Bipppp---- Bipppp---- Bipppp---- Sebuah suara yang mengganggu telinga membangunkan Maria dari tidur panjangnya. Ia membuka matanya perlahan. Sebuah lampu downlight LED terpancar dari langit-langit di ruangan tersebut.
'Haaa… Dimanakah ini?' Pupil Maria menyesuaikan kondisi pencahayaan disekitarnya. Maria mengangkat lengannya dan melihat infus yang tertancap di lengan kanannya. Sesaat, Maria merasakan sakit di sekujur tubuhnya seakan tulang-tulangnya akan hancur.
Maria segera menurunkan kembali lengannya ke tempat tidur seraya mengerang "Uhhh…" Matanya memandang ke sekelilingnya. 'Sebuah bangsal rumah sakit. Apakah mereka kehilangan teknologi mereka untuk memindai luka-luka berat dan menyembuhkannya secara instan?' Tanya Maria dalam hati. 'Mengapa mereka masih menggunakan infus?'
Maria terdiam kembali dan mengamati langit-langit. Ia hanya menunggu dan menunggu di tempat itu tanpa dapat menggerakkan anggota tubuhnya karena rasa sakit yang ia alami. "Dokter! Pasien dari infanteri pasukan Indonesia telah siuman!" Seorang perawat wanita yang berkulit putih berseru dengan menggunakan bahasa inggris. Ia lalu berlari keluar ruangan yang dihuni Maria.
'Infanteri?' Maria menoleh ke arah larinya perawat wanita itu. 'Ahhh… nampaknya aku sudah bukan lagi Maria.' Ujarnya sambil terdiam dan mengeluarkan air mata pada kedua sisi wajahnya. Dahinya mengerut dan matanya ia tutup sekuat-kuatnya.
"Uhu… Uhuhuhuhu…" Amelia terisak-isak dan menangis karena dadanya terasa sesak melebihi sakit yang dia rasakan saat itu. Dokter segera mendatangi bangsal tempat Amelia terbaring. Ia segera menggunakan bahasa inggris dan berusaha berkomunikasi dengan Amelia "Ada apa? Kau tidak apa-apa?"
Amelia terus menangis tersedu-sedu dan tidak mempedulikan perkataan dokter tersebut. Saat itu, ia hanya dapat merasakan bahwa hatinya hancur berkeping-keping. Dokter dan suster yang merawatnya kemudian panik dan salah satu suster mengangkatnya perlahan dan memeluknya.
Para dokter dan suster menyangka bahwa Amelia menangis karena rasa traumanya atas pertarungannya sebelum ia jatuh pingsan. "Tidak apa-apa, kau sudah aman disini." Ujar salah satu suster itu menepuk-nepuk pundak Amelia dengan perlahan dan penuh dengan kasih.
Dokter dan para suster yang melihat suster tersebut memeluk dan menenangkan Amelia. Mereka melihat reaksi Amelia yang menerima pelukan itu sambil terus menangis. Suster yang memeluk Amelia mengangkat jari telunjuknya ke mulutnya dan mengisyaratkan agar para dokter dan suster pergi keluar dari ruangan.
Setelah beberapa waktu, tangisan Amelia mereda. Tangisan itu berubah menjadi isakan-isakan kecil yang berhenti dari waktu ke waktu. 'Semua yang kualami di planet Kai hanya sebuah mimpi? Mengapa semuanya begitu nyata.' Amelia meneteskan air matanya dan terdiam.
Setelah Amelia merasa lega dan meyakini semua yang ia alami di planet Kai hanyalah sebuah bagian dari mimpi panjangnya, Amelia hanya memandang langit-langit. Ia menoleh kepada suster yang memeluknya selama ia menangis. "Terima kasih suster." Ujarnya dengan bahasa inggris. Suster itu hanya tersenyum kepada Amelia, "Tak apa. Semuanya sudah berakhir, mereka sudah melakukan gencatan senjata dua hari yang lalu."
