022 Gara-gara sayuran
Halvir menggelengkan kepala tidak mengerti, wajahnya jelas memperlihatkan ekspresi tidak puas. Anindira menarik nafas dan menghembuskannya dengan sedikit keras, dia tersenyum lagi dan kembali menjelaskan.
''Kak,'' panggil Anindira lembut, ''Sayuran yang biasa aku makan adalah sayuran yang dibudidaya.''
''Apa itu budi daya?'' tanya Halvir dengan wajah serius.
''Hm...'' Anindira bergumam dengan suara tidak jelas memikirkan sebuah jawaban untuk pertanyaan Halvir, ''Begini... sayuran budi daya adalah beberapa jenis tanaman yang kita tanam sendiri. Kita merawatnya sampai siap waktu panen, kurang lebih seperti itu.''
''Sepertinya aku tahu itu... beberapa herbifora melakukan hal yang kurang lebih seperti yang kau katakan.''
''H-her… her?'' tanya Anindira mencoba membeo kata-kata baru dari Halvir.
''Her-bi-fo-ra... '' Halvir mendikte mengajarkan kata baru pada Anindira.
''Jadi diantara kalian ada yang melakukannya juga?!'' seru Anindira penuh semangat..
''Ya, herbivora melakukannya. Mereka tidak suka berburu, jadi mereka menanam. Dan, kebanyakan tanaman itu digunakan untuk obat, karenanya Hans cukup akrab dengan mereka.''
''Begitu, jadi lebih banyak digunakan untuk obat daripada di makan...''
''Tidak juga. Herbifora memakannya, kami tidak.''
Halvir tegas mengoreksi ucapan Anindira.
''Maksudnya?'' tanya Anindira heran.
''Mereka menanamnya karena mereka memang memakannya. Kami akan menukar dengan kulit atau daging, jika kami membutuhkannya untuk obat...'' jawab Halvir menjelaskan.
''Jadi kalian sama sekali tidak makan sayuran?!'' seru Anindira bertanya sekaligus menegaskan.
''Kami akan makan,'' jawab Halvir sambil mengangguk, ''Jika ada yang salah dengan tubuh kami.''
''Ha, kebiasaan itu tidak baik!'' seru Anindira dengan tegas. Membuat Halvir yang tadinya acuh memutar daging di atas api, sekarang dia serius melihat Anindira, ''Pola makan seperti itu salah!'' seru Anindira lagi, dengan suara lantang, ''Antara daging, sayuran, dan buah semua harus seimbang. Jangan memakan makanan sebagai obat hanya saat kita sakit tapi makan sebelum kita sakit untuk mencegahnya!''
''Apakah seperti pola makanmu?'' tanya Halvir masih dengan wajah seriusnya.
''Ya,'' jawab Anindira tegas.
Anindira yang terbiasa dengan wajah datar atau pun sorot mata tajam Halvir tidak lagi terkejut saat Halvir bersikap serius. Halvir menatap Anindira dengan sangat serius sambil melihat kembali keseluruhan fisik Anindira.
''Kenapa harus begitu?'' tanya Halvir lagi, tapi kali ini dia lebih lembut karena mulai mencoba untuk memahami pola pikir Anindira.
Halvir mulai antusias karena semua hal itu berkaitan dengan Anindira.
''Aku sudah bilang tadi, makan untuk mencegah kita sakit!'' seru Anindira tegas menjawab, ''Bukan malah makan hanya ketika kita sudah sakit!''
''Memakannya kalau kita sakit, tidak masalah kan?''
Kedua makhluk dari dunia yang berbeda ini sama-sama masih belum mengerti tentang pola pikir dan cara hidup masing-masing pihak. Halvir berpikir dari sudut pandangnya sebagai seorang manusia buas yang kuat. Halvir tidak berpikir tentang wanita di dunia ini yang sering sakit, karena sulitnya melihat keberadaan wanita. Karena itu dia tidak ambil pusing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wanita kecuali yang di anggap penting olehnya atau oleh kebanyakan orang di dunia ini.
Wanita yang dibesarkan oleh dua tipe manusia buas akan memiliki kondisi tubuh yang berbeda dan hal itu masih belum disadari oleh mereka yang sudah terbiasa hidup di dunia ini dengan cara hidup yang sudah turun-temurun.
''Huft...'' Anindira mendesah panjang, ''Baiklah, aku tidak akan berargumen lebih keras lagi tentang ini. Sudahi saja!''
Anindira masih belum tahu banyak tentang dunia ini karenanya dia tidak mau jika karena argumen seperti ini malah membuat hubungannya dengan Halvir memburuk. Anindira berpikir kalau dia bisa membicarakan tentang hal ini lagi nanti, jika dia sudah tahu lebih banyak.
