"Weil du das Herz meines Herzens bist. Also werde ich alles für dich tun."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Usai panggilan berakhir, Apo pun langsung mengantungi ponsel kembali. Dia tidak kuat, sungguh. Rasanya ingin meledak, tapi dia langsung berjengit karena Paing kembali. "Alright, done. Semuanya sudah siap, Apo. Kita tinggal ke bandara dan menunggu yang lain. Bagaimana?"
DEG
"Iya, Phi ...." kata Apo. Namun, rupanya Alpha itu tidak percaya Apo cuma garuk-garuk hidung. Sebab mukanya ikutan merah, pertanda habis bersin dan menahan amarah. Ada apa?
Paing peka tapi tidak membahas soal amarah. Dia hanya bertanya. "Tenggorokanmu bagaimana? Sakit? Panas tidak?" Yang diangguki Apo, lalu dibawakan obat flu untuk teman perjalanan. "Saranku tidur saja nanti kalau sudah landas. Toh perjalanan kita 14 jam hingga sampai ke Oslo. Siapa tahu mendingan. Gejalamu itu belum parah." Saat memberikan tablet, dia meletakkan punggung tangan sebentar di dahi Apo.
"Thanks."
"Ya," kata Paing. Lalu mengerling ke Er karena si bayi tertawa keras padanya. "Halo, Cil ...."
"Auuu! Aamng!"
Seolah-olah sedang menyapa selamat pagi. Apalagi tangannya menggapai udara.
"Kelihatannya dia semalam nyenyak, tapi ibunya tidak. Ha ha ha," tawa Paing dengan lirikan sekilas kepada Apo. "Homesick, huh? Maaf kalau rumahku masih kurang nyaman."
DEG
"Ah, tidak begitu, Phi. Hanya saja--"
Paing menaruh telunjuk di depan bibirnya sendiri. Alpha itu tidak terima dibantah karena memang kentara. Sementara Apo terdiam. "Jangan lupa minum pilnya dua jam dari sekarang," katanya. "Soalnya kau baru habis susu segelas, see?"
"Iya."
Paing sudah berlalu lagi untuk bicara dengan Dew dan co-translator-nya: Masu. Mereka butuh orang yang menguasai Bahasa Norwegia dan aksara latin, setidaknya hingga bertemu si sipir. Dia kelihatannya sibuk sekali. Ke sana, kemari. Namun, Apo seperti melihat Mile menggantikan peran Paing Takhon.
Iya, matanya pasti sudah salah. Karena apapun yang Paing lakukan ... tubuh itu seperti jadi Mile Phakpum.
Deg ... deg ... deg ... deg ... deg ....
Apakah karena sang suami dulu sering melakukan ini padanya? Jadi tulang punggung yang cekatan, walau hasilnya tidak sesuai. Dan jadi sosok yang berkorban, meski menyembunyikan banyak hal di belakangnya. Ini rasa rindu atau Apo hanya trauma? Sang Omega susah membedakan halusinasinya sendiri.
Paling parah adalah saat Paing me-notice Apo tidak lepas pandangan ke arah dia. Alpha itu pun menoleh ke kanan kiri. Bingung. Tapi kemudian yakin yang ditatap dirinya. "Kau kenapa?" tanyanya. Lalu tersenyum menawan. Tapi karena jarak mereka sangatlah jauh ... Apo pun tidak mendengar apa yang dia ucapkan. "Apo?"
Penasaran, akhirnya Paing mendekat. Dia ingin memastikan apa yang terjadi pada sang Omega, tapi malah diteriaki tiba-tiba.
BRAKHHHHH!!!!
"NO! PERGIIIIII!!"
PRANGGG!!!
"OEEEEEEEEEEEEE!!!"
Syok, baby Er pun terlonjak dan menangis kencang. Dia tidak tahan dengan suara gelas yang dibanting Apo. Sementara sang Omega mundur hingga nyaris terjengkang--tapi dia hanya terpeleset ke kursi.