Dari ranjang-ranjang yang ada disamping dan diseberang tempat tidurnya, terdengar percakapan prajurit dari negara lain. "Wanita itu berisik sekali." Salah satu prajurit berbisik. Sementara prajurit lainnya membalas bisikannya "Kurasa karena itulah wanita hanyalah seorang wanita. Mereka tidak pernah merasakan kesulitan dalam pertempuran."
Amelia mendengarkan percakapan prajurit-prajurit tersebut. Tiba-tiba ada seseorang yang marah atas komentar prajurit tersebut, "Setelah kalian aku lindungi, kau masih mengatakan wanita hanyalah seorang wanita?" Suara berat prajurit wanita yang tertidur disamping mereka terdengar jelas di telinga Amelia. "Maafkan kami Maria…!" Ujar kedua prajurit yang bercakap-cakap tersebut. "Awas bila kalian mengatakan hal itu lagi." Ujar Maria dengan nada marah.
Amelia terkejut ketika ia mendengar namanya dipanggil. Amelia kemudian menoleh ke arah tempat tidur yang ditutupi oleh tirai tersebut, 'Tentu saja, aku bukanlah Maria.' Amelia melengkungkan ujung-ujung sudut mulutnya dan tersenyum kecil. Ia merasa lega bahwa masih ada wanita-wanita yang dapat berdiri diantara orang-orang yang mendiskriminasikan wanita pada umumnya.
'Mungkin pengalaman di planet tersebut hanyalah sebuah proyeksiku tentang kehidupanku dalam lingkungan TNI.' Amelia terdiam kembali dan menutup kembali matanya 'Tetapi mengapa perasaanku ini tidak dapat kusangkal.' Amelia kemudian berbisik perlahan dimana suaranya hanya terdengar bagi dirinya sendiri. "Sean…" Air mata Amelia kembali mengalir tanpa ia sadari.
***
"Amel, Bagaimana perasaanmu? Apakah kau sudah lebih baik sekarang?" Dua orang wanita dengan rambut hitam dan seragam TNI berdiri disamping tempat tidur Amelia. Amelia memandang mereka berdua dan mengenali mereka sebagai Siti dan Dewi.
"Ya, tentu saja. Ini sudah seminggu sejak aku pulang dari Rusia. Terima kasih Dewi." Amelia tersenyum kepada Dewi. Siti memegang tangan Amelia yang masih diinfus di ruangan rumah sakit di Indonesia. "Syukurlah, aku sangat khawatir ketika mendengar berita dari Bang Yuda. Dia mengatakan kau mungkin cacat permanen karena tusukan di punggungmu."
Amelia menatap Siti dengan kelembutan "Kurasa aku beruntung. Dokter bilang aku dapat segera kembali bergabung dalam kesatuan TNI dalam jangka waktu dekat." Tatapan Amelia dibalas oleh kedua sahabatnya dengan senyuman yang tulus.
"Kau harus segera kembali sehat. Kami akan menunggumu kembali dalam tubuh TNI." Ujar Dewi dengan nada antusias. "Aku yakin Bang Yuda dan Pak Parman akan senang bila melihatmu kembali." Dewi menepuk pundak Amelia perlahan.
"Oh iya, omong-omong tentang Bang Yuda. Ini ada titipan darinya untukmu." Siti mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Amelia membelalakkan matanya ketika ia melihat plastik transparan yang ada di telapak tangan Siti.
Sebuah cincin berwarna hijau dan aksesori kupu-kupu yang sayapnya telah hancur. "Apakah kedua benda ini sangat penting untukmu? Bang Yuda bilang ia menemukannya di saku baju militermu pada saat kau bertugas." Siti bertanya kepada Amelia.
Siti kaget melihat reaksi Amelia. Dia segera menghentikan kalimatnya ketika air mata Amelia mengalir di pipinya. Siti segera menggoyangkan tubuh Amelia dengan panik "Kau tidak apa-apa? Apakah masih ada lukamu yang sakit?"
