Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 96 - S2-53 BEXTIAR FAMILY 2

Chapter 96 - S2-53 BEXTIAR FAMILY 2

"Being me is too much. Then I'll love whoever I want, even if he feels flawed and left out."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Bandar Udara Andan Menderes, Izmir, Turki.

_____________

Jet keluarga Romsaithong landing di bandara pada pukul tujuh malam. Saat itu Alan sudah tidur di pelukan Mile, dan wajah merahnya bengkak sehabis menangis.

Suhu Desember memang brutal karena Turki memasuki musim dingin. Jalanan mulai ramai oleh persiapan Natal, dan lalu lintas rawan macet hingga perjalanan sempat terhambat. Untung, Mile sampai Kediaman Bextiar sejam kemudian. Dia disambut keluarga besar Nazha yang isinya cukup majemuk, karena dilihat sekilas sudah ketahuan punya agama yang variatif.

Ada yang berpenampilan modern dan memakai kalung salib, ada yang berkerudung meski sedikit, ada yang memakai cheongsam karena mereka Kong Hu Chu, selebihnya adalah Buddha seperti Nazha dan Mile.

Benar-benar luar biasa.

Ini sungguh pemandangan jarang, tapi memang nyata. Mungkin karena dasar keluarga Nazha sudah campuran sedari dulu. Sayang, 80% dari mereka bertutur Bahasa Turki. Hanya beberapa orang dewasa yang fasih memakai Inggris, sehingga mereka mewakili untuk berdialog  dengan Mile, walau banyak yang penasaran.

Brakh! Brakh! Brakh! Brakh!

"..." seru anak kecil berusia 9 tahun. Dia mendadak muncul di tangga, menunjuk Mile dengan senyuman, lalu berlari-lari mendekat. "" tanyanya dengan suara imut. Kentara sekali Tionghoa murni, dan Mile pun menjawab dengan sekedar. (*)

(*) Bahasa Mandarin: Wah! Ganteng! Tinggi lagi! Oh, iya. Paman, namanya siapa?

" Mile.Mile Phakpum Romsaithong," kata Mile, meskipun sedikit kaget. "Senang berkenalan denganmu." Yang langsung dicengiri si bocah.

"!" kata bocah itu sebelum main keluar begitu saja. (*)

(*) Bahasa Mandarin: Oke, senang berkenalan denganmu juga! Dah!

Brakh! Brakh! Brakh! Brakh!

Setelah si bocah pergi dengan sepatu gaduhnya, orang-orang pun memandang Mile tak habis pikir. "Astaga! Kau ternyata fasih sekali! Kenapa tidak bilang dari tadi?" kata Lufeng mewakili anggota keluarganya. "Tahu begini sejak tadi kita mengobrol santai. Ha ha ha ha ha."

Mile pun tersenyum kecil. Dia terbawa santai setelah mereka tertawa, walau bingung juga dengan situasi ini. Well, Mile memang punya darah Tiongkok dari jalur nenek. Dia biasa saja setelah tinggal di Australia, sehingga hanya beberapa orang yang menyadari.

"Ha ha! Waaah, jadi sebelumnya kau seorang fotografer?" tanya Mianmian, bibi Nazha Bextiar. "Di agensi The Royalle, pula. Bagus! Ponakanaku pernah ingin daftar ke sana, tahu. Tapi--ya ampun ... Dia selalu gagal sampai sekarang. Ha ha ha ha ha."

Entah kenapa, Mile juga merasa diterima karena orang-orang ini memahaminya. Tidak seperti saat di keluarganya sendiri, atau Wattanagitiphat sekali pun. Kedua pihak hanya mengharapkan sisi CEO-nya sejak Mile pulang, tapi mereka tidak pernah perhatian dengan profesi aslinya selama di luar negeri--ya, kecuali saat ada photoshoot triplets. Itu pun Apo sempat getol memilih kantor, daripada ikut berfoto.

"Ya, begitulah. Aku memang suka memotret," kata Mile dengan senyuman ringan. "Tapi tidak seluar biasa kelihatannya. Toh freelancer bukan apa-apa kalau tidak didatangi pekerjaan."

Mianmian pun mengayunkan tangannya genit. "Ahh! Jangan begitu, Sayang. Ini bagus karena Nazha dalam proses mendirikan agensinya sendiri. Toh keahlianmu di bidang editorial, that's cool," katanya. "Jadi menurutku, kau cocok di sebelahnya, trust me. Kalian hanya harus saling bantu terus di masa depan."