BRAKHHHHH!
"APO! Hei, Apo!" kata Paing langsung panik. Alpha itu sadar ada yang tidak beres, karena Apo terus melempar barang dari meja makan.
PRANGG! PRANG!! PRANGG!!
"TIDAK, MILE! PERGI KAU! PERGI!" raung Apo dengan menjambak rambutnya sendiri. "AKU BENAR-BENAR TIDAK BISA MEMAAFKANMU! PERGI! ARRRRGHHHH!!!!" teriaknya di luar kendali.
Waspada, babysitter pun langsung menggedong Er menjauh. Dia mengamankan si bayi. Tidak tahu ibunya gelap mata hati dan pikiran. Terbebani nasihat orangtua, walau baik. Karena yang dirasa lebih sakit ditanggung seorang diri.
BRUGHHHH!!
Akhirnya, meski sulit didekati, Paing pun berhasil merengkuh Omega itu ke pelukannya. Dia mengeluarkan tenaga cukup besar karena Apo benar-benar ribut. Bahkan sempat memukuli dada dia sebelum terisak-isak.
"Rileks, rileks ... tenang. Tarik napas. I'm here ...." kata Paing.
Apo pun menduselkan wajah terlukanya ke perut berotot sekal yang terbalut kemeja. Perlahan-lahan mereda. "Hiks ... hiks ... hiks ..."
Semua karena aroma yang dikenali tubuhnya sudah berganti baru. Dan Paing tidak izin dahulu kali ini. Alpha itu mengeluarkan aroma-nya hingga menyebar ke seluruh ruangan. Dia tidak hanya melingkupi Apo, tapi juga energi negatif di sekitar. Jemarinya mengusap di punggung Apo. Menenangkan. Lalu bibir dan giginya singgah di leher belakang--tapi hanya sebatas itu.
"Hahhh ...."
Scenting yang sangat krusial, memang. Apo sendiri lemas karena emosinya diredakan secara paksa. Tapi kemudian balas memeluk.
"Ummm," gumamnya karena inginkan rasa aman lebih lama. Padahal Paing hampir melepaskan dia, tapi tentu tidak jadi. "I'm so sorry, Ma. I'm so sorry .... weil es Mama enttäuschen wird." (*)
(*) Bahasa Jerman: Mungkin aku akan mengecewakan Mama.
Paing pun hanya diam mendengarkan, karena dia tidak paham situasi Apo. "...." Dia juga membiarkan sang Omega meracaukan segala beban hatinya. Meski itu seharusnya jadi rahasia.
"Auch wenn sich unsere familien treffen, möchte ich nur gesund werden. Ich habe nichts anderes erwartet. Ich will nur, dass das alles vorbei ist," kata Apo.
(*) Bahasa Jerman: kalau pun nanti keluarga kita bertemu, aku hanya ingin sembuh. Aku tidak inginkan yang lain. Aku hanya mau masalah ini selesai.
Paing pun menghela napas panjang. Dia sampai ikutan pening. Karena menurutnya Apo Omega yang kuat sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Sepertinya dia harus lebih perhatian dengan masalah ini.
Paing pikir, keinginan Apo untuk pergi ke Oslo hanyalah untuk sekedar menuntaskan rasa penasaran akan masalah yang mendera keluarga Romsaithong. Mungkin itu berkaitan dengan sang suami? Tapi sepertinya Apo benar-benar di titik yang paling mencekik.
Sang Omega nekad pergi karena ingin menuntaskan masalah ini. Dia ketakutan. Tapi masih berusaha bersikap baik. Rupa-rupanya semakin masalah itu ditekan, makin membal juga seperti samsak ditinju. Apo pun sulit ditinggalkan sendiri. Bahkan di dalam jet dia memilih tidur di kursi.
Asal di sebelah Paing saja, tak masalah. Apo merasa begitu aman. Daripada pergi ke kamar nyaman yang ada dalam jet tersebut.
