Chereads / ANGELIC DEVIL [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 23 - BAB 23: WEDDING PLAN

Chapter 23 - BAB 23: WEDDING PLAN

BAB 23

DEMI melupakan masalah yang ada, Mile membawa Apo berdua saja ke kota. Mereka keliling-keliling untuk melihat wedding organizer lengkap lokasi baby photoshoot untuk dijepret Mile nantinya.

Apo sendiri kadang lupa sang suami merupakan fotografer profesional. Apalagi dia sering memakai suit jas semenjak pulang ke tanah air.

Tak ada aura fotografer dari Mile hingga lelaki itu memegang kamera. Dalam bagasi, dia membawa piranti terbaik selama di Sydney, walau tak menyangka Apo membelikan baru setelah mereka mengurus pengaturan para bodyguard khusus. "Apa? Kamera?" tanya Mile ketika mereka duduk berdua di Akira Back Restaurant. Apo memilih tempat itu karena katanya sudah lama tidak menikmati hidangan Jepang.

"Hm, aku tidak tahu spesifikasi kamera, jadi yang menurut si penjual bagus saja," kata Apo sambil mengeluarkan sebuah kotak dari paperbag-nya. "Tadi kubeli waktu kau masuk ke WO. Coba lihat."

Mile pun menatap benda yang dibawa Apo. Kedua matanya seketika melebar, lalu menerimanya dengan senyum yang sempat loading. "Tunggu, ini sungguhan buatku?" tanyanya.

Apo menatap bingung lelaki itu. "Kenapa? Kurang bagus, ya? Mungkin sebaiknya tadi aku searching-searching google dulu."

"Yang benar saja. Ini indah sekali," kata Mile. Jemarinya mengelus Leica Summarit S 125 baru itu sampai tak peduli kala pramusaji datang. (*)

(*) Leica Summarit S 125: merk kamera dengan kualitas DSLR di atas Canon dan semacamnya. Harga tergantung tipe, memang. Tapi yang standar saja sudah 311 juta ke atas. (Saat ini, kamera termahal masih dimenangkan mereka, yakni Leica 0 series 1923 yang mencapai 44 miliyar)

Apo pun meringis senang. "Baguslah kalau sesuai. Aku sudah ingin melihat jepretan para baby dari karyamu," katanya sambil membolak-balik buku menu. Kedua mata memang fokus kepada gambar di dalam, tapi Apo yakin Mile lebih sering menatapnya daripada kamera tersebut.

"Aku pernah punya yang seperti ini, Apo. Tapi spesifikasinya masih di bawah," kata Mile senang. "Karena itu, thanks. Mungkin lebih baik kugunakan kameramu saja untuk memotret mereka bertiga."

"Hmm, bagus."

"Dia terlihat seperti bocah kalau begini," batin Apo diam-diam bangga. "Kenapa senang sekali. Itu bahkan bukan apa-apa dibanding Boeing Flight yang kau berikan padaku." (*)

(*) Boeing Flight 737-300 adalah tipe pesawat yang dulu dibeli Mile untuk dipindah tangankan kepemilikannya buat Apo.

"Pasti bagus kalau aku membuat album khusus nantinya," kata Mile. "Mungkin semacam portofolio. Kau tahu? Mirip punya model sebelum mereka training catwalk."

Apo pun tertawa kecil. "Ha ha ha. Yang terpenting jangan sampai para baby tertarik jadi model semua di masa depan," katanya. "Dua diantaranya harus menggantikan kita kalau sudah semakin tua."

Diantara partisi Akira Back yang meliuk-liuk, Mile malah membalas dengan terang-terangan. "Maaf, tapi ini menurutku saja. Yakin tak ingin bikin baby lebih banyak?" tanya-nya dalam Bahasa Inggris. Aksen Australian pula. Pramusaji berdarah Jepang itu pun hanya menyimak. "Biar mereka tidak tertekan dengan mom-nya yang keras sepertimu. Dua boleh untuk menggantikan kita, tapi yang lain bisa memilih akan menjadi apa di masa depan. C'mon."

Apo pun refleks melirik sang suami dari balik buku menu. "Naur ...." jawabnya dalam akses Australian juga. "Setidaknya jangan dalam waktu dekat. Resepsi pertama kita saja belum kejadian, tapi bagus kalau jarak tiga atau empat tahun lagi."

