"A jurisdiction ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Baru sesaat Paing mengepal, tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Benda itu menampakkan nomor asing. Langsung diangkat, tapi kelihatannya bukan orang nyasar. "Ya, halo?"
"Aku Amaara. Dan jangan beritahu orang lain aku menghubungimu," kata Amaara di seberang sana. "Kau juga tidak perlu mengejarku, Takhon. Jangan khawatir. Aku akan menyusul ke Oslo pada waktunya. Ikut misi. Cukup beri aku kesempatan untuk menghabisi seseorang."
DEG
"Siapa?"
"Kau tidak perlu tahu untuk sekarang ...."
"Wait, mana bisa seperti itu--"
"Percayalah. Hanya aku yang pantas melakukan ini. Kau diam, dan ingat janjimu untuk kehidupan normal-ku di masa depan ...."
Tuuuuuttts!
Amaara pun menutup sambungan begitu saja. Anehnya Paing tak marah lagi. Malah memandangi layar untuk memahami isi kepala Amaara. Dari cinta bodohnya sekian tahun, atau pengkhianatan yang belum pernah Paing rasakan (jujur dia tidak tahu seperti apa sakitnya) karena selama ini hubungannya berakhir bukan karena perasaan berubah. Paing pun menghela napas, menghubungi Jeff, minta nomor Joe, tapi Joe tak tahu apapun.
"Belum ada. Amaara tidak ke sini. Aku dan bawahanku aman. Tak ada masalah ...." kata Joe. "Tinggal menunggu instruksi dari Anda saja."
"Oke, bagus," kata Paing. Tapi dia tak segera percaya. Alpha itu menyuruh cluster mengecek langsung. Barulah menerima jawaban Joe di telepon. "Apa Amaara memburu Ayah kandung Mew?" batinnya. ".... lagipula memang aneh dia dibuang ke Oslo. Terus siapa yang memberitahkan tentang tempat tersebut? Nadech? Mustahil. Di usianya dulu terlalu muda untuk ikut campur. Dan Mew? Kalau pun tahu dia pasti langsung menyusul sendiri ...."
Siang itu, Paing pun mondar-mandir untuk memikirkan jalan keluar. Dia yakin orangtua kandung Mew terlibat juga. Dan pastinya pernah masuk ke Oslo. Tapi, kenapa mereka hidup di Thailand dengan damai? Ya, walau tidak memiliki kekayaan tinggi. Tapi kemungkinan sudah lepas dari sana. Bukan sebagai sampel percobaan (bisa jadi hanya pekerja bawah), bukan orang penting (karena bandar informasi akan sulit dilepas), tapi Amaara dendam sekali pada mereka. "Ha ha ha ha ha, terserah. Malah bagus kalau kau bersihkan semua," desahnya. Paing pun mulai merasa lega, hingga seorang pelayan memanggilnya dari belakang.
"Permisi, Tuan Takhon."
"Ya?"
"Ada tamu yang menunggu Anda di luar," kata Pelayan itu."Katanya pernah pergi ke Oslo? Bersama Anda entah bulan apa. Sejak itu, beliau bilang beberapa kali dinganggu teror."
"Apa?"
"Saya belum mempersilahkan masuk, tapi Anda bisa memeriksanya."
Masu Junyadingkul, seorang co-translator. Hampir saja Paing melupakan dia, padahal Alpha itu menemani Jeff dan Apo masuk ke Oslo. Dia menerjemahkan berbagai bahasa, khususnya Norwegia (pada saat itu) dan harusnya tidak ikutan terlibat. Namun, sejak pulang dia pernah diikuti orang aneh tiga kali, tapi entah kenapa tidak mengejar.
"Dua kali kubiarkan, Tuan. Tapi maaf yang ketiga tidak," kata Masu. "Dia kuajak berkelahi, lari setelah kubuat jatuh, dan aku menemukan benda ini."
Paing mengambil kartu yang diletakkan Masu. Ukurannya separuhnya kartu ATM, dan di tengahnya ada logo khusus. "Ini ID pengenal atau semacamnya?" Dia membolak-balik benda itu.
"Aku berpikirnya begitu," kata Masu. "Karena akasara yang dicetak adalah Norwegia. Yang tertera bukan nama tapi kode latin, tapi wajahnya justru Asia."
"...."
Mereka kini bertatapan.
"Aku yakin dia salah satu pekerja di Oslo, Tuan. Mungkin memastikan dulu aku orang yang benar atau tidak. Tapi sudah kuhajar sebelum bertingkah."
