Malam di bulan Juli, diujung kemarau beberapa hari ini angin bertiup kencang. Mobil Damar berhenti di sebuah gedung yang kunilai sangat megah. Sebuah gedung Apartemen yang berada tepat di sebelah Mall. Baru pertama kali aku menyanggupi permintaan damar untuk bermain ke apartemennya. Jika bukan hal yang sangat penting aku tidak akan mau melakukannya. Kami akan menghadiri Meet and Greet seorang penulis idolaku, Damar telah berhasil memenangkan kuis yang diadakan penulis tersebut. Akan tetapi undangan yang seharusnya dibawa, tertinggal di Apartemennya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Damar teringat bahwa undangannya tertinggal. Akhirnya kami harus mengambilnya terlebih dahulu.
Apartemennya berada di lantai 5,Damar memencet tombol lift, pintupun tertutup dan membawa aku dan Damar berdua dalam lift. Entah mengapa suasana menjadi canggung dan berbeda,dalam ruangan sempit dan dingin hanya ada kami berdua. Tubuhku yang terasa dingin seperti ingin mendekati Damar dan mencari sebuah pelukan hangat. Tapi apa yang kupikirkan sangatlah tidak benar, segera kutepis pikiran itu.
" Ayolah lift bergerak cepatlah"
aku berbicara dalam hati untuk mengelabuhi pikiranku yang sudah tidak baik.
Tiba-tiba Damar mendekatiku dan melingkarkan tangannya di bahuku, melakukan hal yang sama seperti yang kupikirkan. Aku terkejut sesaat tapi membiarkan dia melakukannya, kusandarkan kepalaku di bahunya. Ketika dia tahu aku merasakan kenyamanan,tangannya semakin erat memeluk tubuhku.
"Ting"
Bunyi lift pertanda kami sudah sampai pada lantai yang dituju. Damar melepas pelukannya dan berganti memegang tanganku, membawaku menuju kamarnya. Jantungku berdegup sangat kencang, iramanya tak bisa kukendalikan. Baru pertama kali aku mengijinkannya memegang tanganku,dan kejadian di lift tadi sungguh masih membuat otak dan hatiku belum bisa bersepakat.
"Ayo masuk"
Damar mempersilahkan masuk.
Aku hanya diam, pandanganku mengamati setiap sudut apartemen Damar.
" Duduklah dulu,aku akan mengambil undangannya."
Baru pertama aku masuk sebuah apartemen, berbeda jauh dengan ruangan kostku. Sangat rapi dan dilengkapi perabotan yang terlihat semakin mewah.
" Damar,aku mau ke kamar kecil"
Aku tidak bisa menahan keinginan buang air kecil karena udara dingin ini.
Akupun masuk ruangan kamar mandi setelah Damar menunjukkannya. Begitu masuk kamar mandi aku merasa kebingungan, ruangannya sangat bersih dan tak kulihat ada bak mandi atau gayung yang bisa kupakai.
" Ini cara memakai airnya bagaimana" aku berpikir keras dan bergumam sendiri.
Aku mencoba semua dengan memencet,memutar dan menarik apa yang ada di depanku, tapi yang terjadi justru shower air yang berada diatas keluar dan mengguyur tubuhku. Akupun terkejut dan berteriak.
"Grandis ada apa"
Damar mengetuk pintu dari luar kamar mandi, suaranya terdengar sangat kawatir.
Akupun membuka pintu dan keluar.
"Eehm tidak apa-apa,aku tidak tahu cara memakai kerannya"
Aku menjawab dengan sangat malu. Kepala dan bahuku terlihat basah.
Wajah Damar yang awalnya terlihat kawatir, tiba-tiba berubah tertawa. Dia memegang rambutku yang terlihat basah.
" Rambutmu basah,aku ambilkan handuk dulu ya. Terus bajumu bagaimana?" Damar mengambil handuk yang ada di lemari.
"Nanti juga kering sendiri"
Aku menjawab pertanyaan Damar, walaupun dalam hati aku juga tidak yakin apa bisa kering sebelum datang ke acara.
"Apa beli dulu di Mall sebelah"
Damar menawarkan solusi padaku.
"Ah nggak perlu,ini cuma basah sedikit "
Aku mencoba meyakinkannya.
" Ini basah banget,aku kawatir kamu nanti sakit"
Damar mendekatiku dengan membawa handuk, diusapkannya handuk itu di kepalaku.