Mile langsung mengulum senyum. "Okay, cool," katanya. Padahal dia mengira sang Omega trauma melahirkan sampai tidak mau hamil lagi. "Kalau begitu kita bahas lanjutannya setelah mereka bisa jalan."

"Hmmm, whatefah," kata Apo, lalu tersenyum kepada si pramusaji. "Tolong yang kutandai semua, ya. Jangan lupa parfait-nya ekstra yoghurt. Aku tetap ingin itu untuk penutup."

"Baik," kata si pramusaji sebelum berlalu.

Mile pun menggeleng pelan karena keanehan istrinya. "Well, kau ingin makanan Jepang, tapi dessert-nya ala Perancis. Apa waktu aku di Aussie juga seperti ini?"

Apo pun mengulum senyumnya segan. "Tidak, mungkin?" katanya. "Atau masa ngidamku saja yang terlambat datang. Kan selama hamil tidak sampai ingin macam-macam."

"Apa? Ha ha ha. Mana ada yang seperti itu."

CKREK! CKREK! CKREK!

DEG

Tiba-tiba Mile memutar resolusi kameranya di depan Apo.

CKREK! CKREK! CKREK!

"Hei, Mile? Kenapa malah memotretku? Oi."

Mile malah nyengir dan melanjutkan aksinya. "Tenang saja, ini kan meja privat. Takkan ada yang tahu aku sedang mengagumi istriku."

CKREK! CKREK! CKREK!

Apo pun berusaha menutupi lensanya. "Jangan. Aku tidak suka dipotret. Pegang ponsel saja jarang, Mile ...."

Mile malah memegangi tangan itu sebelum memutar lensanya kembali. "Diam sebentar di sana, kau manis," pujinya. "Sia-sia sekali kalau tidak difoto. Next time harus ada momen meternity juga, Apo. Aku menyesal terlalu sibuk sampai tidak kepikiran membuat album kehamilanmu."

Apo pun memerah karena harus menghadapi Mile yang seperti ini. Entahlah. Kenapa juga akhir-akhir ini dia membiarkan sang suami semaunya? Apo sampai tak menolak ajakannya pergi, padahal niat hati ingin diskusi dengan Jeff soal kasus Ameera dulu.

"Aku juga menunda rasa penasaranku soal pelakunya. Ya ampun."

CKREK! CKREK! CKREK! CKREK!

"Sudah, oke? Cukup," kata Apo yang akhirnya menutupi wajah dengan sebelah tangan. Jari bercincinnya ikut terpotret di sana, sementara Mile cengar-cengir melihat hasil di dalam layar.

"Kamera ini benar-benar bagus. Kau sangat pandai memilih."

Apo pun lega setelah benda itu diletakkan Mile ke dalam paper bag lagi. "Aku memang pandai, tapi tidak digunakan begitu juga."

"Hm, sedang mengajariku rupanya?" goda Mile.

"Iya, kan hasilnya pasti sangat sembarangan. Mana ada editorial kalau aku bergerak terus menerus."

"Oh, kau belum tahu saja kemampuanku."

"Iyakah? Tapi kenapa meragukan sekali?"

"Setidaknya bukan dipakai merekam video kotor," kata Mile. "Atau kau ingin mencobanya sekali? Memori di dalamnya masih tumpah-tumpah kalau cuma berdurasi dua atau tiga jam."

Membayangkannya jadi betulan, Apo pun langsung memerah seluruh badan. "Mile, komm schon! Ich kann es nicht mehr ertragen!" (*)

PLAKH!!

"Ha ha ha ha ha ha."

Mile malah tertawa-tawa meski kepalanya ditampar pelan. Baginya, lucu sekali kalau Apo sudah marah sampai bahasa planetnya keluar. Persis saat di pesawat. Apo memaki sepuas hati, padahal sudah heat dan kepalang hasrat ingin disetubuhi oleh seorang Alpha.

(*) Bahasa Jerman: "Mile, sudahi! Aku tidak tahan lagi!"

Pukul 7 lebih sedikit, mereka menyelesaikan makan malam dan bergandengan saat keluar. Apo juga mulai terbiasa digenggam seperti itu saat Mile mengajak pergi. Meski kadang kebas karena jarang dilepaskan kecuali saat butuh.