''Terserah padamu... Tapi, kau tetap suka makan sayuran liar itu bukan?!''
Halvir kembali menegaskannya agar Anindira tidak melakukan hal yang terpaksa dia lakukan.
''Ya. Aku tetap memakannya, untuk menyeimbangkan gizi.''
Anindira tidak tahu kalau Halvir tidak mengerti dengan kata terakhir yang diucapkannya. Tapi, karena Halvir terlalu gengsi, seperti biasa. Anindira suka berkata hal-hal dari dunianya dan kata-kata itu tidak dimengerti oleh Halvir. Tapi, dia malas ingin menanyakannya. Selama dia masih mengerti kalimat yang lain, dia tidak peduli jika hanya satu atau dua kata dari kalimat Anindira yang membuatnya bingung.
''Apa bedanya sayuran liar itu dengan sayuran yang ditanam oleh orang-orangmu?'' tanya Halvir lagi, dia masih ingin berbincang dengan Anindira, ''Kau bilang rasanya berbeda.''
''Ya... itu karena di tempatku berasal, sayuran liar terasa pahit dan getir, juga meninggalkan bau rumput atau bau tanah yang tajam. Karena hal itu juga, banyak yang meninggalkannya dan tidak lagi mengkonsumsinya,'' ujar Anindira mendeskripsikan sayuran di hadapannya, ''Lihat itu, seperti bayam dan anting-anting liar!'' seru Anindira menunjuk beberapa tanaman yang ada di sekitarnya, ''Ini juga...'' Anindira menunjukkan seikat daun poh-pohan yang dipetik Halvir untuknya, ''Di kampung-kampung masih banyak yang makan. Tapi, lain halnya dengan orang-orang di kota. Tidak banyak yang tahu tentang sayuran liar ini... Aku dilahirkan dan tumbuh besar di kota, tapi aku juga sering ke pulang kampung. Ibuku dan juga nenekku adalah praktisi kesehatan. Dari didikan mereka, kami sekeluarga sangat suka makan sayuran.''
Anindira berhenti sejenak, dia sedikit mengambil nafas untuk melanjutkan kembali.
''Ini… sayuran liar yang ada di sini… mungkin karena udara yang bersih. Tidak ada polusi dan kualitas air tanah yang masih belum tercemar. Mungkin itu yang membuat rasanya enak, tidak kalah dengan sayuran yang dibudidaya. Aku menikmatinya, sungguh...'' ujar Anindira terus melanjutkan ceramah panjangnya tentang sayuran.
''Apa kau hanya makan sayuran yang ditanam?'' tanya Halvir menyelidik, dia cemas jika cara makannya mengubah pola makan Anindira sebelumnya, ''Bagaimana dengan daging?''
''Daging yang kau berikan padaku sangat banyak. Porsi sehari yang kau berikan padaku, itu cukup menutup porsi makan daging selama semingggu untukku,'' jawab Anindira sambil tersenyum polos membanggakan kebaikan Halvir padanya.
Halvir dan Anindira masih belum menyelesaikan perbincangan mereka, masih dengan wajah Halvir yang memperlihatkan rasa kesalnya, karena harga dirinya terusik gara-gara sayuran liar.
''Kenapa sedikit sekali?'' tanya Halvir, ''Kau memakan daging cukup banyak, itu artinya kau bukan herbivora,'' ujar Halvir mengungkapkan pikirannya, ''Berarti benar kata Hans, klanmu lemah. Ayahmu tidak bisa memberikan cukup daging untuk kau makan…''
Akhirnya Halvir bisa tenang setelah puas mengemukakan pendapatnya, kemudian kembali memutar-mutar daging. Dia tidak sadar kalau sekarang wajah Anindira berubah masam karena kata-katanya berusan.
''Kak, aku marah!'' seru Anindira dengan sorot mata tajam menatap Halvir, ''Aku tidak suka jika ada yang menghina ayahku,'' seru Anindira dengan ekspresi menegang. Matanya sedikit melotot melanjutkan kata-katanya, ''Jangan menghina ayahku! Dia adalah pria terbaik yang mendidik dan membesarkanku. Aku tidak suka jika ada yang menghinanya meskipun itu kau!''
Anindira melanjutkan kata-katanya dengan ekspresi marah dan mata yang menatap lurus ke arah Halvir.
Setelah bicara dari hati ke hati tentang perasaan Halvir dan lamarannya. Akhirnya mereka berdua telah tiba di tempat tujuan.
''Kepala Desa... Ini aku Halvir, aku ingin bicara!'' seru Halvir memanggil dari bawah, dia telah menurunkan Anindira dari gendongannya.