Sesaat kami saling berpandangan,aku bisa merasakan rasa kawatir di matanya. Jantungku mulai berdegup kencang saat tubuh Damar begitu dekat, tiba-tiba Damar memelukku. Tidak ada percakapan saat itu,hanya dua orang yang sedang menikmati kenyamanan. Damar kemudian melepas perlahan pelukannya, tangannya memegang wajahku. Kemudian dia menundukkan kepalanya dan mengecup bibirku. Aku terhenyak, jantungku semakin berlarian tak bisa kukendalikan. Tanpa bisa kulawan,akupun menyambut kecupan bibirnya. Tapi seperti ada petir menyambar dalam otakku, membuatku segera sadar. Ini salah dan tidak boleh terjadi. Akupun mendorong tubuh Damar agar menjauh dariku.
" Permisi aku pulang saja"
Aku berlari menuju pintu keluar apartemen. Damar memanggilku,dan mencoba manahanku.
"Grandis maafkan aku,please jangan pergi. Grandis...Grandis"
Suara Damar masih kudengar,aku berlari sekuat tenaga agar bisa segera pergi dari dari tempat itu.
Di depan Apartemen kulihat ada sebuah bus yang akan melintas,akupun naik dan tidak peduli arah tujuan bus tersebut, yang kupikirkan saat itu adalah menjauh secepatnya. Di dalam bus aku memikirkan kejadian yang baru saja terjadi, aku menyalahkan diriku sendiri. Betapa bodohnya aku, membiarkan Damar mendekatiku dan seperti memberinya kesempatan untuk melakukannya. Dan yang kusesali,akupun menikmati pelukannya.
"Stupid..stupid..stupid"
Aku bergumam menghakimi diriku sendiri,sambil memukul kepalaku. Orang yang duduk di sebelahku memandangi tingkah anehku.
Kudengar handphoneku bunyi berkali-kali,aku sangat yakin pasti Damar mencoba menghubungiku. Karena suaranya yang sangat menggangu,akupun menonaktifkan handphoneku.
Hari sudah sangat larut, setelah kejadian tadi aku tidak bisa tidur. Aku masih belum berani mengaktifkan handphoneku, tapi aku berpikir tidak mungkin bisa menghindari Damar selamanya. Setelah berpikir panjang, akhirnya aku mengaktifkan handphoneku. Sesuai perkiraanku terlihat ada panggilan dari Damar berkali-kali. Damar juga mengirim pesan, dengan ragu-ragu akupun membuka pesannya.
"Grandis maafkan apa yang terjadi tadi,aku khilaf. Kumohon beri kesempatan kita untuk bertemu dan membicarakan hal ini. Kutahu aku telah mengingkari janjiku padamu,dan kutahu konsekuensinya. Seandainya masih ada maaf untukku, kita telah bersama 8 tahun dan itu sangatlah berarti bagiku. Aku sangat sayang kamu."
Membaca chat dari Damar, sebenarnya aku ingin membalasnya. Mengatakan padanya bahwa itu bukan salahnya saja,tapi juga salahku. Aku juga sangat menyayanginya, dialah orang yang mengeluarkan diriku dari sisi gelap ke sisi terang dan membuatku melihat dunia lebih indah. Tapi saat ini kita telah melakukan hal yang salah, padahal Damar tahu bahwa aku telah berkomitmen untuk tidak melakukan kesalahan seperti yang pernah dilakukan ibuku dahulu. Damar telah mengetahui kisah hidupku, diapun berjanji untuk menjaga bersama komitmen tersebut.
Berhari-hari aku tidak membalas setiap telepon atau chat dari Damar. Dia tidak bisa begitu saja datang ke kostku karena aku pernah melarangnya.
"Grandis,temui aku di taman kota. Aku akan memenuhi janjiku,tapi ijinkan aku bertemu sekali lagi denganmu. Sabtu sore jam 4"
Chat dari Damar ini membuatku sedih,aku tahu sifatnya. Dia orang yang selalu menepati janji,seberat apapun itu. Walaupun ini berarti sebuah perpisahan antara kita. Dalam hatiku,aku tidak ingin berpisah dengannya,tapi trauma kejadian itu masih membuatku takut
" Baik,aku akan datang"
Akhirnya aku membalasnya, karena tak ingin berlarut-larut dalam kebingungan dan ingin segera menyelesaikannya.
Sore ini di taman kota, angin di bulan Juli terasa sangat dingin. Aku melihat Damar sudah duduk menungguku, dia menyambutku dengan senyum tipis. Aku menangkap raut wajah sedih dari sorot matanya.
"Sudah lama?"
Aku menyapanya lebih dulu.
