Chereads / Sebuah Perjalanan di Dunia Kai / Chapter 68 - Setelah kematian

Chapter 68 - Setelah kematian

Setelah merasakan tidur yang cukup panjang, Amelia membuka matanya kembali perlahan-lahan. Ia merasakan sakit di perutnya kembali, ia merasa perutnya seperti baru saja ditusuk oleh benda yang sangat tajam.

Ia melihat seorang pria dengan jas lab berwarna putih berdiri di hadapannya. "Mmmhh… Dokter, apakah kanker di perutku sudah tidak lagi tertolong?" Amelia bernafas tersenggal-senggal. Ia merasakan sebuah kelelahan yang luar biasa dan rasa panas yang tidak dapat ia tahan lagi.

"Berhentilah berbicara, itu akan membuat lukanya semakin parah." Ujar dokter itu kepada Amelia. "Kita akan segera tiba di mesin penyembuhan, bertahanlah." Lanjutnya sambil mendorong tempat tidur Amelia dengan kecepatan tinggi.

Setelah tempat tidur Amelia sampai di sebuah ruangan, dokter yang membawanya segera lenyap dari pandangan Amelia. Ia kemudian melihat ke sekelilingnya. Amelia melihat sebuah mesin besar dengan tabung yang dapat memuat tubuhnya di sebelah mesin tersebut. Amelia mengenali mesin tersebut dan ia segera tertawa kecil 'Apa-apaan ini, bahkan ketika aku mau mati pun aku masih berilusi mengenai planet Kai.'

Seorang suster yang mirip dengan wajah Malika mengangkat tubuh Amelia bersama dokter yang membawanya ke dalam ruangan tersebut. "Bertahanlah Maria, jangan sampai kehilangan kesadaran." Ujarnya dengan wajah panik.

'Maria? Sudah lama sekali rasanya aku tidak dipanggil demikian.' Amelia memperhatikan wajah wanita yang mirip dengan Malika tersebut. Pandangannya tetap samar-samar dan matanya pedih tak tertahankan. 'Percuma, kurasa mata inipun sudah tidak dapat kupakai untuk melihat.' Amelia merasa sangat pasrah pada titik itu.

Amelia melihat bahwa dirinya dipindahkan ke dalam tabung, dan tabung itu menutup. 'Haaa… ini seperti berada di hutan perburuan ketika itu.' Amelia menutup matanya sambil tersenyum mengingat waktu ketika Sean menyembuhkan dirinya dengan mesin yang terlihat sama persis.

Ketika Amelia menutup matanya, ia merasakan sensasi yang sama persis dengan apa yang dia rasakan ketika itu. Perasaan Amelia terasa sangat bercampur aduk, 'Perasaan ini sangat aneh sekali, aku tahu aku pernah merasakan ini sebelumnya dari waktu yang sangat lama sekali.'

Perlahan, perasaan sakit di sekujur tubuhnya mereda. Amelia merasakan sensasi dingin dari kabut yang berasal dari dalam tabung tersebut. Sensasi itu kemudian berubah menjadi sebuah kehangatan seraya tabung tersebut terbuka.

"Untunglah kita sempat menyelamatkannya!" Ujar wanita yang mirip Malika tersebut sambil menoleh kepada pria di sampingnya. "Terima kasih tuan Allison. Aku tak yakin kita dapat menyelamatkannya bila kau tidak segera berlari kemari." Tuan Allison menepuk pundak wanita tersebut sambil tersenyum "Tak perlu kau sebutkan Malika. Itu sudah menjadi tugas kita."

"Malika?" Ujar Amelia sambil memandangi wajah Malika dengan seksama. "Apakah aku bermimpi?" Ia mengedip-ngedipkan matanya dan kembali menatap Malika dengan mata yang terkejut.

Malika memandangi Amelia sambil menunjukkan kekhawatiran, "Maria, kau tidak apa-apa? Tidak ada ingatan yang salah dengan dirimu bukan?" Tanyanya sambil memeriksa seluruh bagian tubuh Maria dengan seksama.