"Just sleep. Jangan pikirkan apapun. Hitung domba," kata Paing sambil menyelimuti Apo hingga kaki. "Kau harus tidur sampai kita ke sana."
"Umn."
Jeffsatur--yang biasanya julid dan kepo parah, kali ini hanya tertegun melihat pemandangan di depan matanya. Alpha cantik itu baru tahu Apo punya luka-luka pada tubuhnya. Dia menatap sekilas saat berjalan masuk jet. Tapi langsung melipir karena Paing menoleh padanya.
Ya, itu adalah efek dominasi Alpha yang sebenarnya.
Jeff tahu Paing menyuruhnya pergi saja, padahal itu tanpa kata-kata. Sang hacker pun mengangguk dan duduk di kursi belakang. Lalu mempersilahkan Bretha bersama rekan-rekannya gabung.
"Sini, sini. Nona ...." kata Jeff. Yang diangguki mereka.
Paing sendiri tidak membiarkan Apo tidur di sana terlalu lama. Lepas dua jam perjalanan di langit. Alpha itu yakin Apo sudah terlelap tidur. Dia pun menggendong Apo ke dadanya, permisi lewat ke semua member penumpang. Lalu merebahkan Apo di ranjang yang dia hindari.
"Hmmnhh ... ugh," keluh Apo ketika badannya ditata lurus. Kening Omega itu tampak berkeringat. Tapi badannya sudah tak sepanas tadi pagi.
"Sssh, sssh. Semuanya akan baik-baik saja," kata Paing. Lalu menyelimuti Apo tapi renggang-renggang saja. Dia tidak boleh membiarkan Omega itu terbalut terlalu erat, karena demamnya bisa susah keluar.
Memang yang pernah kejang jadi mudah rentan demam. Imun tubuh Apo sudah menurun. Apalagi dia stress juga. Segala hal bisa saja mengguncangnya, hingga Paing tidak tega meninggalkan secara langsung. Dia duduk di sofa tunggal yang berada di sebelah ranjang. Memandangi dada Apo yang kembang kempis. Wajahnya. Tapi berakhir tertidur juga.
Namun, 14 jam di langit itu tak sebentar. Paing terbangun, dan tidur lagi beberapa kali. Hingga jam 10 malam dia malah terbangun total. Insomnia. Cukup bingung. Tapi mengusap wajah agar segera sadar.
"Masih 5 jam lagi ternyata ...." gumam Paing. Mulai bosan, lalu beranjak untuk mengecek kabin lainnya. Dia menoleh sebentar ke Apo yang ternyata masih tidur, lalu baru keluar setelah yakin.
Cklek!
"Tuan Takhon, benar kan?" tanya Jeff, yang tiba-tiba keluar dari toilet. Dari rautnya seperti lega habis buang air, tapi tidak bisa melepaskan Paing begitu bertemu.
"Ya, aku. Ada apa?" tanya Paing, dengan suara bangun tidurnya.
"Tadi aku melihat pilotmu sudah ganti dua kali. Di depan," kata Jeff. "Mereka minta tolong sembarang orang melapor."
"Oh, ya. Terima kasih," kata Paing. "Tapi ke-empatnya sudah istirahat? Dimana mereka sekarang?"
"Sudah, sudah. Anda tak perlu khawatir," kata Jeff. Lalu melirik ke pintu kamar. "Tapi, boleh aku mengobrol pribadi dengan Anda saja? Berdua."
Paing pun ikutan melirik ke pintu kamar Apo. "Ini soal kasusnya?"
"Ya."
"Dimana?"
Jeff pun menggaruk pipi dengan telunjuk, lalu menyentakkan dagu. "Tolong ikut saya sebentar ...."
***
Fyi, untuk penerbangan belasan jam. Pilot biasanya 4 pasang alias 8 orang. Rata-rata setiap 3 jam ganti. Antara pilot asli dan asisten di sebelahnya. Seorang pilot dalam 7 hari hanya boleh terbang 30 jam.