"Oh, baiklah ... Jadi ini boleh kusimpan?" tanya Paing.
"Ya."
"Kau butuh apa untuk aku membalasnya?"
Masu diam sejenak. "Mungkin penjaga satu atau dua? Aku hanya risih diikuti selama bekerja," katanya. "Setidaknya sampai kondisinya benar-benar aman."
Paing pun mengangguk pelan. "Bisa," katanya. Lalu mengantungi benda itu. "Tapi kurasa kau harus ikut lagi, Masu. Jangan tutup mata karena sudah melihat situasi Oslo sendiri."
Masu pun mengangguk pelan. "Kapan?" katanya. "Dan rencana seperti apa yang Anda punya? Aku sebenarnya risih melihat manusia diperlakukan seperti binatang."
Paing dan Masu pun diskusi seharian. Mereka bertukar informasi, dan pastinya memiliki pemikiran sama: kartu itu bisa dipakai menyamar sebagai pekerja Oslo. Dapat akses istimewa, walau yang siapa memakai nanti belum ditentukan. "Terima kasih atas kejujuranmu, Masu. Kau datang di saat yang tepat."
Masu pun menjabat tangan itu. "Tentu, Tuan. Senang bekerja dengan seseorang seperti Anda," katanya.
Namun, Paing tidak bisa langsung tenang. Dia pun melapor kepada Bretha. Tapi rekan Omega-nya itu masih belum memberikan jawaban bagus. "Sabar dulu, Sayang. Kau harus tenang sebentar. Kita tidak semudah itu dapat kepercayaan dari OKOD," kata Bretha yang langsung video call. Tampak jelas situasi Omega itu di kantornya. Masih ribut, dan dia dapat setumpuk pekerjaan lagi. "Nanti pasti kukabari, oke? Akan kutanyakan ulang apa prosedurnya masih lama. Lagipula orang-orang kemarin paspornya bagaimana? Sudah siap? Kita kan harus prepare baik-baik karena bukan satuan militer bangsa."
Cih, memang benar. Ini hanya gabungan orang biasa yang ingin menjadi hero, dan Paing menyesal kenapa dia bukan detektif, polisi, inspektur, atau semacamnya seperti di film-film. "Baik, Bretha, maaf. Aku hanya kurang senang mendengar seseorang mati sebelum kita bergerak. Itu seperti membiarkan mereka bermain di belakang kita," katanya sambil mengepalkan tangan.
"Ha ha ha, iya. Aku mengerti perasaanmu, Sayang. Tapi coba lepaskanlah bebanmu sebentar. Kita easy. Jangan sampai fokusmu pecah dari hal-hal penting hanya karena ini mengganggu hatimu."
Tuuutttttssss ....
Paing pun mengepalkan tangan. Ingin menghajar seseorang tapi tak tahu siapa. Untung dia disentakkan sebuah suara.
"Phiii, kau seharian tidak tidur siang, kah?"
DEG
"Apo ...."
Begitu berbalik, wajah kucel Apo pun muncul di tangga. Dia tampak mengucek mata. Sebab kantuk belum hilang, meski Omega itu sudah tidur hingga sore tiba. "Aku mencari Phi dari tadi ...."
***
Nakhon Sawan, Thailand.
___________________________
BRAKHHHHHHHH!
"AAARRRGGHH!! MEMANG BAJINGAN GILA SATU KELUARGA! AKU AKAN MEMBUNUH KALIAN SEMUA!" teriak Amaara begitu sampai ke rumahnya sendiri. Omega itu membuka gerbang. Memasukkan motor rampasannya. Lalu membanting pintu sekena hati. Dia mencari bir karena dehidrasi selama perjalanan. Campur stress, capek, belum lagi luka-nya di sana-sini.
Gulp. Gulp. Gulp. Gulp. Gulp. Amaara pun menenggak cairan keras itu dari dalam botol langsung. Menikmatinya dengan mata terpejam. Lalu mengambil segulung kertas peyot dari karet roknya. Dia menyembunyikan surat "keluarga asli" Mew di sana. Sebab perjalanan dengan motor gede memang agak merepotkan. Untung tak ada yang jatuh. Amaara pun memisahnya satu per satu. Ada KK, ada akta, ada surat tanah, ada piagam (?), dan juga dokumen entah apa dari rumah sakit.