Beberapa saat kemudian seorang pria tampan, bertubuh kekar dan juga tinggi, turun menghampiri. Dia berambut hitam seperti Halvir dan bermata ungu terang yang tampak menyala indah. Dia tampak matang dan dewasa, seperti di usia pertengahan tiga puluh tahunan dengan pembawaannya yang tenang berwibawa. Aura di sekitarnya berkata, dia bukan orang yang bisa di pandang sebelah mata.
''Halvir, ada apa?'' tanya pria itu.
''Kepala Desa, ini Anindira... Aku menemukannya di hutan tiga bulan yang lalu, aku ingin menitipkannya padamu... Sekitar dua minggu, aku harus ke Kerajaan Singa menyiapkan keperluan untuknya,'' jawab Halvir dengan gamblang menjelaskannya.
''Ck!'' seru pria itu berdecap menatap Halvir, ''Seperti biasa, kau bahkan tidak berbasa-basi lagi…'' ujarnya kemudian, sambil tersenyum simpul
''Eum,'' jawab Halvir acuh.
''Ramahlah padaku Halvir!'' seru pria itu, ''Kau sedang meminta bantuanku…'' ujarnya lagi melanjutkan dengan nada santai sambil mengistirahatkan tangannya di belakang.
''Kau tahu kalau aku selalu aku menghormatimu,'' sahut Halvir acuh.
Halvir tidak terlihat seperti menundukkan kepalanya atau semacamnya, tapi tidak terlihat kesombongan juga pada dirinya, justru Halvir bersikap sopan tapi tidak merendahkan dirinya.
Mata Anindira sedikit melotot, dengan wajahnya yang terlihat bodoh. Terus fokus memandang Kepala Desa di depannya, otaknya sibuk mencerna sesuatu, sampai tidak sadar bahwa kedua pria yang penuh wibawa itu sekarang sedang memperhatikannya.
''Wanita muda!'' panggil kepala Desa itu, ''Ada apa?... Ada sesuatu di wajahku yang mengganggumu?'' tanyanya lagi.
''Dira!'' panggil Halvir menyadarkan pikirannya Anindira yang sedang menerawang.
''Hah?!'' seru Anindira terkejut, ''Iya... apa?!'' jawab Anindira gelagapan, Anindira kaget dengan panggilan Halvir sambil mengguncang bahunya.
''Ada apa?'' tanya Halvir lagi.
''Kakak berbohong padaku!'' seru Anindira dengan dahi mengernyit, mulutnya juga manyun.
''Aku?!... Kapan?!... Dan berbohong soal apa?!'' seru Halvir heran, dia bingung dengan tuduhan Anindira.
''Kakak bilang Kepala Desa berusia sembilan puluh tahun?!'' seru Anindira menjawab dengan suara berbisik.
''Ehm-ehm...'' Kepala Desa berdehem memecah obrolan mereka, dia mendengar semua dengan sangat jelas walau Anindira berbisik.
''Halvir tidak berbohong, aku memang sudah sembilan puluh tahun, wanita muda…'' jawabnya dengan tampilan dewasanya yang menonjol, ''Tepatnya sembilan puluh tujuh tahun.''
Anindira terkejut dengan tampilannya yang bahkan hanya sedikit tampak lebih dewasa dari Halvir. Saat itu juga dia mengingat bahwa Halvir pun tidak muda, dia berusia empat puluh lima tahun. Tapi, tampak sebaya dengan kakaknya yang masih duduk di bangku kuliah semester enam. Begitu juga dengan Hans yang masih tampak seperti remaja di awal kuliah, tapi juga sudah berusia tiga puluh lima tahun.
Tampilan wajah mereka palsu, untuk usia mereka yang tua, tapi, tidak dengan tubuh mereka.
Anindira kemudian ingat seorang remaja yang mendekati mereka saat di sungai. Tubuhnya juga lumayan berotot, tapi bekas-bekas luka di tubuhnya tidak lebih hanya seperti cakaran-cakaran kucing. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Halvir dan Kepala Desa, bekas-bekas luka di tubuh mereka sangat dalam dan juga lumayan besar, begitu juga dengan otot-otot yang terbentuk di tubuh mereka tampak lebih berisi. Penampilan mereka dengan jelas menceritakan pengalaman yang mereka miliki. Sedangkan Hans, tampilan tubuhnya tidak jauh berbeda dengan remaja muda yang ditemui Anindira di tepi sungai.
