Chereads / G&D (Sayap Kupu-kupu) / Chapter 3 - Namaku Grandis

Chapter 3 - Namaku Grandis

Grandis Tectona Ayu, itulah namaku. Sebuah nama yang tidak biasa, entah berapa kali aku selalu menjelaskan kepada orang - orang tentang arti namaku. Apalagi aku tumbuh di lingkungan pedesaan yang menganggap namaku tidak familiar.

" Grandis itu apa tho artinya, apa maksudnya Gendis?".

Salah satu pertanyaan yang kudengar dari seorang pedagang pasar yang menanyakan namaku ke Simbah.

Namaku memang terdengar seperti Gendis yang dalam bahasa Jawa berarti Gula.

"Bukan Bu, Grandis Tectona itu artinya kayu jati" jawab Simbahku dengan ramah.

"Oalah, ternyata kayu jati, bagusnya namamu Nduk secantik wajahmu" Pedagang pasar itu memegang lembut pipiku.

Aku juga pernah menanyakan arti namaku pada ibuku, dan jawabannya memang sama persis seperti jawaban Simbah.

" Artinya wanita cantik sekuat kayu jati, itulah arti namamu Nduk".

Namaku memang tidak biasa tapi aku menyukainya,dahulu aku tidak peduli bagaimana ibu bisa mendapatkan nama seindah ini. Untuk orang sesederhana ibuku, sangatlah mengherankan.

Di malam ini di ruangan kost yang sempit, aku masih merasakan perih di hatiku. Masih saja sosok Damar menguasai pikiranku. Aku mencoba melupakannya, walau terasa sangat berat dan menyakitkan.Menghirup nafas panjang dan menutup mata. Mencoba mengubah alur realita yang terjadi, mengais kenangan indah yang pernah kualami dalam hidup. Tak banyak yang bisa kudapatkan,terlalu pekat hidupku dengan kesedihan. Sepertinya kebahagiaan hanya senang berada sesaat didekatku.

Seperti saat ini,aku sedang patah hati. Dengannya,orang yang dulu berhasil membuatku melangkah. Aku bertekad untuk melupakannya mulai saat ini.

Pada saat sedih seperti ini,aku mengingat salah satu kepingan indah dalam hidupku Simbah. Sosok yang dulu selalu melindungiku dan menenangkanku.

Berjalan dengannya di pinggir sawah, tangannya selalu menggenggam erat tanganku .

" Hati-hati Grandis,tanahnya terlihat kering tapi sebenarnya liat,kamu bisa terpeleset"

Aku berjalan di depan Simbah, tapi tetap tangannya tak mau melepaskanku. Saat itu jika libur sekolah,Simbah akan mengajakku menjaga padi di sawah dari gangguan burung. Aku sangat senang melihat Simbah yang mengeluarkan suara "monsternya", bagiku itu sangat lucu. Karena Simbah orang yang sangat lembut saat berbicara,tapi saat mengusir burung suaranya akan berubah sangat keras dan lantang.

" Ho..Ho..yaaa..yaaa".

Burung-burung langsung terkejut dan terbang, walaupun sesaat kemudian akan datang lagi. Tapi Simbah juga tak kalah cepat untuk mengeluarkan aumannya lagi.

Aku pernah bertanya kepada Simbah

" Mbah,kenapa burung tidak boleh makan padi, mereka hanya burung kecil makannya tak banyak dan kasihan mereka pasti lapar"

Sambil tersenyum dan membelai rambutku Simbah menjawab

" Mereka makannya memang sedikit, tapi jumlah burungnya banyak. Jika satu burung makan 5 butir,dan burungnya ada 100, maka sehari kita kehilangan 500 butir. Kalau sepuluh hari bisa 5000 butir,kita bisa gagal panen Nduk"

Akupun mengerti maksud Simbah.

" Kalau seribu hari padinya hilang berapa Mbah?" tanyaku bertanya dengan nada menggoda.

Simbah hanya menatapku dengan mata yg membelalak,dan menyajikan mimik muka yg sangat lucu,kami tertawa bersama. Suara tawa kami membuat beberapa burung tidak jadi hinggap di tangkai padai yg melengkung.

Senin pagi ini aku bersiap untuk pergi sekolah.

"Grandis sini Nduk, Mbah sisir dulu rambutmu"

Suara Simbah memintaku mendekat,dengan sisir dan dua buah karet di tangannya.

"Baik Mbah"

Akupun bergegas mendekat setelah kurapikan seragamku.

Tangan Simbah yang sudah tua masih cekatan mengepang rambutku menjadi dua. Simbah paling tahu aku sering merasa gerah dengan rambut panjangku.

" Mbah,hari ini ibu pulang atau tidak?"

Aku menanyakan kepada Simbah karena setiap hari Senin Ibuku selalu pulang dari kota.

" Mbah juga tidak tahu Nduk,semoga ibumu pulang ya."

Simbah menjawab pertanyaanku sambil memegang lembut kepalaku. Sentuhan tangannya selalu berhasil menenangkanku. Sentuhan yang sampai saat ini selalu kurindukan.

"Sudah lekas berangkat,nanti terlambat!"

Simbah mengingatkanku untuk segera bergegas.

Akupun segera berangkat,menuju Sekolah Dasar satu-satunya yang ada di desaku dengan berjalan kaki.

Setiap hari Senin aku tidak bisa menutupi rasa senangku,aku akan berjalan dengan bersenandung dan terkadang melompat-lompat kecil di sepanjang tepian sawah. Aku akan berhenti sejenak memetik bunga kencana ungu yang tumbuh liar di pinggiran jalan. Jika tiba waktu pulang sekolah,aku akan bergegas pulang ke rumah.

Dari kejauhan aku melihat ibuku sedang menjemur pakaian, akupun berlari karena tak sabar ingin bertemu ibuku.

"Hai anak cantiknya Ibu, sudah pulang ya."

Ibu menyambutku dengan pelukan, inilah yang sebenarnya paling kurindukan. Pelukan dari Ibu yang meruntuhkan seluruh rinduku.

"Ibu membawakanmu baju baru, kita lihat yuk."

Ibu menggandeng tanganku masuk ke rumah.

Sudah hal yang biasa setiap pulang, ibu selalu membawakanku berbagai hadiah. Saat itu yang kutahu ibu bekerja di kota seperti orang-orang di desaku yang mencari peruntungan di kota. Sebagian besar dari mereka menjadi asisten rumah tangga. Aku juga tidak mempedulikan perbedaan ibuku dengan ibu teman-temanku yang juga bekerja di kota. Jika ibu-ibu temanku sangat jarang pulang,paling cepat satu atau tiga bulan sekali. Mereka juga jarang membawa oleh-oleh untuk anaknya sebanyak ibuku.

Penampilan ibuku juga berbeda, terlihat modis dan cantik. Sebagai anak kecil saat itu aku sangat bangga memiliki ibu yang sangat cantik.

Saat aku kecil walaupun hanya diasuh Simbah,aku merasakan kebahagiaan. Ibuku yang selalu memanjakanku jika pulang, itu semua terasa indah hanya karena aku belum paham tentang dunia yang mengitariku. Semua akan berubah saat aku bisa membuka mataku lebih lebar, dunia kelam yang siap menyambutku.