"Baru saja"
Damar menjawab,sambil sesekali kulihat dia menghela nafas panjang. Suasana terlihat sangat canggung,kita berdua menata hati untuk hal yang sangat tidak kita inginkan.
"Yang perlu kamu tahu,itu bukan salahmu saja, tapi juga salahku. Aku sangat jijik dengan diriku, membuatku tak jauh beda dengan ibuku"
Aku mengatakan hal yang kurasakan, dengan suara bergetar menahan tangis.
"Tapi aku yang tidak bisa menjagamu dengan baik, aku terbawa suasana hingga khilaf, dan ini berarti kita harus berpisah. Dulu aku berjanji sebelum menikah aku tidak akan menyentuhmu karena nafsu, karena aku tahu itu bisa mengembalikan trauma hidupmu. Tapi kini aku gagal, dan aku tahu konsekuensinya."
Damar mengatakan dengan tegas, walaupun tidak berani menatap wajahku langsung. Kutahu hatinya juga terluka, dia mencoba kuat.
"Aku harap kita tidak bertemu lagi,kita tidak bisa bersama lagi."
Suaraku bergetar walaupun kucoba untuk tegar, segala rasa menghimpit dadaku. Aku mencoba menahan airmata yang telah berada diujung mataku.
" Maafkan aku Grandis,aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Kuharap hal yang indah selalu ada di hidupmu".
Damar mengucapkan kata perpisahan ,diapun berdiri dan pergi berlalu meninggalkanku.
Sore di bulan Juli yang berangin,memaksa daun-daun kering untuk lepas dari tangkai yang selama ini menggenggamnya.
Aku patah hati,baru pertama kali aku merasakannya dan hatiku terasa sakit.
Disini di taman kota yang biasanya terasa sejuk dan menenangkan,kini tidak bisa menutupi laraku walau sejenak.
Aku masih di taman,duduk di kursi besi yang sudah mulai berkarat, dibawah pohon Flamboyan yang dipenuhi bunga, tubuhku tak sanggup untuk kuajak berdiri. Airmata yang sempat kutahan akhirnya mengalir deras di pipiku. Kemanakah lagi harus kusandarkan lelah jiwa ini,orang yang bisa kuandalkan kini telah melangkah pergi dariku.
"Ayolah Grandis,bangun dan kuatlah"
Aku berkata pada diriku sendiri.
Menyadari ini semua hanyalah mimpi indah yang pernah singgah. Jiwaku sudah terlatih untuk sakit,jadi aku harus mencoba bangkit sendiri seperti biasanya dan tidak perlu mencari pegangan.
Sesaat setelah airmataku mulai bisa kukendalikan,aku berdiri dan mengambil motor yang kuparkir di luar pagar taman. Disepanjang perjalanan aku berusaha menghilangkan pikiran tentang Damar, sore ini terasa sangat syahdu, di sepanjang perjalanan kulihat bunga tabebuya yang memamerkan keindahannya,mencoba mengalihkan sedihku sejenak.
Akhirnya aku sampai di tempat kostku, aku turun dari motor dan mendorong pagar agar terbuka. Kumasuk halaman kost dan memarkir motorku,hari Sabtu kost tampak lengang,memudahkan ku memarkir motor padahal biasanya sangat penuh dan harus berusaha keras untuk menggeser beberapa motor agar muat.
Syukurlah kost sedang sepi, setiap Sabtu biasanya penghuni kost pulang kerumahnya masing-masing. Situasi tenang dan tidak ada yang mengetahui kalau mataku sembab. Aku menuju pintu kamarku, sebuah tulisan menempel di pintu kostku. Sebuah ukiran dari kayu bertuliskan namaku "GRANDIS", ukiran namaku yang terbuat dari kayu Damar. Ukiran itu pemberian Damar saat aku ulang tahun.
" Aku mengukir namamu dengan kayu Damar agar namamu juga terukir selalu dalam hatiku"
Itulah yang diucapkan Damar saat memberikan ukiran tersebut.
Dia mengatakan bahwa butuh waktu lama untuk mencari kayu Damar dan orang yang sanggup untuk mengukir namaku. Setelah itu aku memasang ukiran tersebut di pintu kamar, membuatku selalu bahagia jika membuka pintu,tapi saat ini melihat ukiran itu justru membuatku lebih hancur.
Akupun masuk ke kamar dan tangisanku mulai tak bisa kubendung lagi.
Rasa sedih ini mulai mendekat dan menyapa"bukankah kita sudah berkawan lama,wahai Grandis aku ingin bersamamu lagi".
Mengingat kembali saat aku berada pada titik rasa ini,aku memang terbiasa berkawan dengan luka sejak dahulu.