Amelia menatap kantong kecil itu dan tersenyum "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa." Amelia menoleh kepada Siti dan Dewi. "Aku sungguh tidak apa-apa. Kurasa ada sesuatu yang masuk ke mataku tadi." Mata Amelia kembali melekat kepada kedua barang tersebut.
Lengan Amelia meraih kantong tersebut dengan gemetar. "Terima kasih telah mengembalikan kedua barang ini kepadaku. Ini sangat berharga untukku." Amelia tersenyum bahagia dan memandang kembali kepada kedua temannya yang terbingung-bingung dengan reaksi Amelia.
"Baiklah kalau kau merasa tak apa-apa, itu bagus." Siti memiringkan kepalanya, ia merasa lega melihat kawannya itu tersenyum melihat kedua barang tersebut. Dewi kemudian membuka sebuah pembicaraan mengenai keadaan negara Rusia sekembalinya Amelia dari tempat itu. "Kudengar bahwa gencatan senjata tersebut berjalan dengan lancar…" Ketiga sahabat itu bercakap-cakap untuk waktu yang cukup lama.
"Ah… Rasanya hari sudah mulai sore, kami harus kembali ke pangkalan." Dewi memandang ke arah jendela yang menampilkan pemandangan senja hari. "Kalau begitu, kami pamit dahulu Mel." Ujar Siti kepada Amelia.
"Baiklah, terima kasih atas kunjungan kalian." Amelia tersenyum dan beranjak dari tempat tidurnya. Dewi segera mencegah Amelia untuk berdiri, "Kau tak perlu mengantar kami, kau harus menjaga kesehatanmu agar kau cepat pulih." Kedua sahabat itu melambaikan tangannya kepada Amelia dan keluar dari ruangan tersebut.
Setelah mereka berdua keluar, Amelia mengeluarkan plastik transparan yang berisikan aksesori rambut dan cincin yang berwarna hijau muda itu. Ia mengusapkan telapak tangannya pada kantong kecil tersebut. Amelia tersenyum dan membawa kantong tersebut di dadanya.
'Ini semua bukan mimpi' Ujarnya dalam hati. Ia mengeluarkan cincin hijau muda yang ada dalam kantong itu dan mengamatinya. "Apabila semua ini telah berakhir, apakah kau mau menikahiku?" Kata-kata Sean terngiang di telinga Amelia, seakan-akan dia mendengar proposal itu kemarin.
Amelia menyematkan cincin hijau itu di jari manisnya. Cincin itu terpasang dengan sempurna di jari manis Amelia. "Aku menemukan ini di tempat peralatan. Mungkin cincin ini bukanlah sesuatu yang berarti, namun kuharap kau dapat merasakan apa yang kurasakan saat ini." Tatapan mata Sean kembali terbayang di benaknya. Cara Sean menyentuh Maria, caranya menciumi Maria, dan senyumannya yang tidak tergantikan.
Semua memori yang dihabiskannya bersama Sean membanjiri isi kepalanya. Memori ketika Maria melihat Sean di Aula pertemuan, ketika Maria memakan ikan di hutan perburuan bersamanya, ketika Maria terbangun untuk pertama kalinya di sampingnya, dan memori ketika mereka mengucapkan janji pernikahan di depan Kapel distrik Badak Afrika.
'Terima kasih untuk mengatakan padaku bahwa semua memori itu bukanlah sebuah mimpi.' Tatapan Amelia tertuju lurus pada cincin tersebut. Amelia terus memandangi cincin itu dengan lembut. Semua memori itu tertanam jelas dalam benaknya.
Amelia mencium cincin yang tersemat di jari manisnya dengan perlahan. Ia berbisik, "Sean, terima kasih atas segalanya. Aku akan menjalani hidup ini sepenuhnya, untuk dirimu dan diriku." Ia menatap cincin tersebut sambil kembali menitikkan air matanya "Aku akan merindukanmu." Ujarnya dengan getaran dalam suaranya.