"Mile, yakin resepsinya tak perlu diundur lagi? Bagaimana dengan berita di luar sana?" tanya Apo begitu Mile menggulirkan mobil mereka.

"Tidak perlu sangat dipusingkan. Kita bukan idol panggung yang kabarnya bisa santer berminggu-minggu karena popularitas," kata Mile. "Cukup tenangkan saja untuk diri sendiri. Lagipula Mae sudah bertemu dengan keluarga Mew. Mereka mengeluarkan kesepakatan perang dingin hingga pelaku pembunuhan Ameera diketemukan."

"Oh ... oke?" Apo pun memastikan sekali lagi. "Jadi benar-benar tidak apa."

"Hm, mungkin mereka juga diuntungkan jika kita kerja sama untuk temukan orang tersebut."

"Mm." Apo pun mengangguk pelan, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan Mile sepanjang jalan. "Baiklah. Kalau begitu bangunkan aku jika sampai ke rumah."

"Mungkin Mile memang benar. Kita harus beristirahat sebentar setelah yang terjadi selama ini," batin Apo lalu memejamkan mata.

***

Lima Hari Kemudian ....

"Nong Po!" seru Pin ketika Apo pulang dari persiapan resepsi. Dia kaget karena sang calon kakak ipar sudah sembuh, apalagi ribut bermain dengan si kembar bersama babysitter mereka.

"Ah, Phi Pin? Kenapa tidak bilang kalau mau datang?" Apo langsung melepas syal untuk membantu Pin memakaikan kaus.

"Hahaha. Aku malah senang kalau tidak bilang-bilang. Yang penting kau sedang sibuk di luar. Aku jadi bisa menguasai mereka semua," jawab Pin dengan wajah cerahnya.

Apo pun terkekeh-kekeh. "Wah ... walau mereka suka ngompol pun tak apa-apa?"

"Of course. Serahkan saja padaku kalau ingin kencan dengan suamimu," kata Pin menggoda. "Aku betah seharian dengan mereka. Atau berhari-hari sekalipun. Telpon saja kalau ingin bunda pengganti, oke?"

Kedua Omega itu pun bercanda hingga sore menjelang. Para babysitter juga senang karena pekerjaan mereka menjadi ringan, bahkan ikut masak-masak di dapur untuk persiapkan makan malam.

"Waahh ... aku tidak tahu kau di sini, Pin," puji Miri setelah wanita itu pulang dari kantor. Dia cium pipi kanan kiri dengan Pin, lalu menggandengnya ke meja makan. "Ayo, ayo. Duduk. Sebentar lagi Pa-nya Apo juga pulang. Walau kalau tahu ada kamu, pasti kami mengundang Nee juga."

Pin pun menyerahkan Er yang sudah lelap ke gendongan babysitter. Padahal dia paling rewel diantara saudaranya seharian ini, tapi anehnya bisa anteng jika wanita itulah yang mengemong. "Iya, terima kasih. Tapi Mae pasti sedang sibuk sekarang," katanya. "Beliau jarang pulang langsung meski kerjanya sudah selesai. Mungkin masih menyelidiki yang waktu itu."

"Oh, iya. Aku paham," kata Miri. Dia sempat mengelus rambut Kay yang digendong Apo, lalu melambaikan tangan pada bayi itu sebelum dibawa pergi babysitter lainnya. "Ngomong-ngomong, Nak. Kau dan Mile sudah dapat jas sesuai? Kapan hari Pin dan aku bicara soal desain-desain yang terbaru--eh ... apa kau sudah beritahu Apo soal itu, Pin?"

Pin tampak terkejut beberapa saat. "Oh, iya ...." katanya. "Aku baru ingat, Apo."

Apo yang baru gabung duduk pun berkedip lucu. "Hah? Jas? Oh, iya. Belum. Kami baru akan mencarinya besok. Tapi sepertinya Mile ada kerjaan yang baru lagi. Jadi mungkin masih lusa-lusa."

Pin pun menerbitkan senyum paling cerah seharian ini. "Wah, bagus. Kenapa tidak cari denganku saja? Biar lebih cepat selesai. Aku juga ingin keluar untuk jalan-jalan. Hitung-hitung pulang dari RS refreshing di luar. Apa kau mau menemaniku?"