kita dapat melakukan prosedur operasinya besok." Ujar salah suster itu dengan ramah.

Ketika suster itu meraih lengan Amelia untuk memeriksa tekanan darahnya, suster itu terlihat panik dan setengah berseru kepada suster yang lain, "Anis, tolong kau panggilkan dokter segera. Aku takut ibu ini sudah tidak bernyawa lagi."

Suster yang bernama Anis itu kemudian lari tergopoh-gopoh keluar ruangan dan melakukan panggilan telepon. Tak lama berselang, seorang dokter datang ke ruangan tersebut bersama suster Anis. Dokter tersebut memeriksa kondisi Amelia dan tertunduk, "inna lillahi wa inna ilahi raji'un, Ibu Amelia Sri Rahayu Haryanti telah meninggal pada tanggal tiga Juni dua ribu empat puluh lima, pada jam dua lewat tiga puluh enam menit." Ujarnya kepada para suster.