''Wanita muda... Perkenalkan, aku Kepala Desa di sini, Mischa. Aku berasal dari Klan yang sama dengan Halvir… seperti yang dikatakannya barusan, untuk beberapa hari kau akan tinggal bersamaku, semoga kau bisa nyaman tinggal bersama keluargaku,'' ujar Mischa, Kepala Desa memperkenalkan diri dengan sopan pada Anindira.
''Ah!... Tunggu sebentar!'' seru Mischa lagi, dia kemudian naik ke atas dan beberapa saat kemudian turun sambil menggendong seorang anak perempuan.
Anak perempuan itu berperawakan sama dengan Anindira, hanya saja dia berkulit putih dengan rambut berwarna karamel sebahu, matanya berwarna hazel jernih, seiras dengan rambutnya.
Dia adalah wanita pertama yang dilihat Anindira di DUNIA MANUSIA BUAS ini. Dia punya fisik kecil mungil, sama seperti Anindira Parasnya juga tidak buruk,, tapi masih jauh dari kata cantik, karena terlihat kusam, masih kalah jauh dari penampilan para pria yang tampan rupawan dengan tubuh gagah. Tampilannya termasuk kurang terurus padahal dia lumayan cantik, kulitnya putih tapi kusam dan kering. Rambutnya juga tidak jauh berbeda, terlihat kusam dan berminyak, saling menempel tidak teratur nyaris gimbal.
''Ini anakku Zia, tahun ini dia berusia tujuh belas tahun...'' ujar Mischa memperkenalkan anak perempuannya, ''Zia, ini Anindira, Halvir menitipkannya bersama kita untuk sementara... bisakah dia tinggal bersamamu?'' tanya Mischa pada Zia dengan sangat lembut.
Zia mengangguk menjawab ayahnya, sambil tersenyum lebar, matanya berbinar.
Tangannya melambai pada Anindira, kemudian dia segera turun dari gendongan ayahnya lalu meraih tangan Anindira dan menggandengnya, ''Kita akan bermain bersama, berapa usiamu Anindira?'' tanya Zia ramah tanpa canggung.
''Tujuh belas,'' jawab Anindira, dia juga tersenyum senang, melihat Zia yang langsung menempel akrab dengannya membuatnya jadi tidak canggung.
''Kita seusia,'' jawab Zia yang juga kegirangan.
Seperti kata Halvir, Zia itu cerewet dan blak-blakan. Halvir dan Mischa tersenyum melihat dua remaja langsung akrab di pertemuan pertama mereka.
''Baiklah, Kepala Desa, ini untukmu…'' ujar Halvir sambil menyerahkan tiga buah *Amber pada Mischa.
''Halvir, tidak perlu,'' sahut Mischa dengan tangannya menolak pemberian Halvir, ''Kau juga sudah banyak membantuku, hanya mengurus satu lagi anak perempuan, bukan masalah…'' lanjut Mischa tulus dengan ucapannya.
''Aku tahu, tapi, tidak!... Ini kewajibanku sebagai prianya, kau punya hak menerimanya, lagi pula ada dua wanita yang harus kau urus, kau akan membutuhkannya. Aku tidak mau wanitaku berhutang, apalagi pada pria lain!'' jawab Halvir tegas.
''Halvir, aku sudah punya pasangan…'' jawab pria itu segera menyanggah ucapan Halvir.
''Aku tahu. Makanya aku menitipkannya padamu... karena kau juga harus menghalau mereka (para pria lajang yang akan berusaha mendekati Anindira),'' sahut Halvir serius.
''Huft... '' Mischa menghela nafas panjang, ''Baiklah, terserah padamu,'' jawab Mischa pasrah, dia tahu tidak akan bisa mengubah keputusan Halvir yang telah menetapkan wanitanya.
Dengan persetujuan Mischa, Halvir merasa puas. ''Dira, jadi anak baik, tunggu aku pulang!'' seru Halvir sambil membelai kepala Anindira kemudian mencium keningnya.
Anindira terkejut awalnya, walau ini sudah kedua kalinya, tapi tetap saja dia kaget. Anindira hanya bisa diam menerimanya, dia merasa malu karena ada orang lain yang memperhatikannya. Tangannya ingin bergerak memeluk Halvir, karena dia juga merasa sedih akan ditinggalkan. Tapi, dia mengurungkan niatnya, dan akhirnya hanya mengangguk patuh.
''Kepala Desa, kutinggalkan dia padamu,'' ucap Halvir padanya sambil berpamitan.
''Dira, aku pergi,'' ujar singkat dengan wajah datar, Halvir membelai kepala Anindira kemudian meninggalkannya.
Anindira hanya bisa melihat punggung Halvir yang semakin jauh meninggalkannya, bibirnya bergetar menahan tangis, wajah sayu Anindira juga membuat Zia terharu.
**