Maria segera terduduk dari tempat tidur di tabung tersebut. Malika segera mengangkat lengannya dan mencoba menghalangi kepala Maria dari tabung yang belum terbuka sempurna, "Hati-hati, nanti kepalamu bisa terbentur!" Ujar Malika sambil menatap Maria dengan bingung.

"Malika?" Maria mengulang pertanyaannya kembali. Maria kembali memandangi Malika dan memandang ke arah tubuhnya. Ia memandangi kedua telapak tangannya dan baju yang dia pakai di tempat tersebut.

Maria tiba-tiba terdiam ketika melihat baju ketat yang ia pakai hancur terkoyak. Ia melihat sisa-sisa darah di tubuhnya, yang ia kenali sebagai darah miliknya sendiri. Maria memandang kembali Malika, "Tanggal berapa ini? Bagaimana dengan Sean? Apa yang terjadi setelah itu?" Matanya membelalak dan berusaha beranjak bangun.

Malika menahan tubuh Maria dengan kedua lengannya, "Tenanglah Maria. Tuan Smith baik-baik saja, ia sudah ditangani olehku sebelumnya. George dan aku kebetulan ada disini ketika tuan Derrik membawa kalian berdua."

Maria mengerutkan dahinya dan menangis sejadi-jadinya. Malika kaget ketika Maria menangis tersedu-sedu, "Tentu saja kau khawatir kepadanya, tetapi asal kau tahu bahwa lukanya masih lebih ringan daripada luka yang kau alami ketika kau memasuki tempat ini." Malika merangkulnya seraya menepuk-nepuk punggung Maria.

Tangisan Maria tidak berhenti sampai beberapa waktu. George dan Malika saling melempar pandangan mereka. George kemudian mengangkat kedua pundaknya, "Kurasa aku akan membantu dokter yang lain disini." Ujar George. Malika mengangguk kepadanya dan kembali menenangkan Maria.

Setelah Maria kembali tenang, Malika duduk disebelah Maria sambil berkata, "Tuan Smith sedang tertidur di ruangan 405. Kondisinya stabil, namun staminanya habis terkuras sehingga walaupun mesin ini selesai menyembuhkan tubuhnya, ia masih membutuhkan istirahat." Malika menggenggam tangan Maria, "Kau juga sebaiknya beristirahat dahulu."

"Apakah aku tidak dapat melihat wajahnya, barang sekali saja?" Ujar Maria kepada Malika. "Aku… Aku sudah terlalu lama tidak memandang wajahnya, Malika? Tolong?" Maria memelas agar ia diberikan izin untuk melihat Sean, karena untuknya ia sudah tidak bertemu dengan Sean selama lebih dari dua puluh tahun masa hidupnya.

Malika memandangnya sambil mengerutkan dahi sesaat, lalu ia tersenyum, "Baiklah, ayo kita lihat keadaan tuan Smith. Tapi berjanjilah untuk tidak membangunkannya, oke?"

Wajah Maria berubah menjadi sangat cerah ketika dia mendengar apa yang dikatakan Malika, "Tentu saja! Aku berjanji tidak akan mengganggunya." Seketika itu juga Maria segera melompat dari mesin penyembuhan tersebut.

Malika tersenyum kepadanya, "Ada apa dengan dirimu, kau berlaku seperti layaknya Adel hari ini." Ia ikut berdiri dan berjalan di depan Maria "Ayo ikuti aku, akan kutunjukkan ruangan Tuan Smith." Ujar Malika dengan tenang.

Dalam beberapa menit, Maria dan Malika tiba di ruangan 405. Maria melihat kepada Malika yang berdiri di depannya, Maria sudah tidak sabar untuk membuka pintu tersebut. Ketika Malika membuka pintu tersebut dan mempersilakan Maria untuk masuk, Maria segera berlari ke arah Sean.

Maria segera menatap ke arah Sean yang sedang tertidur setelah menjalani perawatan. Rambutnya yang berwarna perak platinum, struktur wajahnya yang sudah lama ia rindukan, Bibirnya yang selalu mengecup dan mencumbu dirinya. Tanpa ia sadari, air mata Maria menetes ke pipi Sean.