"Hm, bisa," kata Mile dengan anggukan pelan. "Kapan-kapan mungkin bisa dibicarakan, Bibi. Sementara ini kami belum berpikir sampai ke sana," imbuhnya tenang. Ini tidak seperti dulu saat pertemuan dengan keluarga Apo. Karena sengketa antar perusahaan sempat mewarnai ketegangan lamaran mereka.

"Oke, oke. Kami paham," cengir Mianmian. "Sekarang ceritakan sedikit pengalamanmu di Sydney?" tanyanya. Yang langsung diangguki ibu Nazha di pojokan. Luxian memang tidak aktif karena lebih suka mendengarkan, tapi sempat menyapa di teras depan.

Dan segalanya terasa begitu lancar--walau Lufeng yang ikutan ramah, belum tentu tidak menyimpan kesal. Mile paham Ayah Nazha agak antipati padanya, terutama setelah Mile mengabaikan semua orang di jet seharian.

"Tapi percuma kalau kau tidak bilang padaku, Ayah,"  batin Mile. "Memangnya aku akan peduli?" Dia kemudian diajak Alan keliling rumah, meski obrolan tadi belum selesai.

"Daddy! Ayo! Ayo!" kata Alan dalam bahasa yang berubah-ubah. Dia sepertinya ingin pamer anak kucing. Karena Mile digandeng menuju kandang penuh suara "meong" di sisi sofa. Ah, sepertinya berat jadi bocah itu. Dia hidup di keluarga majemuk sejak lahir, tapi Mile menyadari Alan sangat-sangat cerdas. Bagaimana tidak? Di usia sebelia itu, dia sudah sanggup menyerap 4 bahasa bilingual, walau tentu belum fasih-fasih amat. "Ituuuu! Baba! Kitten aku!" katanya.

Mile pun berjongkok di sebelah Alan untuk melihat sebuah keluarga kucing oren. Mereka tidur di atas ranjang yang hangat, harmonis. Terdiri dari orangtua dan 5 anak--ah, dirinya dan Apo bahkan kalah rukun dengan mereka.

"Iya, lucu," kata Mile. Tatapannya agak menerawang, lalu mengelus si induk yang anehnya berwarna hitam. "Mereka semua milikmu?" tanyanya.

"Umn! Punya Nana uga!" kata Alan, yang dimaksud mungkin neneknya. Bocah itu menunjuk-nunjuk ke arah depan, dimana seorang wanita beruban menatapnya dengan senyuman.

"Halo, Sayang," sapa si nenek yang entah siapa namanya. Yang pasti wanita itu duduk di kursi roda, didorong satu pelayan, dan semakin mendekat padanya. "Jadi orangtuamu belum bisa ikut? Kapan mereka menyusul?" tanyanya, yang langsung membuat Mile berdiri.

"Oh, Pa dan Mae baru akan menyusul besok," kata Mile. "Mohon maaf karena mereka ada suatu hal yang harus diurus terlebih dahulu."

Senyum di bibir tua itu pun merekah indah. "Tidak kok, tidak masalah," kata si nenek. "Yang penting saat resepsi kita semua berkumpul."

"Iya, Nana."

Wanita beruban itu tampak berpikir setelah melihat wajah Mile semakin jelas. Dia menaikkan kacamata yang sempat melorot, lalu menelisik lebih jeli dirinya. "Tapi, kudengar istri pertamamu tidak ikutan?" tanyanya. "Padahal aku ingin bertemu bayi-bayinya."

Oke? Dada Mile pun sedikit berat setelah topik Apo disebut--ya, padahal dia sudah sejauh ini, tapi bayangan sang Omega serasa mengikuti tiap langkahnya. Mile pun menjawab seperlunya walau harus bohong sedikit. Karena bagaimana pun Apo tetap CEO yang punya kesibukan sendiri. Siapa pun akan percaya bahwa Omega itu tak sempat hadir, karena dia punya company yang harus diurus.

"Oh ... aku sungguh tak menyangka dia sungguhan presdir Claire Erson Company," kata si nenek saat ditunjukkan foto Apo. Juga bayi-bayinya di ponsel. Dia kelihatan senang sekali, padahal Mile tidak mempertemukan mereka secara langsung.

"Tapi harus kuakui orang-orang ini terlalu memandang kasta," batin Mile setelah si nenek dibawa pelayan pergi. Dia menoleh ke foto Liu Hanyi yang dipajang dekat tempat itu. Lengkap guci abunya setelah kecelakaan di lap balap mobil. ".... pantas saja kau gagal bertahan dengan mereka, Hanyi. Ini benar-benar bukan tempatmu."