"Ha ha ha ha ... jadi begitu rupanya. Pantas semua hal ditutup-tutupi ...." desah Amaara tak habis pikir. Dia membaca nama orangtua kandung Mew sesaat. Duduk merenung. Lalu keheranan seorang diri. "Hiromi dan istrinya May--CUIH! Aku baru ingat dua nama ini masuk list pengedar senior, tapi mereka tidak berkenalan jujur saat aku menumpang tidur. HA HA HA HA HA HA HA! Memang benar-benar brengsek!"
BRAKKKHH! PRANGGG!
Amaara pun melempar botolnya asal. Langsung naik sambil lepas-lepas baju. Toh dia tinggal sendiri. Omega itu masuk bath-up untuk mandi cukup lama. Tapi pikirannya tetap melayang buana.
Dulu, ketika dia dijemput Nadech dari Oslo langsung dititipkan ke rumah. Tapi Nadech langsung pergi lagi untuk mengurus banyak hal. Nadech bilang, dia akan mencarikan psikiater untuk rehabnya Amaara dan lain-lain. Seperti rumah, kebutuhan selama di Thailand, atau bagaimana kelanjutan kejar paket untuk sekolahnya ....
Nadech hanya bilang, "Pa, Ma ... dia masih syok, tapi berprilaku baik jika kalian tak kasar. Cukup jaga sampai aku pulang, dan laporkan jika ada suatu hal terjadi."
Amaara yakin Nadech pun tidak tahu kedua "orangtua"-nya pengedar (hanya berpikir mereka paham pekerjaannya) Sebab list nama asli itu di kantor Oslo. Di sana lah dirinya pernah sembunyi karena kabur. Lalu mengamuk, tetapi tertangkap juga. "HA HA HA HA HA HA HA HA! Ini sih plot twist sekali," tawanya hingga bercucuran air mata. "Aku tahu, Tuhan. Aku paham kita harus memakai kode agar tidak ketahuan orang. Tapi, ha ha ha ha ha ha ha ha! "Orangtua" yang membohongi anaknya sendiri? Tidak mungkin! NADECH AKAN MEMBUNUH MEREKA KALAU SAMPAI TAHU SIAPA YANG MENYUSAHKAN! HA HA HA HA HA HA!"
Amaara pun prihatin kepada diri sendiri. Sebab dulu main percaya saat mereka berjabat tangan. "Aku Amaara. Salam kenal untuk kalian ...."
"Oh, ya. Ya. Masuklah. Kemari. Tidak bagus anginnya di luar."
"Hu-um, Nadech pasti segera kembali."
Hiromi dan May pun langsung menutup pintu. Membiarkan Nadech berlalu pergi. Lalu menjamu Amaara dengan makan malam. Mereka bertingkah hangat seperti keluarga. Sangat pengertian. Lalu menjawab pertanyaannya.
"Oh, aku Kazaki dan istriku Sara. Panggil kami Oma dan Opa saja biar mudah. Kau pun tidak perlu sungkan selama di sini."
"Baik, Opa."
Amaara pun tak bertanya lagi. Toh diizinkan tinggal sementara saja bagus. Dan dia bersyukur ditebus mahal oleh Nadech Kugumiya. Padahal, percayalah ... mengedarkan obat Oslo itu tidak mudah. Karena harus menyeberang ke berbagai negara untuk menemui klien. Belum lagi jika daerahnya terpencil. Namun, Nadech menggunakan hasil kerja kerasnya beberapa tahun untuk dia. Barulah menyimpan sebagian uang untuk kuliahnya sendiri. Pikir Amaara saat itu, "Aku tidak boleh jahat pada mereka yang sudah membantu," terutama Nadech. Tapi sekarang semuanya jadi busuk di matanya.
[ORANG TIDAK PENTING, BUKAN UNTUK DIINGAT, APALAGI HIDUP DI DUNIA INI]
Coret Amaara pada cermin wardrobe kamarnya. Dia menggunakan lipstik untuk menulis. Lalu potong rambut sambil marah-marah. "ARRGHH!
DASAR BEDEBAH GILA KALIAN! JIJIK! TAKKAN KUBIARKAN SATU PUN ENAK-ENAK SELAMA AKU MASIH BERNAPAS!" Suara gunting pun memenuhi ruang. Membuat rambutnya berjatuhan. Dan ya, kini orang-orang tidak perlu bingung membedakan dirinya dengan Ameera. "Akan kutunggu kau pulang ke Bangkok, Nadech. Takkan lama ...." katanya sambil menatap cermin. "Jadi siap-siap saja mati di tanganku, kecuali kau memberikan jawaban yang memuaskan ...."