Maria segera mengusap air matanya dengan telapak tangannya. Saat itu, Sean membuka matanya dan menatap Maria yang berdiri di depan matanya. Sean yang melihat istrinya menangis di hadapannya kemudian mengangkat lengannya perlahan. Sean menaruh tangannya di pipi Maria sambil tersenyum kepadanya, "Kau tidak apa-apa?" Tanya Sean kepada Maria.

Seketika itu, Maria segera memeluk Sean yang masih terbaring di ranjang pusat medis tersebut. Ia memeluk erat suaminya sambil menangis tanpa suara. "Aku… Aku merindukanmu." Isaknya perlahan, "Kupikir aku tidak akan lagi bertemu dengan dirimu."

Sean yang baru saja terbangun merasa bingung dengan sikap Maria yang tiba-tiba. Namun demikian, melebihi segalanya, ia bersyukur bahwa Maria selamat dari pertarungan yang mereka hadapi beberapa waktu lalu. Ia segera membalas rangkulan Maria dan mengelus rambut cokelatnya dengan penuh kelembutan. "Tak apa. Aku tidak akan pergi kemanapun, aku akan berada disini disampingmu."

Malika yang sedang menyandarkan dirinya di dekat pintu ruangan tersebut tersenyum dari kejauhan. Dia mengamati kedua sejoli itu saling mengkhawatirkan satu sama lain, lalu bergumam perlahan, "Nampaknya aku menjadi nyamuk disini." Malika kemudian memalingkan dirinya dari mereka dan keluar dari tempat tersebut.

Setelah pintu di ruangan tersebut tertutup, Sean mengecup dahi Maria "Kau tidak apa-apa, sayangku?" Ia memandangi Maria yang memiringkan wajahnya untuk menatap Sean.

Maria tersenyum bahagia kepadanya, ia kemudian menatap Sean dan berkata "Kau tahu? Setelah aku tertusuk oleh Ilmuwan Wang, kupikir aku akan mati."

Sean memandangi Maria dengan penuh rasa bersalah, "Aku seharusnya memaksakan diriku untuk kembali bangun dan segera menyerangnya kembali." Ia menggenggam tangan Maria dan menciumi jari-jemarinya. "Maafkan aku" Ujar Sean sambil memandangnya dengan mata sedih.

Maria tersenyum kepadanya, "Tak apa, kurasa semuanya sudah berlalu." Ia memandangi jari manis Sean yang sama-sama menggunakan cincin berwarna hijau di tangannya. "Ketika aku tak sadarkan diri, kurasa aku bermimpi, mengenai kehidupanku sebagai Amelia dan betapa aku kehilangan diriku tanpa adanya kau disampingku sepanjang hidupku."

Sean terhenyak ketika dia mendengar Maria berkata mengenai hidupnya sebagai Amelia. Saat itu, Sean menyadari mengapa Maria menangis di hadapannya. Sean kemudian kembali memeluk Maria dengan seerat-eratnya, "Kau dapat menceritakannya kepadaku, semua yang kau alami sebagai Amelia di mimpi itu." Sean memandangnya dengan tatapan penuh cinta.

Maria membalas pandangan Sean sambil tersenyum, "Kau mau mendengarkannya?" Sean mencium kembali jemari Maria, "Tentu saja. Aku akan sangat penasaran dengan pengalamanmu disana, kuharap aku dapat berada di dalam mimpimu ketika itu."

Setelah itu, keduanya berbaring di tempat tidur pusat medis itu. Maria mulai menceritakan kisahnya mengenai hidup Amelia dan bagaimana dia merindukan Sean setiap saat dalam hidupnya. Sean tampak senang ketika dia mendengarkan cerita Maria mengenai petualangan hidup Amelia. Sesekali, Sean berkomentar bahwa ia ingin berada di tempat itu untuk menghibur Maria.

 

 

--- End ---